• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Hikmah

Kolom Buya Husein

Mas Bisri Effendy yang Ugahari (2)

Mas Bisri Effendy yang Ugahari (2)
Almarhum Bisri Effendy (Foto: Istimewa)
Almarhum Bisri Effendy (Foto: Istimewa)

Oleh: KH Husein Muhammad
Aku bercerita  kepada teman-temanku di Cirebon tentang mas Bisri ini, dan aku menyebutnya sebagai budayawan NU selain Mohammad Sobari yang terkenal itu. 

Tak berhenti di sini. Hubungan, komunikasi dan perbincangan aku dengan mas Bisri Effendy berlanjut, di sejumlah moment diskusi, seminar dan silaturrahim biasa. Kami jadi saling memahami pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki dan kecenderungan fokus masing-masing. Bila kemudian beliau bersama teman-temannya mendirikan Lembaga sosial bernama Desantara, maka saya pun diajak bergabung di sana entah sebagai apa.

Di majalah Srinthil yang dikelola di lembaga tersebut saya diminta menulis tengan isu-isu Perempuan. 

Saya beruntung bila kemudian saya diajak ikut bicara di beberapa tempat tentang isu gender dan multikulturalisme. Antara lain di sebuah daerah di Sulawesi Selatan. Saya sudah lupa nama daerah tersebut. Jika tidak salah ini diselenggarakan atas kerjasama Desantara dan LSM Lapar. Di sana dalam forum diskusi itu saya diminta mempresentasikan tema Pluralisme dan Multikulturalisme dalam Islam. Di tempat itu saya bertemu dengan teman dari komunitas bissu. Waktu pulang saya dihadiahi buku "Calabai: Perempuan dalam Tubuh Lelaki". Ini sebuah fakta kebudayaan di negeri ini yang telah berlangsung berabad.  

Lalu saya juga diajak ikut bicara dalam isu yang sama di sebuah Pesantren besar dan terkenal di Jember. Pertemuan di sini sangat menarik, karena ada peserta dari komunitas Bisu. Dia tampil sebagai perempuan. Maka pengurus pesantren menempatkannya di asrama putri. Dia gelisah dan malam-malam keluar untuk menyampaikan kegelisahannya kepada pengurus sambil bicara terus terang tentang jenis kelaminnya. Maka dia dipindahkan ke asrama putra. Di sini juga dia tak bisa tidur.

Esoknya dia curhat kepada saya. Dan saya menceritakan hal itu kepada mas Bisri dan beliau tertawa sedikit panjang. 

Sungguh mas Bisri dan teman-teman aktivis di Desantara telah mengajari saya banyak hal tentang problematika multikulturalisme, pluralisme, toleransi, kekerasan atas nama agama, gender dsn orientasi seksual dan lain-lain di negeri ini. Ini semua menjadi kekayaan pengetahuan sekaligus modal bagi saya dan teman-teman di Fahmina Institute untuk melakukan advokasi terhadap orang-orang yang didiskriminasi hanya karena berbeda identitasnya dari masyarakat pada umumnya. 

Satu lagi yang saya peroleh dari pengalaman bertemu mas Bisri adalah tentang Pribumisasi Islam gagasan orisinal Gus Dur. Mas Bisri menjelaskannya dengan apik, santai dan penuh canda, tetapi memahamkan. Begitu juga pemikiran brilian dan aneh Gus Dur terutama dalam bidang kebudayaan. 

Akhirnya saya melihat mas Bisri adalah salah seorang budayawan yang gelisah atas realitas perkembangan kebudayaan sekarang yang mengarah kepada anti pluralisme dan multikulturalisme. Dan ia menulis banyak artikel berisi kritik-kritik tajam atas fenomena keberagamaan yang makin radikal. 

Begitulah sedikit yang bisa saya tulis untuk mengenang 100 hari wafatnya mas Bisri Effendy. Saya sangat berharap semangat dan gagasannya bisa dilanjutkan oleh generasi yang ditinggalkannya. (Bersambung).

Sumber: FB Husein Muhammad


Hikmah Terbaru