• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 2 Mei 2024

Hikmah

Kisah Burung Beo dan Kecerdasan Syafii Muda

Kisah Burung Beo dan Kecerdasan Syafii Muda
Kisah Burung Beo dan Kecerdasan Syafii Muda. (Foto sanadmedia)
Kisah Burung Beo dan Kecerdasan Syafii Muda. (Foto sanadmedia)

Oleh Alfan Khumaedi

Sebagaimana menikah dan kebutuhan sosial lain, perceraian juga sudah ada sejak pra-Islam. Memang tidak ada aturan baku sebagaimana sekarang, tapi itu ada. Dan orang Arab Jahili menikah seenaknya, poligami seenaknya, dan menceraikan juga seenaknya tanpa batasan.

 

Jika ia ingin menelantarkan istrinya supaya tidak menikah dengan orang lain, misalnya, ia ceraikan, lalu ketika masa idahnya mulai habis, ia rujuk dan lalu ditalak, lagi, ketika tempo idahnya mulai habis, ia rujuk, dan lalu jatuhkan talak, lagi, dan begitu seterusnya.

 

Talak itu bukan hal remeh. Jatuh talak artinya mempertaruhkan nasib rumah tangganya. Apalagi kalau sudah ada anak. Namun demikian, orang masih saja enteng menggunakan talak sebagai ancaman, penekan sumpah, dan lainnya. Dalam khazanah fikih kita banyak dapati hal demikian. Bahkan di era sekarang.

 

Dulu, sebagaimana dikisahkan oleh Syekh Muhammad asy-Syathiri dalam Syarah al-Yāqūt an-Nafīs sebelum masuk bab ath-Thalāq, paruh akhir abad 2 H, ada seseorang yang merawat burung bayan/betet/beo dan diajari beberapa kata sehingga ia bisa sering mengulang-ulangnya.

 

Suatu saat, datanglah seorang penggemar burung beo untuk membelinya. Untuk memastikan bahwa burungnya “selalu” ngoceh, ia bersumpah, “Kalau ia tak ‘selalu’ ngoceh, maka istriku tertalak.” Demikian yang dia katakana untuk meyakinkan pembeli.

 

Setelah sepakat, ia pun pulang. Beberapa hari di rumahnya, ternyata burungnya tak selalu ngoceh sebagaimana kata penjualnya. Ia memang ngoceh, tapi tidak selalu. Ya ngoceh, ya jeda.

 

Mendapat keluhan ini, penjualnya bergegas ke Imam Malik untuk mencari kejelasan bagaimana nasib rumah tangganya. Tepatnya bagaimana nasib pernikahannya setelah dia menggantungkan nasib pernikahannya pada “selalu” ngocehnya burung yang ia jual. Dan nyatanya burungnya tak selalu ngoceh, tapi seperti wajarnya burung dan manusia, ada jeda diam.

 

Setelah mendengar ceritanya, Imam Malik dengan tegas menjawab bahwa istrinya secara otomatis jatuh talak sebab kenyataannya si burung memang tak “selalu” ngoceh sebagaimana sumpahnya.

 

Imam Malik tinggal di lantai atas, sedang di bawah tempat santri muda bernama Muhammad bin Idris yang dikenal dengan Syafii.

 

Ketika Syafii mendapati tamu itu murung saat menuruni tangga, beliau menyapa dan menanyainya. Tamu itu bergegas bercerita perihal curhatnya ke Imam Malik dan keputusan Imam Madinah itu bahwa talak pada istrinya jatuh. Mendengar itu, Imam Syafii mengatakan, “Istrimu masih istrimu. Tidak jatuh talak.”

 

“Kok bisa? Imam Malik bilang jatuh talak, dan kamu bilang tidak jatuh talak,” kata tamu keheranan.

 

Mendapati peluang ini, tamu bergegas naik lagi ke Imam Malik dan menceritakan bahwa kata anak muda di rumah bawah tidak jatuh talak. Mendengar ini, Imam Malik meminta tamu memanggil anak santri yang kasih fatwa itu.

 

“Muhammad, apakah benar kamu bilang bahwa istri bapak ini tidak jatuh talak?”

“Betul.”

“Atas dasar apa?”

“Dalil saya adalah ketika Fatimah binti Qais curhat ke Rasulullah ﷺ  perilah Abu Jahm dan Muawiyah yang datang melamarnya, dan Rasulullah ﷺ mengatakan pada Fatimah ‘Kalau Abu Jahm itu adalah tipe lelaki yang TIDAK PERNAH MELETAKKAN TONGKATNYA DARI LEHERNYA’ untuk menunjukkan bahwa ia orang yang banyak berpergian, bukan orang yang selalu memanggul tongkatnya, tapi kadang-kadang saja.” jawab Imam Syafii.

 

Melihat pertimbangan matang salah satu murid andalnya, Imam Malik kemudian mencabut fatwanya dan sepakat dengan Imam Syafii.

 

Mengambil simpulan dari peristiwa dan ucapan Rasulullah ﷺ yang tidak ada hubungan secara langsung dengan kasus yang sedang di bahas itu sangat susah. Para ulama menyimpulkan banyak hukum dari ayat, hadits, atau peristiwa yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan hal yang sedang dibicarakan. Demikian itu dalam khazanah ulama disebut malakah.

 

Penulis saat ini aktif di PCI NU Mesir

Artikel ini pernah terbit di sanadmedia.com pada 2 Agustus 2022


Hikmah Terbaru