• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Hikmah

Kolom KH Zakky Mubarak

Kekayaan Lahir dan Bathin

Kekayaan Lahir dan Bathin
Ilustrasi: NUO
Ilustrasi: NUO

Oleh: KH Zakky Mubarak
Memasuki modern dan post modern, kita merasakan kemajuan yang luar biasa dalam bidang sains dan teknologi, demikian juga perkembangan komunikasi. Dunia telah dirasakan begitu sempit dan transparan.

Segala kegiatan yang terjadi di suatu belahan bumi, dengan cepat sekali dapat didengar dan dilihat di belahan bumi lain. Kemajuan ini sering disebutkan dengan era globalisasi. Perkembangan ekonomi negara-negara maju sangat pesat yang diikuti oleh negara-negara berkembang. Kemajuan ekonomi tentunya menimbulkan dampak yang amat positif bagi hidup dan kehidupan umat manusia, namun demikian, dampak negatifnya juga tidak kecil. Negara-negara berkembang belum memiliki kesiapan yang matang dalam menerima perkembangan yang serba cepat itu, sehingga sering menimbulkan guncangan-guncangan dan kekacauan.

Manusia yang hidup di negara berkembang mudah terpengaruh dan terpukau oleh kemewahan-kemewahan duniawi, sehingga sering mengarah kepada sifat konsumtivisme dan melunturnya solidaritas terhadap sesama. Mental kagetan yang menandai kehidupan masyarakat dunia berkembang, sering mengarah kepada sikap berlebih-lebihan, baik dengan jalan memamerkan kekayaan ataupun dalam perilaku. Sikap kebersamaan, keluhuran moral dan kesederhanaan sedikit demi sedikit mengalami erosi sehingga identitas yang luhur itu terkikis habis dari kehidupan masyarakat.

Sebagai bangsa yang besar, yang memiliki falsafah hidup yang luhur dan berkepribadian, tidak selayaknya terjerembab oleh kebiasaan-kebiasaan yang buruk itu. Pada hakikatnya kekayaan itu tidak semata-mata terletak pada harta dan kekayaan lahiriah, yang lebih penting adalah memiliki kekayaan batin. Nabi bersabda: 

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ (رواه البخاري ومسلم)

“Bukanlah kekayaan yang sesungguhnya itu adalah memiliki harta dan materi yang berlimpah akan tetapi kekayaan yang sesungguhnya adalah kekayaan jiwa”. (HR. Bukhari, No: 5965. Muslim, No: 1741).

Sebagai umat beragama kita diarahkan agar membekali diri dengan persiapan-persiapan yang cukup untuk mengantisipasi berbagai perubahan zaman, kemajuan ataupun keruntuhan dibidang ekonomi, kemajuan sains ataupun teknologi dengan perubahan-perubahan lain yang mungkin terjadi. Manusia beragama dibentuk untuk tidak bermental kagetan, suka berbangga diri secara berlebihan, berpola hidup konsumtif serta tidak dapat mengendalikan diri. Manusia beriman diperintahkan bersikap dewasa dalam menghadapi perkembangan dan perubahan di sekitarnya. Ia senantiasa merasa cukup dengan karunia dan rizki yang telah diperolehnya dengan usaha yang sungguh-sungguh. 

Kebahagiaan seseorang tidak terletak pada kekayaan atau limpahan materi dan fasilitas yang serba modern, akan tetapi terletal pada rasa syukurnya dan merasa cukup apa yang dimilikinya. Rasulullah s.a.w. memberikan nasehat kepada para sahabatnya. 

عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهَ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ: طُوْبَى لِمَنْ هُدِيَ إِلَى اْلإِسْلاَمِ، وَكَانَ عَيْشُهُ كَفَافًا، وَقَنَعَ بِهِ (رواه الترمذي والطبرني ) وفى لفظ مسلم عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ (رواه مسلم)

“Dari Fadhalah bin Ubaid r.a., sessungguhnya ia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya berbahagialah manusia muslim yang rizkinya cukup dan ia merasa cukup dengan apa yang ada sebagai karunia Allah SWT. Dalam lafadz Muslim yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash r.a., sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: “Sungguh telah beruntung orang yang telah masuk Islam, lalu diberi rezeki yang cukup serta Allah memberikan rasa puas terhadap apa yang Ia berikan kepadanya”. (HR. Tirmidzi, No: 576, Thabrani, No: 305, dan Muslim, No: 1054).

Insan muslim yang memahami ajaran agamanya, akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencukupi kehidupannya, mensyukuri apa yang diperolehnya. Ia terus memacu diri untuk mengejar kemajuan-kemajuan yang lebih jauh serta memiliki harga diri yang tinggi. Dengan harga diri itu ia tidak akan menyandarkan kehidupannya pada orang lain dan pantang meminta-minta atau mengemis belas kasihan dari sesamanya. Ajaran Islam mencela keras bahkan memerangi orang yang suka meminta-minta, Nabi menjelaskan:

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا، فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ (رواه مسلم)

“Barangsiapa yang meminta-minta pada seseorang untuk memperbanyak kekayaannya, maka sesungguhnya ia meminta bara api. Maka terserahlah kepadanya, apakah seseorang memperbanyak bara api itu atau menghilangkannya.” (HR. Muslim, No: 1041).

Memperbanyak bara api artinya banyak meminta-minta sedangkan menghilangkan bara api berarti menghindarinya. Dalam hadis lain Rasulullah s.a.w. menegaskan:

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ القِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ (رواه البخاري ومسلم)

“Bahwa manusia yang gemar meminta-minta itu, seolah-olah dia membuang daging dari mukannya sendiri sehingga terlihatlah tulang-belulangnya”. (HR. Bukhari, No: 1474, Muslim, No: 1040).

Hakim bin Hizam pernah meminta-mintaa kepada Rasulullah SAW. Kemudian Nabi memberinya. Pada kali lain ia melakukan hal yang sama, kemudian nabi memberinya juga. Hal ini terus berlangsung sampai tiga kali, setelah itu nabi mengingatkan Hakim

إِنَّ هذَا الْمَالَ خُضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِطِيْبِ نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيْهِ وَكَانَ كَالَّذِيْ يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعْ (رواه البخاري ومسلم)

“Wahai Hakim, harta itu memang indah dan manis, maka barang siapa mengambilnya dengan kelapangan hati, maka diberkahi, maka barang siapa menerimanya  dengan penuh kerakusan maka ia tidak diberkahi, bagaikan penyantap makanan yang tidak pernah kenyang”. (HR. Bukhari, No: 6441, Muslim, No: 1035).

Nabi melanjutkan sabdanya: 

وَاليَدُ العُلْيَا خَيْرٌ مِنَ اليَدِ السُّفْلَى (رواه البخاري)

"Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”. Hakim menyambut peringatan Rasulullah, ia berkata: 

وَالَّذِيْ بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَرْزَأُ أَحَداً بَعْدَكَ شَيْئاً. حَتَّى أُفَارِقَ الدُّنْيَا. (رواه البخاري ومسلم)

“Wahai Rasulullah demi Tuhan yang mengutusmu dengan hak, sesungguhnya aku tidak menereima pemberian apapun dari seseorang sejak ini hingga aku meninggal dunia”. (HR. Bukhari, No: 2974 Muslim, No: 717 ).

Pada masa Khalifah Abu Bakar, Hakim mendapat bantuan dari Baitul Mal. Ia menolak bantuan itu, pada masa Umar pun ia diberi bantuan dari Baitul Mal, ia juga menolak pemberian itu. Dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa ia tidak mau menerima pemberian orang lain sampai ia wafat.

Bila kita memperhatikan beberapa pengarahan dari uraian di atas, kita pasti akan menyadari betapa agungnya akhlak yang diajarkan Rasulullah s.a.w. Betapa mulianya mereka yang meniti jalan yang ditempuh oleh Rasul akhir zaman itu dan para sahabatnya. Allah s.w.t. berfirman:

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

“(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) di bumi, orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui”. (QS. Al-Baqarah, 2: 273).

Penulis merupakan salah seorang Rais Syuriah PBNU


Hikmah Terbaru