Hikmah

Ajian Pancasona dan Kisah Dihidupkannya Kembali Burung untuk Memperteguh Keimanan Nabi Ibrahim AS

Selasa, 11 Juni 2024 | 15:15 WIB

Ajian Pancasona dan Kisah Dihidupkannya Kembali Burung untuk Memperteguh Keimanan Nabi Ibrahim AS

(Ilustrasi: NU Online Jabar/Freepik).

Ada kalanya, suatu peristiwa yang terjadi di muka bumi ini, antara satu tempat dengan tempat yang lain kadang mempunyai keterkaitan dan kemiripan peristiwa. Hal itu wajar mengingat inti dari semua peristiwa bersumber dari satu hakikat ilmu pengetahuan yang sama yakni pengetahuan dari Allah SWT. 


Seiring dengan perjalanan waktu dan begitu masifnya manusia menempati bumi, maka suatu peristiwa yang terjadi di satu tempat kemudian menyebar ke belahan bumi yang lain (baca: difusi kebudayaan) berkelindan bersamaan dengan kepercayaan masyarakat setempat. Wajar jika suatu peristiwa yang terjadi itu kemudian mengalami perubahan secara tekstual maupun kontekstual. 


Peristiwa yang saya maksud yakni satu peristiwa yang berasal dari negeri nan jauh di sana yang konon dulu menjadi tempat yang subur dan makmur namun hampa akan nilai keilahian, yaitu negeri Babil, wilayah Irak sekarang. Sementara satu lagi yakni peristiwa yang terjadi di tempat dimana bumi ini dipijak (yang juga sama subur dan makmur) yakni di Indonesia, tepatnya di Jawa. 


Bedanya, yang satu merupakan peristiwa yang tercatat rapi dalam kitab suci karena bersumber dari wahyu ilahi yang kemudian tetap terjaga orsinalitasnya tanpa ada perubahan sedikit pun. Sementara peristiwa yang lain, meski tak tercatat secara tulisan (hanya melalui lisan) tetap ada sebagai bagian pitutur yang secara turun temurun dipercaya sebagai sesuatu yang memang benar adanya. 


Peristiwa pertama adalah satu peristiwa yang terjadi pada diri seorang kekasih Tuhan (baca: Nabi dan Rasul) yang ingin menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri (bukan dengan mata hati/batin) bagaimana Tuhan akan dapat menghidupkan kembali sesuatu yang sudah mati. Sederhananya, bagaimana Tuhan akan menghidupkan manusia setelah mati dan kemudian akan hidup kembali kekal di alam keabadian (akhirat). 


Nabi Ibrahim AS orangnya yang dengan sangat santun meminta kepada Tuhannya satu bukti akan adanya kehidupan setelah kematian.


Disebutkan dalam QS al-Baqarah ayat 260, Nabi Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati." Allah berfirman: "Belum percayakah engkau?" Dia (Ibrahim) menjawab, "Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap). "Dia (Allah) berfirman, "Kalau begitu ambillah empat ekor burung , lalu cincanglah olehmu kemudian letakkan di atas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera. "Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (QS al-Baqarah [2]: 260). 


Menurut ulama ahli tafsir, pertama, permintaan Nabi Ibrahim bukan didasarkan atas ketidak yakinannya Nabi Ibrahim atas kuasa Allah dapat membangkitkan manusia setelah mati, namun lebih kepada untuk bertambahnya keyakinan atas kekuasaan Allah dalam membangkitkan sesuatu yang sudah mati. Kedua, empat ekor burung yang sudah mati dan terpotong-potong itu semuanya dapat hidup kembali (dihidupkan Allah) setelah setiap satu ekor burung (yang terpotong-potong) diletakkan di setiap bukit yang ada, dalam artian satu bukit untuk satu ekor burung. 


Sedangkan peristiwa kedua yakni peristiwa yang terjadi di masyarakat Jawa (umumnya Nusantara) yang berkembang melalui tuturan semacam folklore, babad, hikayat, atau yang sejenisnya. Peristiwa yang dimaksud adalah ajian Pancasona. Ajian Pancasona dipercaya sebagai ilmu yang berkembang di masyarakat Nusantara pramodern (baca: primordial).


Ajian Pancasona atau lazim disebut ilmu kanuragan/kebatinan yakni suatu ilmu yang dimiliki seseorang, dimana seseorang itu tidak akan mati meskipun bagian tubuhnya sudah terpotong-potong, selama bagian tubuhnya yang terpotong-potong itu belum menyentuh bagian tanah (bumi). Orang yang punya ajian Pancasona baru akan mati setelah bagian tubuhnya dikuburkan secara terpisah. Konon meskipun sudah dikubur, jasadnya tidak akan dimakan oleh bumi. Sederhananya tidak akan diterima oleh bumi. 


Dari dua peristiwa itu, saya berpendapat ada satu titik kesamaan yakni hidupnya kembali sesuatu yang secara nalar telah mati. Pertama, burung-burung yang awalnya hidup kemudian mati kemudian hidup kembali. Kedua, manusia yang hidup kemudian mati namun hidup kembali. Dan meskipun sudah mati, jasadnya tidak hilang (dalam artian tidak dimakan oleh bumi). 


Hal itu menyiratkan bahwa sejatinya memang manusia yang hidup akan mati. Dan matilah itu senyatanya awal untuk menapaki kehidupan baru sebagai bagian untuk mempertanggung jawabkan segala apa yang diperbuat. 


Intinya kedua peristiwa itu sebagai gambaran bahwa setelah kematian ada kehidupan yang baru. Bukankah hal ini adalah hakikat sebuah keimanan? 


Adapun bagi seseorang yang giat mendalami kajian tasawuf, sufistik (sama halnya dengan filsafat), terutama tasawuf falsafi, kedua peristiwa itu tidaklah aneh. Mereka tentu akan lebih memahami terjadinya peristiwa-peristiwa semacam itu atau yang sejenisnya. 


Kita tentu ingat bahkan paham akan kisah para tokoh tasawuf falsafi yang kisahnya sama percis bahkan lebih dengan peristiwa yang sedang dibicarakan. Abul Mughits al-Husain bin Manshur al-Hallaj seorang sufi/waliyullah asal Persia/Iran (w. 309 H/913 M) yang masih bisa berbicara meskipun tubuhnya telah terpotong-potong saat ia dihukumi mati. Sama halnya juga dengan kisah matinya Syekh Siti Jenar yang peristiwa dan kondisi matinya mirip seperti yang al-Hallaj alami. Kedua-duanya merupakan waliyullah pengamal tasawuf falsafi dengan ajarannya 'Ana al Haqq'.


Alhasil, dari masa ke masa peristiwa diatas atau yang sejenisnya akan tetap ditafsirkan dan dipahami sesuai dengan nalar masyarakat penyangganya tanpa kehilangan makna sejatinya. 


Terkait tulisan ini, saya berharap apa yang saya kerjakan mendapat tanggapan yang berarti sebagai bagian memperbaiki diri atas kekurangan pengetahuan. Apa yang saya tulis juga kemungkinan besar sekali dapat diperbaiki atau juga mungkin dapat dibantahkan. Wallahu'alam.


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga pendidik. Juga sebagai penikmat kajian sejarah dan tasawuf.