Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya

Sejarah

Makam Keramat di Garut, Pangeran Papak Cinunuk Wanaraja (1)

Gerbang Makam Keramat Cinunuk Wanaraja Garut (Foto: SRA/NUJO)

Oleh: Rudi Sirojudin Abas
Kabupaten Garut merupakan salah satu wilayah di Jawa Barat yang kaya akan tempat-tempat makam penziarahan yang dikeramatkan. Hampir di seluruh wilayah Kabupaten Garut, terutama dari ujung utara hingga ujung selatan tersebar makam-makam yang dipercaya sebagai tokoh penyebar agama Islam. Sedikitnya terdapat sembilan penziarahan utama di Kabupaten Garut selain dari penziarahan-penziarahan keramat yang lainnya.

Sembilan tempat penziarahan keramat yang dimaksud adalah: 1) Makam Sunan Cipancar (Prabu Wijaya Kusumah) di Kampung Pasir Astana, Desa Pasirwaru, Kecamatan Limbangan; 2) Makam Eyang Panembong di Kampung Ciela, Desa Ciela, Kecamatan Bayongbong; 3) Makam Raden Kian Santang di Kampung Godog, Desa Lebak Agung, Kecamatan Karang Pawitan; 4) Makam Syekh Abdul Jalil di Kampung Dukuh, Desa Ciroyom, Kecamatan Cikelet; 5) Makam Sembah Dalem Arif Muhammad di Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles; 6) Makam Eyang Haji di Mulakeundeu, Desa Sukalaksana, Kecamatan Sucinaraja; 7) Makam R.A. Adiwijaya (Bupati Pertama Kabupaten Garut) di Kampung Sanding, Desa Muara Sanding, Kecamatan Garut Kota; 8) Makam Syekh Muhammad Ja’far Shidiq (Sunan Haruman/Embah Wali Cibiuk) di Kampung Kilanjung, Desa Cipareuan, Kecamatan Cibiuk; dan 9) Makam Rd. Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) di Kampung Cinunuk, Desa Cinunuk, Kecamatan Wanaraja.

Baca Juga: Makam Keramat di Garut, Pangeran Papak Cinunuk Wanaraja (2)

Raden Wangsa Muhammad, Bergelar Pangeran Papak

Di wilayah bagian timur Kabupaten Garut tepatnya di Kampung Cinunuk Hilir, Desa Cinunuk, Kecamatan Wanaraja terdapat salah satu situs cagar budaya yang sering dikunjungi masyarakat untuk keperluan ziarah. Situs cagar budaya tersebut yaitu Makam Cinunuk. Tempat tersebut kini telah menjadi bagian dari cagar budaya yang tercatat pada Badan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta dan Lampung, yang dilindungi berdasarkan UU RI. No. 5/1992 Tentang Benda Cagar Budaya (TBCB).

Untuk sampai ke Situs Makam Cinunuk, dari pusat kota Garut dapat ditempuh kurang lebih setengah jam dengan menggunakan jasa transportasi umum atau kendaraan pribadi lewat alun-alun Kecamatan Wanaraja. Sementara, bagi mereka yang datang dari wilayah Bandung, Jakarta maupun sekitarnya, setelah tiba di Kecamatan Kadungora-Leles, dapat menggunakan jalur alternatif Leuwigoong-Banyuresmi menuju arah kawasan wisata Situ Bagendit. 

Adapun untuk mereka yang datang dari arah Jawa, Cirebon, Ciamis, Tasikmalaya dan sekitarnya dapat menggunakan jalur Cibatu-Wanaraja. Setelah tiba di pusat alun-alun Kecamatan Wanaraja, kemudian sampailah ke Situs Makam Cinunuk sejauh satu kilometer dengan durasi waktu lima hingga sepuluh menit. Bagi mereka yang menggunakan kendaraan umum sejenis angkutan kota dan yang lainnya, sesampai di pusat alun-alun Kecamatan Wanaraja, dapat menggunakan jasa ojek maupun delman yang beroperasi selama 24 jam.

Situs Makam Cinunuk merupakan bagian dari benda budaya. Di situs ini terdapat makam Raden Wangsa Muhammad yang dikenal oleh masyarakat dengan nama Pangeran Papak. Pangeran Papak  dipercaya sebagai salah satu penyebar agama Islam (wali) di wilayah Garut. Sebagai bentuk penghormatan terhadap penyebar agama Islam, kini makamnya dijadikan tempat penziarahan, baik oleh masyarakat setempat maupun masyarakat luar. Tempat penziarahannya dikelola pihak keluarga secara turun temurun dari berbagai generasi. 

Sebagai warisan budaya dari leluhurnya, ziarah di Situs Makam Cinunuk menurut Raden Agus yang merupakan salah seorang keturunan Pangeran Papak, juga sebagai penjaga makam (kuncen) mengungkapkan bahwa mengelola penziarahan adalah “lain migusti, tapi mupusti “ (bukan mentuhankan, tetapi melestarikan).

Pangeran Papak merupakan keturunan Raja Pajajaran Prabu Siliwangi. Dalam buku ”Sajarah Asal-usul Balubur Limbangan anu Ngarunday ka Djayadiwangsa (1988) Pangéran Papak adalah putera dari Raden Kyai Juari. Nasabnya ke atas sampai kepada Prabu Laya Kusumah (Putera Prabu Siliwangi/Sri Baduga Maharaja). 

Gelar papak dialamatkan kepada Raden Wangsa Muhammad karena memang semasa hidupnya, beliau mempunyai sifat tidak membeda-bedakan siapapun. Sebagaimana yang diungkapkan Raden Aom Suparan, salah satu keturunannya yang sehari-hari sebagai kuncén juga mengungkapkan arti papak. “Ari papak téh sipat anjeuna. Arti papak téh rata, janten istlilahna teu ngawilah-wilah, teu cueut kanu hideung teu ponténg kanu konéng, teu cacah teu ménak, teu aya kaistimewaan ieu mah ménak, ieu mah cacah, sipatna kitu.” (Papak itu adalah sifat beliau. Arti papak adalah rata, tidak membeda-bedakan antara orang kaya maupun orang miskin). 

Hal serupa juga pernah diungkapkan oleh salah satu keturunannya yaitu Raden Alan bahwa, “Papak di dinya hartosna jalmi wijaksana, teu ningali luhur pangkat. Teu ninggali cacah, bocah, diratakeun sadayana. Kapungkur tindak tanduk, prilaku anjeunna ngahormat ka sasama manusa, teu ngabentenkeun jalma Islam, Kristen, Hindu, jeung sajabana. Janten istilahna papak téh rata, sami. Dimana tindak, tagog, kewijakan sagala rupina téh disamikeun salaku manusa.” (Papak artinya adalah orang yang bijak, tidak melihat tinggi pangkat jabatan. Tidak melihat orang kaya maupun miskin. Perilakunya menghormati sesama manusia, baik yang beragama Islam, Kristen, Hindu, maupun yang lainnya. Jadi istilah papak yaitu rata, seimbang, dimana tindakan dan perilaku serta kebijakan terhadap semua manusia tidak dibeda-bedakan). 

Arti papak sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa keturunannya di atas merupakan arti yang sebenarnya, bukan arti papak yang berkembang dalam mitos masyarakat sebagai orang yang mempunyai ukuran jari-jari tangan yang sama dan rata. 

Penulis adalah warga NU, peneliti makam keramat
 

Editor: Iip Yahya

Artikel Terkait