Opini

Memaknai Nalar Pergantian Tahun

Selasa, 9 Juli 2024 | 16:18 WIB

Memaknai Nalar Pergantian Tahun

(Ilustrasi: NU Online Jabar/Rizqy).

Kita baru saja melalui tahun 1445 H, tahun dimana kita melewati berbagai hal dalam mengarungi bahtera kehidupan. Kini kita sedang menyongsong tahun baru 1446 H, tahun dimana kita memikirkan masa depan. Besar harapan apa yang telah kita lakukan kemarin, menjadi sebuah capaian manis yang kelak akan selalu dikenang dan tercatat sebagai suatu kebajikan. Jika ada kekurangan, semoga menjadi pemicu untuk menjadi lebih baik. 


Hal positif harus dipertahankan, kalau bisa ditingkatkan. Hal negatif harus kita tanggalkan. Namun jangan sampai dilupakan. Hal itu agar kita selalu ingat terhadap yang pernah kita lakukan. Dengan demikian kita akan berhati-hati dalam bertindak sehingga tidak kembali terjerumus ke dalam jurang kehinaan. 


Entah berapa kali kita merasakan pergantian tahun. Namun pernahkan terlintas dalam benak pikiran, apa sejatinya yang harus dilakukan untuk memaknai pergantian tahun yang selalu kita alami berulang-ulang ini? 


Pertama muhasabah. Muhasabah adalah frase yang tepat kita lakukan untuk memaknai pergantian tahun baru. Muhasabah artinya mencermati diri, intropeksi diri. Dalam pepatah Sunda disebut ngaca ka jalan nu geus ka sorang, nyawang ka jalan anu bakal karandapan. 


Orang yang pintar bermuhasabah, tekad, ucap, lampah, perilaku dan tindakannya tidak akan sembarangan. Ia sadar betul apa yang diperbuatnya itu akan berdampak bagi kehidupan sekitar. Oleh karena itu ia tak akan berbuat serampangan. Segala yang diperbuatnya akan dipertimbangkan terlebih dahulu secara matang dengan penuh kehati-hatian. Jika baik akan dilakukan, jika buruk pasti ditinggalkan.


Itulah makna pesan teks kitab suci QS al-Isra [17]: 7, "Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri." Juga QS ar-Rahman [55]: 60, "Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula." Sama pula dengan QS az-Zalzalah [99]: 7-8, "Barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya pula."


Muhasabah juga adalah hasibu anfusakum qobla an tuhasabu: hitunglah, cermatilah segenap perilaku dan tindakan kalian sebelum   kelak dihitung Tuhan YME. Kelak itu adalah yaumul hisab, hari penghitungan. 


Bermuhasabah juga yakni pintar mencermati, mendaftar, menggali aib kesalahan sendiri dengan tidak suka mengumbar dan menggali kesalahan orang lain. Inilah puncak kearifan seseorang sebagaimana Imam Ali katakan. 


Kedua, mencermati waktu. Dalam Al-Qur'an Allah begitu tegas memperingatkan manusia akan pentingnya mencermati waktu. Banyak ayat diawali dengan sumpah. Demi masa (Qs al-Asr [103]). Demi waktu Dhuha (ad-Dhuha [93]). Demi waktu fajar (al-Fajr [89]). Demi waktu malam dan siang (al-Lail [92]). 


Itu semua menunjukkan bahwa setiap sumpah yang diawali dengan penyebutan sebuah waktu memiliki tempat yang khusus. Sumpah tidak akan disebutkan kecuali setelahnya ada sesuatu yang harus dilakukan. Oleh karenanya, setelah ayat sumpah ayat selanjutnya selalu diiringi dengan suatu perintah yang harus diperbuat dan perintah yang harus ditinggalkan dan dijauhi. 


Waktu dibagi tiga, masa lampau, sekarang, dan masa yang akan datang. Masa sekarang akan menjadi masa lampau jika kita berada di posisi masa akan datang. Begitu pun masa yang akan datang akan menjadi masa sekarang manakala kita sedang mengalami masa yang akan datang. Begitulah perputaran waktu. Hanya kehidupan akhiratlah yang tidak mengenal tiga pembagian waktu. 


Imam Ghazali menulis kitab menarik, Kimia Saadah yang artinya kimia kebahagiaan. Dalam kitab itu disebut bahwa puncak kebahagiaan seseorang terletak pada sejauh mana manusia punya kemampuan untuk menembus sekat dimensi ruang waktu, hingga batinnya selalu tertuju kepada Allah SWT. Sementara dalam pandangan seorang sufi Hasan Bashri, dikatakan, bahwa manusia senyatanya merupakan kumpulan dari waktu-waktu. Jika telah berlalu sebuah waktu, itu artinya manusia telah melewati masa kemanusiannya.


Ketiga, menyadari akan adanya pengawasan diri. Dalam beberapa ayat Al-Qur'an disebutkan bahwa setiap gerak gerik manusia ada yang mengawasinya. Sang Pengawas utama tentu Allah SWT. Selanjutnya ada dua malaikat pencatat kebaikan dan keburukan (QS Qaaf [50]: 7-8; QS al-Infitar [82]: 10-11). Pengawas selanjutnya anggota tubuh dan diri manusia sendiri (QS Yasin [36]: 65; QS al-Isra [17]: 14 & 36). 


Dengan menyadari adanya pengawasan, maka seorang manusia tidak akan melakukan perbuatan yang tidak diketahuinya. Ia akan berhati hati dalam bertindak karena suatu waktu akan dipinta pertanggung jawaban. 


Oleh karena itu, marilah kita gunakan waktu ini dengan sebaik mungkin. Orientasikanlah setiap waktu itu untuk meraih dan mengharap rida ilahi. Janganlah kita jadikan waktu hanya untuk berlalu begitu saja. Penting untuk diingat, waktu hanya datang satu kali, tidak bisa diulang. Jangan sampai sesal datang di kemudian hari.Semoga


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga pendidik.