Keislaman

Mengaji Sunnah Nabi dan Sunnah Hasanah di Abad Modern 

Kamis, 6 Juni 2024 | 09:42 WIB

Mengaji Sunnah Nabi dan Sunnah Hasanah di Abad Modern 

(Ilustrasi: NU Online).

Salah satu pembahasan penting dalam kitab ushul al- fiqh karya Imam al-Amidi adalah mengenai kedudukan Sunnah Nabi. Beliau mengemukakan bagaimana para pakar Ushul al-Fiqh berbeda pandangan mengenai perbuatan Nabi yang menjadi dalil syar'i. Kemudian beliau memaparkan pandangannya. 


Pertama, perbuatan Nabi yang merupakan hal biasa yang dilakukan manusia pada umumnya seperti makan, minum, berdiri dan duduk merupakan perkara mubah yang tidak memiliki konsekuensi hukum. 


Saya dapat tambahkan, hal ini dikarenakan semua manusia melakukannya dan Nabi Muhammad juga terikat dengan budaya setempat dalam cara makan dan minum. Ini boleh jadi masuk ke dalam kategori etika saja, bukan kategori hukum. Mengikutinya dibenarkan, tapi tidak menirunya tidak akan berdosa. Saya bisa beri contoh misalnya cara makan Rasul dengan 3 jari memang cocok dengan menu dan pola makan di Arab sana, tapi agak sulit diterapkan di tanah air pas lagi makan sayur lodeh atau di negeri lain yang makan pakai sumpit. 


Kedua, ada perbuatan yang khususiyah dilakukan oleh Nabi. Perbuatan yang bagi umatnya sunnah, tapi wajib dilakukan Nabi seperti shalat tahajud. Atau perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh umatnya tapi secara khusus dibenarkan untuk Nabi, seperti menikahi perempuan lebih dari empat, dan berpuasa wishal (terus menerus tanpa berbuka). Sebagai manusia khusus, tentu ada amalan ataupun perlakuan khusus juga untuk beliau SAW. Khususiyah ini tidak berlaku untuk umat Islam dan karenanya tidak masuk kategori hukum. 


Ketiga, perbuatan Nabi yang secara tegas dijelaskan sebagai pelaksanaan ataupun penjelasan terhadap ibadah seperti shalat dan haji berdasarkan dalil syar'i yang wjaib dijadikan pedoman oleh umat Islam. Misalnya Rasul bersabda: "ambillah cara manasik hajimu dari saya" atau "shalatlah kamu sebagaimana aku shalat". Perbuatan Rasul dalam hal ibadah kategori inilah yang memiliki konsekuensi hukum.


Penjelasan Imam al-Amidi ini sangat penting untuk meletakkan secara proporsional nilai etika yang masuk kategori sunnah (perbuatan atau tradisi) Rasul dan mana contoh sunnah Rasul yang masuk kategori hukum, dan karenanya bisa bermakna wajib, mandub (dianjurkan), atau mubah. Artinya tidak semua hal yang dianggap sunnah Nabi itu hukumnya wajib kita laksanakan seperti yang dijelaskan di atas. 


Sunnah dipahami secara luas, tidak sempit, seperti pemahaman sementara pihak. Selain sunnah Nabi, kita juga berpegang pada sunnah al-khulafa ar- rasyidin, sunnah sahabat Nabi dan sunnah hasanah dari umat Islam. 


Pesan Nabi:


فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّينَ 


"Maka ikutilah sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk setelahku" (HR Tirmidzi).


Nabi juga berpesan: Dari 73 golongan umat yang terpecah, satu golongan masuk surga, yaitu 


ما أنا عليه وأصحابي 


"Mereka yang berpegang dengan sunnahku dan sahabatku" (HR Tirmidzi).


Nabi kemudian berpesan juga: 


مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةَ سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ 


"Barangsiapa yang membuat sunnah hasanah dalam Islam maka dia akan memperoleh pahala dan pahala orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang membuat sunnah sayyi'ah dalam Islam maka ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun" (HR Muslim).


Imam Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan istilah "sanna sunnah hasanah" sebagai memulai kebaikan (al-ibtida' bil-khairat) sedangkan "sanna sunnah sayyi'ah" sebagai memulai/membuat-buat berbagai kebatilan dan keburukan (ikhtira' al-abathil wal- mustaqbahat). Hal ini berarti kata sunnah di situ bukanlah sunnah Rasulullah seperti yang disangka kelompok di atas, tetapi adalah hal baru secara umum yang memang adakalanya baik dan adakalanya buruk (An-Nawawi, Syarh Muslim, Syarh An-Nawawi 'ala Muslim, juz VII, halaman 104). 


Jadi sekarang kita paham bahwa kita mengikuti Sunnah Nabi, Sunnah al-Khulafa ar-Raayidin Sunnah Sahabat Nabi pada umumnya dan Sunnah Hasanah yang dilakukan oleh umat Islam di bawah bimbingan ahli waris Nabi yaitu para ulama (warasatul anbiya)


Sunnah dipahami dalam konteks perbuatan atau tradisi baik suatu kaum yg tdk bertentangan dg syariat. Ini juga diakui dalam Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jama'ah). Dalam bahasa Ushul al-Fiqh ini disebut dengan: al- 'Adah Muhakkamah (adat kebiasaan dijadikan panduan menetapkan hukum). 


Begitu juga dengan kaidah: al-Ma'ruf 'urfan ka al- Masyrut Syartan (hal baik yg sudah dikenal secara kebiasaan diterima seperti halnya syarat). Atau "al-Tsabit bil-dalalatil 'urf kats-tsabit bil dalalatin nash" (yang ditetapkan dengan indikasi dari adat sama statusnya dengan yang ditetapkan berdasarkan petunjuk nash). 


Dan juga kaidah lainnya: "Ma raahu al-muslimun hasanan fa huwa 'indallah hasan" (apa yang dianggap baik oleh umat Islam maka di sisi Allah pun dianggap baik).


Terakhir, Nabi berpesan :


إِنَّ اللَّهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِي عَلَى الضَّلَالَةِ، وَيَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ، وَمَنْ شَدَّ شَدَّ إلَى النَّارِ 


"Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umatku di atas kesesatan. Dan tangan Allah bersama Al-Jama'ah. Barangsiapa menyimpang dari Al-Jama'ah, beerarti dia menyimpang ke neraka." 


Jadi tradisi baik atau sunnah hasanah di kalangan umat yang diikuti oleh mayoritas jamaah, selama tidak bertentangan dengan syariat, maka tradisi itu juga diterima dalam Islam, bukan dianggap tradisi sesat. Dan sesuai hadits Nabi di penjelasan diatas, siapa yang melakukan sunnah hasanah dan diikuti oleh orang lain, maka dia akan turut mendapatkan pahalanya. 


Jadi lakukanlah hal yang baik di masyarakat dan di medsos, meski tidak dicontohkan oleh Nabi dan sahabat, karena perbedaan situasi-kondisi dan perubahan zaman, insya Allah itu termasuk sunnah hasanah. 


KH Nadirsyah Hosen,  salah seorang Dosen Senior Monash Law School