Hari Tarwiyah jatuh pada tanggal 8 Dzulhijjah, salah satu hari penting dalam bulan Dzulhijjah yang termasuk ke dalam empat bulan mulia dalam Islam, dikenal sebagai "Asyhurul Hurum." Pada bulan ini, umat Islam memperingati dua peristiwa agung, yakni Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban, serta pelaksanaan ibadah haji. Puncak pelaksanaan ibadah haji terjadi pada tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah, yang dikenal sebagai Hari Tarwiyah dan Hari Arafah.
Pada masa puncak ibadah haji ini, umat Islam yang tidak sedang menunaikan haji disunnahkan untuk menjalankan puasa sebagai bentuk ibadah.
Makna Hari Tarwiyah
Hari Tarwiyah merujuk pada kegiatan mabit atau bermalam di Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah, sebelum para jamaah haji melaksanakan wukuf di Padang Arafah. Di Mina, para jamaah menunaikan shalat Zuhur, Asar, Maghrib, Isya, dan Subuh, dan tidak meninggalkan tempat tersebut hingga matahari terbit pada Hari Arafah. Pelaksanaan Tarwiyah ini hukumnya sunnah.
Mengacu pada penjelasan Ustadz Sunnatullah di laman NU Online, penamaan Hari Tarwiyah dijelaskan dalam karya Imam Fakhruddin Ar-Razi (544–606 H). Dalam kitabnya, Imam Ar-Razi mengutip sejumlah pendapat ulama mengenai asal-usul penamaan hari tersebut.
فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ أَحَدُهَا: أَنَّ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَمَرَ بِبِنَاءِ الْبَيْتِ، فَلَمَّا بَنَاهُ تَفَكَّرَ فَقَالَ: رَبِّ إِنَّ لِكُلِّ عَامِلٍ أَجْرًا فَمَا أَجْرِي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ؟ قَالَ: إِذَا طُفْتَ بِهِ غَفَرْتُ لَكَ ذُنُوبَكَ بِأَوَّلِ شَوْطٍ مِنْ طَوَافِكَ، قَالَ: يَا رَبِّ زِدْنِي قَالَ: أَغْفِرُ لِأَوْلَادِكَ إِذَا طَافُوا بِهِ، قَالَ: زِدْنِي قَالَ: أَغْفِرُ لِكُلِّ مَنِ اسْتَغْفَرَ لَهُ الطَّائِفُونَ مِنْ مُوَحِّدِي أَوْلَادِكَ، قَالَ: حَسْبِي يَا رَبِّ حَسْبِيي. وَثَانِيهَا: أَنَّ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ رَأَى فِي مَنَامِهِ لَيْلَةَ التَّرْوِيَةِ كَأَنَّهُ يَذْبَحُ ابْنَهُ فَأَصْبَحَ مُفَكِّرًا هَلْ هَذَا مِنَ اللَّهِ تَعَالَى أَوْ مِنَ الشَّيْطَانِ؟ فَلَمَّا رَآهُ لَيْلَةَ عَرَفَةَ يُؤْمَرُ بِهِ أَصْبَحَ فَقَالَ: عَرَفْتُ يَا رَبِّ أَنَّهُ مِنْ عِنْدِكَ وَثَالِثُهَا: أَنَّ أَهْلَ مَكَّةَ يَخْرُجُونَ يَوْمَ التَّرْوِيَةِ إِلَى مِنًى فَيَرْوُونَ فِي الْأَدْعِيَةِ الَّتِي يُرِيدُونَ أَنْ يَذْكُرُوهَا فِي غَدِهِمْ بِعَرَفَاتٍ
Artinya, “Ada tiga pendapat di balik penamaan hari Tarwiyah. (1) karena Nabi Adam ‘alaihissalâm diperintah untuk membangun sebuah rumah, maka ketika ia membangun, ia berpikir dan berkata, ‘Tuhanku, sesungguhnya setiap orang yang bekerja akan mendapatkan upah, maka apa upah yang akan saya dapatkan dari pekerjaan ini?’ Allah subhânahu wata’âlâ menjawab: ‘Ketika engkau melakukan thawaf di tempat ini, maka aku akan mengampuni dosa-dosamu pada putaran pertama tahwafmu.’ Nabi Adam ‘alaihissalâm memohon, ‘Tambahlah (upah)ku’. Allah menjawab: ‘Saya akan memberikan ampunan untuk keturunanmu apabila melakukan tahwaf di sini’. Nabi Adam ‘alaihissalâm memohon, ‘Tambahlah (upah)ku’. Allah menjawab: ‘Saya akan mengampuni (dosa) setiap orang yang memohon ampunan saat melaksanakan thawaf dari keturunanmu yang mengesakan (Allah).’
(2) Sesungguhnya Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm bermimpi ketika sedang tidur pada malam Tarwiyah, seakan hendak menyembelih anaknya, maka ketika waktu pagi datang, ia berpikir apakah mimpi itu dari Allah subhânahu wata’âlâ atau dari setan? Ketika malam Arafah mimpi itu datang kembali dan diperintah untuk menyembelih, kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm berkata, ‘Saya tahu wahai Tuhanku, bahwa mimpi itu dari-Mu’.
(3) Sesungguhnya penduduk Makkah keluar pada hari Tarwiyah menuju Mina, kemudian mereka berpikir tentang doa-doa yang akan mereka panjatkan pada keeseokan harinya, di hari Arafah.” (Fakhuddin Ar-Razi, Tafsîr Mafâtîhul Ghaib, [Bairut, Darul Fikr: 2000], juz V, halaman 324).
Tiga pandangan tersebut didasarkan pada makna tarwiyah itu sendiri. Menurut Fakhruddin, tarwiyah berarti berpikir atau merenung. Tak pelak, hari Tarwiyah identik dengan keadaan berpikir dan merenung tentang peristiwa yang masih dipenuhi keragu-raguan, seperti yang dialami oleh Nabi Adam AS dan Nabi Ibrahim AS.
Syekh Nidhamuddin Al-Hasan bin Muhammad bin Husein An-Naisaburi dalam kitab Tafsîr an-Naisabûri menyatakan bahwa hari Tarwiyah mempunyai sejarah yang sangat luar biasa, yaitu menjadi hari persiapan untuk bekal menuju ibadah haji. Orang-orang mengumpulkan air yang sangat banyak untuk dibagikan kepada calon jamaah haji.
Mereka akan memberikan kepada jamaah setelah merasakan lelah dan dahaga ketika menempuh perjalanan menuju kota Makkah, atau mereka akan membagikan air-air yang telah mereka kumpulkan kepada para jamaah saat melaksanakan ibadah haji, mengingat gersangnya tanah Arab dan sedikitnya air saat itu. Ibaratnya, orang-orang yang sedang melaksanakan ibadah haji merupakan orang-orang yang sangat haus ats rahmat Allah.
Karenanya, Allah telah mempersiapkan rahmat-Nya kepada mereka semua setelah melakukan ibadah, dengan diampuninya dosa-dosa mereka.” (Nidhamuddin An-Naisaburi, Tafsîr an-Naisabûri , [Bairut, Dârul Kutub: 1999], juz I, halaman 489).