Aswaja Diantara Dua Kutub Ekstrim yang Berdegup (3-Tamat)
Senin, 9 September 2024 | 08:02 WIB
Berangkat dari paradigma Aswaja tersebut maka tampak jelas bahwa kaum Aswaja tidak mudah mengkafirkan atau mensyirikkan orang lain hanya karena dia menggunakan Takwil atas teks-teks agama. Takwil adalah cara memahami teks dengan menggunakan potensi nalar guna mencari dan menemukan akar masalah serta membaca dan menganalisis realitas.
Dewasa ini kata ini diidentikkan dengan “hermeneutic”. Ini berbeda dengan pendekatan Tafsir, sebuah cara memahami teks dengan merujuk pada teks-teks lain yang relevan.
Pandangan Aswaja tersebut tentu berbeda dengan pandangan dan perilaku sebagian kelompok Islam garis keras di Indonesia atau di tempat lain, dewasa ini, yang diwakili Wahabisme (ajaran-ajaran Muhammad bin Abd al-Wahab dari Nejd, Saudi Arabia) atau Khawarij, (radikal) pada masa lalu. Penganut Aswaja bahkan juga tidak mudah menuduh sesat (Bid’ah) apalagi mengkafirkan terhadap mereka yang berseberangan pendapat menyangkut pengembangan tradisi masyarakat dan pemikiran keagamaan.
Dalam tradisi fiqh sikap Aswaja ini dikemukakan dalam ucapan para ulama fiqh: “Ra’yuna Shawab Yahtamil al-Khata’ wa Ra’yu Ghairina Khatha Yahtamil al-Shawab” (pendapat kami benar meski mungkin keliru, dan pendapat orang lain keliru tapi mungkin saja benar). Pada sisi lain kaum Aswaja tidak sepenuhnya membiarkan berkembangnya pemahaman yang serba menghalalkan segala cara (ibahiyyah). Aswaja Asy’ari, seperti diwakili organisasi NU, selalu menolak kekerasan di satu sisi, dan menawarkan cara-cara dialog yang sehat pada sisi lain.
Paradigma Aswaja di atas diyakini banyak pihak masih memiliki relevansi untuk mengatasi problem politik umat Islam Indonesia yang tengah berada dalam situasi yang mengkhawatirkan sebagaimana dewasa ini. Aswajalah golongan yang dapat menjawab secara telak tuduhan “ekstrimisme” yang dialamatkan kepada Islam. Hal ini karena Aswaja tidak pernah mengenal penggunaan cara-cara radikal atau cara-cara kekerasan atas nama atau simbol agama terhadap orang lain, meskipun mereka berbeda aliran keagamaan bahkan juga terhadap mereka yang berbeda agama.
Aswaja juga tidak pernah menganjurkan pengikutnya untuk memulai perang terhadap orang kafir/non muslim. Perang dapat dijalankan hanya dalam rangka membela diri dari serangan mereka. Non muslim harus diperlakukan secara baik dan adil sepanjang dalam situasi aman, tidak menyerang atau mengusir kaum muslim. Sikap ini memperoleh dasar teologisnya dari ayat suci al-Qur’an yang menyatakan: “ Tuhan tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan bertindak adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dan tidak pula mengusirmu dari rumah-rumahmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil”.
Jika ada kemunkaran/kemaksiatan yang terjadi dalam masyarakat, doktrin Aswaja mengajarkan “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”, melalui mekanisme “Hikmah” (ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan), Mau’izhah Hasanah (nasehat yang santun) dan Mujadalah bi al-Lati Hiya Ahsan (berdebat/berdiskusi dengan cara yang terbaik). Cara lain adalah melalui aturan-aturan hukum (UU) yang adil dan dilaksanakan dengan konsekuen oleh para penegak hukum.
Demikianlah, maka adalah jelas Aswaja menolak cara-cara penyebaran agama dengan kekerasan baik fisik, psikis maupun pembunuhan karakter. Jadi, orang-orang yang menggunakan kekerasan sebagai cara menyebarkan agama, meski dengan mengatasnamakan Tuhan, agama atau umat Islam bukanlah bagian dari masyarakat Aswaja. Atau mengkalim diri sebagai Aswaja. Maka kita memang harus waspada terhadap mereka.
KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU