Rudi Sirojudin Abas
Kontributor
Ketika membaca tulisan Gus Nadir "Tahlilan di Era AI" termenung hati ini dengan apa yang telah diutarakannya. Seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, terutama setelah mengemukanya kecanggihan AI, justru sesuatu yang tidak bisa dimodifikasi oleh teknologi adalah ritual keagamaan yang sifatnya kontekstual.
Kata Gus Nadir, jika segala sesuatu dapat dilacak oleh AI dengan sistem algoritmanya, namun ekspresi spiritual (dalam hal ini misalnya tahlilan) sejatinya tak bisa diunduh dan diprogram. Ketika algoritma AI sibuk menebak keinginan, tahlilan justru mengajarkan kita untuk mengingat kehilangan. Ketika dunia berlomba menjadi cepat, tahlilan justru memanggil kita untuk pelan. Dengan demikian, esensi tahlilan pada dasarnya adalah tradisi spiritual yang hanya bisa dimengerti dan dipahami oleh nalar batin, bukan oleh nalar logika.
Mengapa demikian? Karena dalam ritual tahlilan, yang bicara bukan logika, tetapi soal rasa dan cinta. Tahlilan mengajarkan kepada kita bahwa cinta bukan soal hidup dan mati. Justru tahlilan mengajarkan bahwa cinta akan lebih bermakna dan sempurna manakala dipersembahkan oleh seseorang kepada seseorang yang sudah tiada dalam dunia ini.
Bagi saya, sepertinya sulit membayangkan bagaimana jadinya jika di negeri ini, ritual-ritual keagamaan yang sifatnya komunal tidak ada. Pasalnya masyarakat di negeri ini ditakdirkan Tuhan sebagai manusia yang komunal, satu sama lain di antara mereka saling ketergantungan. Bangsa Indonesia sedari dulu pun telah sadar bahwa untuk mencapai derajat kebahagiaan hakiki perlu diwujudkan secara bersama-sama. Oleh karena itulah setiap ritual yang ada di negeri ini selalu dirayakan secara besar-besaran, karena bangsa ini sadar bahwa kebahagian sejatinya adalah milik semua orang.
Begitu pula dalam tradisi tahlilan, pesan moralnya adalah empati atas kesedihan orang lain. Orang yang sedang bertahlil sadar bahwa dirinya sedang merajut hubungan emosional dengan sesamanya. Oleh karenanya, dalam setiap gelaran tahlilan, batas, sekat, dan jarak primordial kadang tak berarti karena semua identitas dikumpulkan dalam satu ruang sakral. Dikondisi demikian, justru yang terjadi adalah keheningan dan kekhusuan dalam ritual yang sifatnya menyeluruh.
Dalam kehidupan sosial keberagamaan di Indonesia, kalam, diksi, maupun frase terkait dengan tahlilan memang selalu menjadi perdebatan panjang yang tak kunjung selesai. Masing-masing pihak selalu teguh dan patuh pada argumen yang dimilikinya. Padahal jika kita tengok dalam khazanah Islam klasik, teks kontekstual terkait tahlilan sudah selesai. Semua sepakat bahwa teks-teks yang ada dalam tahlilan semuanya bersumber dari Al-Qur'an dan sunnah. Kemudian yang dipermasalahkan adalah karena teks-teks yang legal tersebut dikonstruksi, didesain secara terstruktur dan terlembagakan. Inilah yang kemudian menjadi berdebatan yang panjang dan tak kunjung pernah selesai.
Untuk mereka yang anti tahlilan, saya rasa seharusnya tahlilan dipahami bukan hanya sebagai ritual yang dipandang dengan satu dimensi, dimensi keagamaan saja. Tetapi juga harus dipandang sebagai ritual dalam beragam dimensi: dimensi sosial, ekonomi, dan dimensi pendidikan. Dimensi sosial tahlilan mengajarkan kepada kita akan jiwa solidaritas dan empati antar sesama manusia; secara ekonomi tahlilan dapat mewujudkan kesejahteraan individu dalam masyarakat; dimensi pendidikan dalam tahlilan mengajarkan kepada kita akan pentingnya menghargai jasa para pendahulu.
Baca Juga
Tahlilan di Era AI
Kembali ke tulisan Gus Nadir, tahlilan di zaman sekarang menurutnya mampu menembus beragam ruang dimensi. Jika dahulu hanya mampu digelar di satu tempat saja. Kini dalam kecanggihan teknologi, tahlilan dapat digelar secara bersamaan secara virtual. Meskipun demikian, spiritualisme dalam tahlilan tetap tidak kehilangan maknanya. Justru dengan beragam ruang dimensi, ritual tahlilan terus menemukan ketegasan dan kekuatan momentumnya. Itu artinya, sebanyak apapun argumentasi yang dibangun untuk melemahkan tradisi tahlilan, sejatinya hal itu tak akan mampu melegitimasi tradisi yang telah mengakar di kehidupan masyarakat Islam Indonesia ini. Dalam kondisi ini justru spritualisme dalam tahlilan, bukan saja akan lebih membumi, melainkan juga akan lebih melangit.
Terakhir, marilah kita renungkan apa yang diungkapkan Gus Nadir di akhir tulisannya bahwa tahlilan adalah dzikir kolektif di tengah zaman yang kian individual. Ia bukan peninggalan masa lalu, tapi harapan spiritual masa depan. Di dunia yang semakin didinginkan oleh mesin, tahlilan adalah pelukan hangat dari mereka yang masih percaya bahwa doa tak pernah mati dan akan selalu menjadi pelipur lara bagi semua insan beriman.
Dari saya terkait dengan tahlilan dalam dimensi fenomenologis: tahlilan merupakan tradisi spiritual yang tak terikat dengan ruang dan batas dimensi apapun. Ia mampu membus ruang dan waktu. Dan ia juga tidak akan lekang dimakan oleh waktu karena ia tidak bersifat privasi. Wallahu'alam.
Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut dan sedang diproyeksikan menjadi ketua Lakpesdam PCNU Garut.
Terpopuler
1
Dialog Refleksi Harlah ke-70, IPPNU Tasikmalaya Tegaskan Peran Strategis Perempuan dalam Pendidikan dan Kepemimpinan
2
Pesantren Karangmangu Bertaraf Nasional, Cetak Puluhan Khatimin dari Berbagai Daerah
3
RMI PWNU Jabar Kritik Kebijakan Gubernur Terkait Penyerahan Ijazah
4
Sekda Tasikmalaya Apresiasi Kiprah IPPNU dalam Membangun Generasi Melek Teknologi
5
LP Ma’arif NU Jabar dan Gurfah Azhariyah Gelar Tes Masuk Universitas Al-Azhar Mesir
6
Jelang Idul Adha 1446 H, PCNU Cianjur Akan Menggelar Kurban Serentak di 32 Kecamatan
Terkini
Lihat Semua