• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Tokoh

KH Ahmad Sanusi, Ajengan Sukabumi yang Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional

KH Ahmad Sanusi, Ajengan Sukabumi yang Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional
KH Ahmad Sanusi, (Foto: AM)
KH Ahmad Sanusi, (Foto: AM)

Bandung, NU Online Jabar
Pemerintah menganugerahi gelar pahlawan nasional kepada lima tokoh putera pejuang dan pengisi kemerdekaan republik Indonesia. Salah satu nya ialah ulama asal Sukabumi Jawa Barat, KH Ahmad Sanusi.


Penganugerahan gelar pahlawan nasional ini secara resmi diberikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara pada Senin (7/11/2022) disaksikan langsung oleh keluarga KH Ahmad Sanusi.


Gelar Pahlawan Nasional dianugerahkan berdasarkan Keputusan Presiden nomor 96/TK/2022, setelah sebelumnya Presiden Joko Widodo menyetujui usulan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang diketuai oleh Menkopolhukam, Mahfud MD.


KH Ahmad Sanusi dinilai banyak berkontribusi dalam upaya-upaya perlawanan terhadap penjajahan Belanda dan Jepang, antara lain pernah menjadi salah satu anggota BPUPKI. 

 

Kelahiran dan Silsilah Keturunan
Ahmad Sanusi, lahir di Cantayan, Sukabumi. Dahulu daerah tersebut bernama Kampung Cantayan, Onderdistrik Cikembar, Distrik Cibadak, Afdeeling Sukabumi, Jawa Barat. 


Terkait tanggal kelahirannya, ada banyak versi yang mengutarakan. Ada yang menyebut ia lahir pada tanggal 12 Muharram 1306 H, sementara di atas batu nisan makamnya tertulis ia dilahirkan pada tanggal 3 Muharam 1306 Hijriah.
Mengutip buku ‘Riwayat Perjuangan KH. Ahmad Sanusi’ yang ditulis oleh Miftahul Falah, mengenai tanggal kelahiran Ahmad Sanusi dalam tahun masehi, ada penulis yang menyebut 18 September 1889 (Iskandar, 1993: 2; Mawardi dalam Sulasman, 2007: 19). Ketika Ahmad Sanusi diperiksa oeh Raden Karnabrata, Wedana Patih Afdeeling Sukabumi tanggal 7 Oktober 1919, ia mengaku berusia sekitar 30 tahun (Proces Verbaal Hadji Ahmad Sanoesi tanggal 7 Oktober 1919 dalam Koleksi R. A. Kern No. 278. KITLV). Artinya, Ahmad Sanusi mengaku lahir sekitar tahun 1889.


Sementara itu, dalam Daftar Orang-Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa, tertulis tanggal 18 September 1888 sebagai penafsiran atas tanggal 12 Muharam 1306 Hijriah (ANRI, R.A. 31. No. 2119). Ketika A. M. Sipahoetar berdialog langsung dengan Ahmad Sanusi sekitar tahun 1942-1943 dan menuliskan tanggal 18 September 1888 sebagai kelahiran Ahmad Sanusi, ia tidak mengoreksi penanggalan tersebut (Sipahoetar, 1946: 71). Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahawa Ahmad Sanusi dilahirkan pada 18 September 1888 atau 12 Muharram 1306 H.


Ahmad Sanusi merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara buah cinta KH. Abdurrahim dengan Epok, istrinya yang pertama. Ahmad Sanusi memiliki dua orang kakak yang masing-masing bernama Iting (perempuan) dan Abdullah (laki-laki); serta memiliki lima orang adik yang masing-masing bernama Ulan, Nahrowi, Soleh, Kahfi, dan Endah. Selain itu, Kiai Abdurrahman pun memiliki enam orang anak hasil pernikahannya dengan Eno, istri keduanya, yang masing-masing bernama Muhammad Mansyur, Ahmad Damanhuri, Dadun Abdul Qohar, Muhammad Maturidi, Bidin Saefudin, dan Bidi Malakah. Adapun pernikahannya dengan Oyo, istri ketiganya, K. H. Abdurrahman tidak dikaruniai anak (Sulasman, 2007: 21-22).


KH Abdurrahim adalah seorang ajengan dari Tasikmalaya yang merantau dan menetap di Cantayan. Berdasarkan cerita yang berkembang di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya, KH Abdurrahim berasal dari Sukapura (Tasikmalaya). Konon diceritakan bahwa, ayah KH Abdurrahim yang bernama H Yasin masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Raden Anggadipa. Ketika memegang jabatan sebagai Bupati Sukapura, Raden Anggadipa dikenal dengan nama Raden Tumenggung Wiradadaha III yang dikenal dengan panggilan Dalem Sawidak. Cerita lain menyebutkan bahwa H Yasin merupakan keturunan Syekh Abdul Muhyi, penyebar agama Islam di daerah Tasikmalaya Selatan yang berpusat di Pamijahan.


Berikut silsilah rantai keturunan KH Ahmad Sanusi dalam jurnal ilmiah karya H. Istikhori  yang berjudul ‘KH. Ahmad Sanusi (1888-1950): Biografi Ulama Hadis Keturunan Nabi Saw Asal Sukabumi.’


K.H. Ahmad Sanusi merupakan putera K.H. Abdurrahim bin H. Yasin (1833-1949 M) bin Nurzan bin Nursalam bin Nyi Raden Candra binti Syekh Haji Abdul Muhyi Pamijahan bin Raden Ageng Tanganziah bin Kentol Sumbirana bin Wira Candera bin Syekh ‘Ainul Yaqīn (Sunan Giri) bin Isḥāq Ma’ṣūm bin Ibrāhīm al-Ghazalī bin Jamāl al-Dīn Ḥusein bin Aḥmad bin ‘Abd Allāh bin ‘Abd al-Malik bin ‘Alawī bin Muḥammad bin Ṣāḥib al-Mirbaṭ bin ‘Alī Khalīl Qasam bin ‘Alawī bin Muḥammad bin ‘Alawī bin ‘Abd Allāh bin Aḥmad al-Muhājir bin ‘Īsā al-Bisarī bin Muḥammad al-Faqīh bin ‘Alī al- ‘Urayḍī bin Ja’far Ṣādiq bin Muḥammad al-Bāqir bin ‘Alī Zayn al-‘Ābidīn bin Ḥusayn bin Sitī Fāṭimah binti Muḥammad Saw.  


Terkait jalur nasab tersebut, Istikhori menerima informasi dari Prof. Dr. Said Agil Husin Al-Munawwar, di mana menurut pengakuannya, Kiai Ahmad Sanusi adalah kawan dekat kakeknya, yang pada masa hidupnya sering berkunjung ke Sukabumi untuk menemuinya, di mana keduanya memiliki garis keturunan Nabi Saw. Hanya saja menurutnya, KH. Ahmad Sanusi menyembunyikan identitasnya.

 

Masa Pendidikan
Sebagai seorang anak ajengan, sejak kecil Ahmad Sanusi beserta dengan seluruh saudaranya dididik dalam lingkungan religius. Proses pendidikan agama yang diterima Ahmad Sanusi dilakukan secara langsung oleh orang tuanya yang pada waktu itu telah mendirikan sebuah pesantren yang bernama Pesantren Cantayan. Di pesantren ini, secara rutin digelar majelis taklim yang selalu dihadiri oleh para jamaah dari berbagai daerah. Sementara itu, santri yang masantren di Cantayan tidak hanya berasal dari daerah setempat, melainkan ada juga yang berasal dari Bogor dan Cianjur.


Pada tahun 1905 M, di saat usianya menginjak 17 tahun, Ahmad Sanusi mulai mondok di beberapa pesantren di wilayah Jawa Barat, seperti Cisaat, Sukaraja Sukabumi, Cianjur, Garut, dan Tasikmalaya, yang diselesaikan dalam tempo singkat selama empat setengah tahun, sebelum menikah dan menunaikan Ibadah Haji pada tahun 1910. Seusai menunaikan ibadah haji, Ahmad Sanusi beserta istrinya memutuskan untuk menetap di Makkah selama lima tahun, untuk memperdalam ilmu agama dari para syaikh. Selain itu, ia pun membiasakan diri berkunjung kepada beberapa ulama Nusantara maupun tokoh pergerakan yang juga berada di Makkah, untuk bertukar pikiran dan menggali ilmunya.


Adapun Pesantren yang pernah beliau kunjungi di antaranya: Pesatren Selajambe (Cisaat Sukabumi), Pesantren Sukamantri  (Cisaat Sukabumi), Pesantren Sukaraja (Sukaraja Sukabumi), Pesantren Cilaku (Cianjur), Pesantren Ciajag (Cinajur), Pesantren Gentur Warung Kondang (Cianjur), Pesantren Keresek (Garut), Pesantren Bunikasih (Garut), dan Pesantren Gudang (Tasikmalaya).


Kiprah dan Perjuangannya
Kiai Ahmad Sanusi dikenal sebagai seorang mufassir atau ahli tafsir Al Qur’an. Sebagai seorang mufassir, Beliau begitu memahami kandungan makna dari ayat-ayat Al Qur’an dan banyak mengupas ayat-ayat yang berhubungan dengan persamaan hak, harga diri, dan kemerdekaan. Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika ia dipandang sebagai sosok religius-nasionalis yang sangat berpengaruh pada masanya. Dengan karakter dan kedalaman ilmunya, pemerintah Hindia Belanda merasa khawatir terhadap aktivitasnya. Oleh karena itu, sejak tahun 1927, K. H. Ahmad Sanusi diasingkan ke Batavia Centrum. Selama di pengasingan, ia mengganti nama Hindia Nederland menjadi Indonesia dalam majalah yang dikelolanya: Al Hidajatoel Islamijjah.

 


Selain itu, ia juga mendirikan Al Ittihadijatoel Islamijjah (AII) sebuah organisasi yang bergerak di bidang sosial-keagamaan. Pada zaman pendudukan Militer Jepang, organisasi ini dibekukan, tetapi sejak 1 Februari 1944 diizinkan untuk diaktifkan lagi dengan nama Persatoean Oemat Islam Indonesia (POII). Tahun 1952, dua tahun setelah ia wafat, organisasi ini melakukan fusi dengan Persatoean Oemat Islam (POI) yang didirikan oleh K H. Abdul Halim dari Majalengka. Ajengan yang disebutkan terakhir merupakan teman seperjuangannya dalam memajukan pendidikan umat Islam. Fusi kedua organisasi itu sekarang bernama Persatuan Umat Islam (PUI). Beliau pun ikut berusaha merumuskan konstitusi dasar bagi negara Indonesia merdeka karena duduk sebagai anggota BPUPKI. 

 


Sebagai anggota BPUPKI Nomor urut 2 (dua) dengan posisi duduk pada kursi nomor urut 36 bersama-sama Mr. Syamsuddin (sama-sama asli orang Sukabumi), pengurus Jawa Hokokai (Kebaktian Jawa), mewakili Masyumi bersama-sama K.H. Wahid Hasyim, Pengurus Masyumi (Majelis Syuro’ Muslimin Indonesia) bersama-sama K.H. Abdul Halim, anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), anggota Dewan Penasehat Daerah Bogor (Giin Bogor Shu Sangi Kai), Wakil Residen Bogor (Fuku Syucokan). Di wilayah Keresidenan Bogor (Bogor Syu) ia yang ikut membentuk Tentara PETA (Pembela Tanah Air), BKR (Badan Keamanan Rakyat) Sukabumi, dan KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Kotapraja Sukabumi.

 


Pada masa Perang Kemerdekaan, ia ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan dan melahirkan kader-kader pejuang yang tangguh. Sebagai wujud cintanya kepada NKRI, dengan tegas menolak eksistensi Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/TII). Penolakannya itu diikuti oleh beberapa ulama berpengaruh di Jawa Barat.

 

Sebagai seorang ulama pejuang, KH. Ahmad Sanusi tidak mengharapkan penghargaan dalam bentuk apapun dari umatnya. Beliau berjuang semata-mata ingin menegakkan ajaran Islam agar “bangsa bumiputera tidak bergantung kepada bangsa asing” seperti yang ditulisnya dalam bukunya Nahratud’dhargam.

 

Penulis: Abdul Manap, dari berbagai sumber.
 


Tokoh Terbaru