• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 28 Maret 2024

Tokoh

H. Djamaluddin Malik Bapak Industri Kreatif Indonesia

H. Djamaluddin Malik Bapak Industri Kreatif Indonesia
Djamaluddin Malik dan Presiden Soekarno
Djamaluddin Malik dan Presiden Soekarno

Oleh M. Sakdillah

Memasuki bulan Juni 2021 ini, ada beberapa tokoh penting NU yang perlu diingat dan dikenang, karena telah menorehkan kiprah sejarah bagi nusa dan bangsa Indonesia. Di antara mereka adalah K.H. Adlan Aly (Rais Jatman NU Periode 1979-1990, lahir pada 3 Juni 1900), K.H. Hamim Djazuli alias Gus Miek (pendiri Majelis Dzikir Dzikrul Ghafilin Mantab, wafat pada 5 Juni 1993), Hj. Aisyah Hamid Baidlowi (Puteri KHA Wahid Hasyim, Ketua Umum PP Muslimat NU Periode 1995-2000, lahir pada 6 Juni 1941), dan H. Djamaluddin Malik (Ketua Lesbumi PBNU pertama, wafat pada 8 Juni 1971).

Sejarah industri kreatif Indonesia tidak akan begitu marak bila tidak dikenalkan oleh seorang juragan besar dari ranah Minang, Djamaluddin Malik, yang telah jatuh bangun membangkitkan industri film di masa awal Indonesia merdeka. Memang, namanya tidak setenar puterinya, Camelia Malik sang aktris dan penyanyi dangdut di masa belakangan ini. Namun, namanya terpatri dengan baik sebagai Pahlawan Nasional bila disandingkan dengan nama besar Usmar Ismail. Keduanya dikenal sejarah Indonesia sebagai Dwi Tunggal Bapak Perfilman Indonesia.

Semangat Nasionalisme
Film mulai dikenal pertama kali pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta) yang digunakan sebagai media dan alat propaganda bagi Hindia Belanda, negara bentukan Kerajaan Belanda di Nusantara. Film yang disebut “Gambar Idoep” tersebut pertama digelar di Tanah Abang. Sebuah film bisu yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. 

Tentu, film pertama tersebut kurang mendapat sambutan hangat, karena memang sedang terjadi trend budaya “Hindia Molek” (Mooi Indie) pada masa itu yang memperlakukan masyarakat pribumi sebagai obyek. Setiap bentuk kesenian hanya bisa dipandang dan dinikmati oleh kalangan terbatas sebagaimana trend tersebut juga dirasakan pada sektor seni rupa (lukis) yang banyak menggambarkan tentang keindahan botani, pegunungan, petani, dan persawahan.

Pada 1926, sebuah film berjudul “Loetoeng Kasaroeng” diproduksi oleh NV Java Film Company. Film tersebut disutradarai oleh dua orang Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp. Pemutaran perdana film ini dilakukan di Bandung dari tanggal 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927 di dua bioskop, Metropole dan Majestic. Agaknya, Bandung menjadi sentra utama eksplorasi “Mooi Indie” oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menarik minat pelancong-pelancong dari Eropa. Setelah menggarap film pertama tersebut, selanjutnya G. Kruger dan L. Heuveldorp menghadirkan film Eulis Atjih (1927) dan Karnadi Anemer Bangkong (1930). Dua film yang tetap tidak mendapat simpati karena dianggap telah menghina budaya Sunda. G. Kruger sang sutradara kemudian hijrah, melanjutkan karier sinematografinya di Hongkong. 

Kendati demikian, muncul perusahaan-perusahaan film baru dipelopori oleh kalangan Tionghoa seperti Nelson Wong bersaudara yang datang dari Shanghai, menyusul impor film-film Amerika yang mulai marak sejak 1905. Mereka mendirikan Halimoen Film (Bandung) dan memproduksi film Lily van Java (1928); serta, Central Java Film Coy (Semarang) yang memproduksi film Setangan Berlumur Darah (1928). 

Jejak industri film pertama pada masa Pemerintah Hindia Belanda tersebut sempat dinyatakan hilang dari pengamatan sejarah film Indonesia seturut kemunculan film-film propaganda perang pada masa Pemerintah Jepang.  

Semangat nasionalisme dan sejarah kemunculan industri film Indonesia bisa dikatakan mulai dikenalkan oleh dua anak bangsa pada awal 1950-an, Djamaluddin Malik melalui Perseroan Artis Indonesia (Persari) dan Perusahaan Film Nasional (Perfini) yang dipimpin oleh Usmar Ismail. Hal ini didorong oleh keprihatinan Djamaluddin Malik terhadap aktris-aktris film pada masa Pemerintah Hindia Belanda yang belakangan kehilangan pekerjaan. Para aktris tersebut meleburkan diri ke dalam aktivitas-aktivitas seni drama seperti ludruk di Jawa Timur, ketoprak di Jawa Tengah, Lenong Betawi, teater Bangsawan dan opera Batak di Sumatera Utara, atau bahkan Dulmuluk di Palembang. Aktivitas seni drama memang berkembang pesat di lingkungan masyarakat Indonesia pada waktu itu, Presiden Soekarno sendiri sempat aktif bersama grup tonilnya. 

Aktivitas-aktivitas drama secara ekonomis memang lebih dapat menunjang kehidupan para aktris pada masa-masa sulit awal kemerdekaan. Djamaluddin Malik mengambil inisiatif mendirikan grup sandiwara Bintang Timur di Surabaya, kemudian membeli grup sandiwara yang sama, Pancawarna, dari seorang Tionghoa, Njoo Cheong Seng, di Solo. Dua grup sandiwara Djamaluddin Malik ini menjalankan fungsi sebagai mata-mata pada masa Agresi Belanda. Sebagaimana sandiwara kemudian dimengerti sebagai “wara-wara sandi”, menyampaikan pesan rahasia perang kaum santri ketika melawan Belanda. Di lain tempat, Usmar Ismail bersama kalangan terpelajar seperti Rosihan Anwar, Soedjojono, Corneli Simanjuntak, HB Jassin, dan Abu Hanifah bergabung dalam Perkumpulan Sandiwara Penggemar (amatir) Maya di Yogyakarta.

Industri Kreatif dan Strategi Dagang
Dua perusahaan film pada masa awal Indonesia merdeka yang dipimpin oleh Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail memiliki warna dan corak yang berbeda. Persari yang dipimpin oleh Djamaluddin Malik lebih menampilkan corak industri “modern” dengan fasilitas dan aksesoris yang lengkap, mengikuti selera pasar, sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat secara populer. Sementara Perfini yang dipimpin oleh Usmar Ismail lebih bercorak idealis dan tidak mudah diterima oleh masyarakat, meskipun produksi film yang dihasilkan lumayan bernilai seni tinggi.

Djamaludin Malik lahir di Padang pada 13 Februari 1917. Ia dikenal sebagai seorang pengusaha yang sukses hingga selanjutnya menjadi politisi, produser film Indonesia, dan penggagas Festival Film Indonesia (1955). Ia terlahir dari keluarga bangsawan Istana Pagaruyung di Tanah Datar (Sumatera Barat). 

Beranjak usia dewasa, Djamaluddin bekerja sebagai pegawai perusahaan pelayaran milik Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatschappij. Dia orang yang hemat pada masa mudanya. Ia mengumpulkan uang dari hasilnya bekerja sedikit demi sedikit. Pada 1940-an, ia memutuskan diri untuk terjun di dunia usaha dengan mendirikan perusahaan Djamaludin Malik Concern. Sebuah perusahaan perdagangan komoditas, termasuk tekstil, kayu, pelayaran, kontraktor, dan impor film-film luar negeri.

Sebagai produser, debut film perdana yang diproduksi oleh Djamaluddin Malik adalah Sedap Malam (1950). Kemudian, bekerja sama dengan LVN Studio (Filipina) untuk memproduksi film berwarna pertama di Indonesia, Rodrigo de Villa (1952). Film Rodrigo de Villa memiliki dua versi; di Indonesia diproduksi oleh Persari dan di Filipina diproduksi oleh LVN Studio dengan bahasa dan aktor yang berbeda.

Produksi film berwarna tersebut kemudian dilanjutkan dengan film-film berikutnya; Leilani (1953), Tabu (1953), Tarmina (1955), Lewat Djam Malam (1955), Ratu Asia, dan Tauhid (1964). Atas inisiatif K.H. Saifuddin Zuhri, Menteri Agama kala itu, film Tauhid merupakan media yang cukup ekspresif sebagai film yang bernafaskan religiusitas.

Sebagai pengusaha, Djamaluddin Malik dikenal cukup dermawan. Ia membantu para aktris untuk hidup layak seperti bintang-bintang film top dunia dengan membelikan rumah mewah bagi mereka di Kebayoran Baru. Ia memiliki strategi dagang untuk menghidupi para aktris tersebut. Di satu sisi, ia mengimpor film-film Bollywood dengan nilai komersil yang lumayan dapat mengeruk keuntungan. Dari hasil bisnis impor film tersebut pada sisi yang lain, ia berhasil memproduksi rata-rata 6 sampai 7 buah film dalam negeri pertahun. Hal yang berbeda dialami oleh Usmar Ismail yang hanya mampu memproduksi satu atau dua film saja per tahun.

Ketokohan Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail di dunia industri dan perfilman telah menandakan kebangkitan industri kreatif di Indonesia yang dilatarbelakangi oleh semangat nasionalisme dan kemerdekaan. Film sebagai industri kreatif dapat dijadikan sebagai wahana dan pemantik semangat budaya  dan kebangsaan, sebab berbagai unsur budaya dapat menjadi satu kesatuan sebagaimana Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dunia usaha yang masih dipandang sepi peminat.

Era 1950an adalah masa pembentukan pemerintahan negara yang kuat, maka dibutuhkan elemen-elemen dan perangkat pengelola negara yang  tangguh. Crashing ideology adalah masa uji coba anak bangsa di dalam memelihara dan mengendalikan konflik. Untuk membangun alam demokrasi yang kokoh dibutuhkan setiap aliran membentuk partai politik dengan ideologi masing-masing sebagai konsekuensi. NU sebagai organisasi sosial agama memutuskan menjadi partai politik pada Muktamar NU 1953 di Palembang untuk berpartisipasi, mengambil bagian dalam kancah demokrasi tersebut. Bersama Asrul Sani dan Usmar Ismail, Djamaluddin Malik mendirikan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) untuk mengimbangi dua ideologi yang sedang bersaing ketat di wilayah kesenian dan kebudayaan, Lekra dan Manikebu.

Hal ini telah membawa Djamaluddin Malik untuk terjun aktif berpolitik hingga menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung. Di bidang organisasi, ia pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Film Nasional dan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Namun, aktivitasnya di bidang politik berujung pada tuduhan ia bersimpati pada pemberontakan PRRI di Sumatera Tengah, sehingga mengakibatkan ia dipenjara pada 1958. Namun, ia dibebaskan tak lama kemudian setelah tuduhan yang ditujukan kepadanya tidak terbukti.

Djamaludin Malik meninggal dunia pada 8 Juni 1970 akibat penyakit komplikasi setelah lama dirawat di Muenchen, Jerman. Jasadnya dibawa ke Jakarta dan dimakamkan di Karet Bivak. Ia mendapat anugerah Bintang Mahaputra Adipradana II pada 1973. Ia dikenang sebagai salah satu tokoh sejarah NU yang berjasa menghidupkan industri kreatif di Indonesia. Salah satu lahan yang memerlukan garapan serius di masa-masa sekarang, ketika teknologi dan informasi digital begitu masif.

Penulis adalah pemerhati kebudayaan dan keislaman


Tokoh Terbaru