• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Rabu, 24 April 2024

Syariah

Sahkah Pernikahan Seorang Muslim dengan Non Muslim yang Belum Dikhitan?

Sahkah Pernikahan Seorang Muslim dengan Non Muslim yang Belum Dikhitan?
Sah Kah Pernikahan Seorang Muslim dengan Non Muslim yang Belum Dikhitan? (Foto: NU Online)
Sah Kah Pernikahan Seorang Muslim dengan Non Muslim yang Belum Dikhitan? (Foto: NU Online)

Assalamualaikum Wr Wb
Saya mau tanya, jika ada seorang non Muslim yang ingin menikahi seorang Muslim, apakah non Muslim tersebut harus disunat terlebih dahulu? Padahal sebelumnya non Muslim tersebut sudah bersedia untuk masuk Islam.
Wassalamu’alikum Wr Wb 
(Hamba Allah) 

Jawaban 

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh 

Perlu diketahui sebelumnya bahwa dikhitan atau disunat tidak termasuk ke dalam syarat atau rukun menikah. Hanya saja lebih baik dikhitan atau disunat baik sebelum maupun sesudah menikah. Jadi, disunat tidaknya seseorang selagi syarat dan rukun pernikahannya terpenuhi, maka pernikahannya menjadi sah. 

Dikutip dari Imam Zakaria al-Anshari dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr), juz II, hal. 41, rukun nikah tersebut ialah:

   فَصْلٌ: فِي أَرْكَانِ النِّكَاحِ وَغَيْرِهَا. " أَرْكَانُهُ " خَمْسَةٌ " زَوْجٌ وَزَوْجَةٌ وَوَلِيٌّ وَشَاهِدَانِ وَصِيغَةٌ   

“Pasal tentang rukun-rukun nikah dan lainnya. Rukun-rukun nikah ada lima, yakni mempelai pria, mempelai wanita, wali, dua saksi, dan shighat."

Dari pemaparan di atas, bisa kita pahami bahwa rukun nikah ada lima, yakni:

Pertama, Mempelai Pria. Calon suami yang memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan pula oleh Imam Zakaria al-Anshari dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr), juz II, hal. 42:

   و شرط في الزوج حل واختيار وتعيين وعلم بحل المرأة له    

“Syarat calon suami ialah halal menikahi calon istri (yakni Islam dan bukan mahram), tidak terpaksa, ditentukan, dan tahu akan halalnya calon istri baginya.”   

Kedua, Mempelai wanita, calon istri yang halal dinikahi oleh mempelai pria. Seorang laki-laki dilarang memperistri perempuan yang masuk kategori haram dinikahi. Keharaman itu bisa jadi karena pertalian darah, hubungan persusuan, atau hubungan kemertuaan.  

Ketiga, Wali. Wali di sini ialah orang tua mempelai wanita baik ayah, kakek maupun pamannya dari pihak ayah (‘amm), dan pihak-pihak lainnya. Secara berurutan, yang berhak menjadi wali adalah ayah, lalu kakek dari pihak ayah, saudara lelaki kandung (kakak ataupun adik), saudara lelaki seayah, paman (saudara lelaki ayah), anak lelaki paman dari jalur ayah.   

Keempat, Dua saksi. Dua saksi ini harus memenuhi syarat adil dan terpercaya. Imam Abu Suja’ dalam Matan al-Ghâyah wa Taqrîb (Surabaya: Al-Hidayah, 2000), hal. 31 mengatakan, wali dan dua saksi membutuhkan enam persyaratan, yakni Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, dan adil.”   

Kelima, Shighat. Shighat di sini meliputi ijab dan qabul yang diucapkan antara wali atau perwakilannya dengan mempelai pria.   

Adapun syarat nikah sebagaimana di atur Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 2 ayat (1) mengatakan bahwa “Perwakilan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Selain itu, MUI berpandangan bahwa perkawinan antara Muslim dengan non Muslim tidak diperbolehkan karena harus berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Sehingga, ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 mengenai syarat sah perkawinan tidak mungkin dilakukan oleh para pemohon yang memiliki perbedaan agama. 

Jadi, kesimpulannya bahwa dalam fikih munakahat,  sudah atau belum dikhitan tidak menjadi penghalang keabsahan perkawinan selagi rukun dan syaratnya terpenuhi. 

Dr. H. Ramdan Fawzi, Pengasuh Pondok Pesantren Rabithoh Kabupaten Bandung Barat


Syariah Terbaru