• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 6 Mei 2024

Opini

Suara-Suara "Yang Menggerakkan ": Dari James Baldwin, Fanon, Malcom sampai Gus Baha

Suara-Suara "Yang Menggerakkan ": Dari James Baldwin, Fanon, Malcom sampai Gus Baha
James Baldwin, Frantz Fanon, Malcom X dan Gus Baha (Desain: Iqbal)
James Baldwin, Frantz Fanon, Malcom X dan Gus Baha (Desain: Iqbal)

Oleh Hasan Basri
 

When it thunders and lightning and the wind begins to blow,
When it thunders and lightning and the wind begins to blow,
There’s thousands of people
They ain’t got no place to go.
My house fell down,
And I can’t live there no more.
Bessie Smith, Back Water Blues (1927)

 

Dalam sebuah wawancara pada tahun 1961, penulis dan novelis ‘Black-Atlantic” yang sangat berbakat, James Baldwin, menceritakan bagaimana suara dan irama Bessie Smith dalam lagu ‘Black Water Blues’ membantunya memulihkan beban sziko-cultural,beban psikologinya sebagai seorang yang disebut “Negro”. Rasa malu sebagai “negro” pada masa itu sangat mungkin dibayangkan, bagaimana sistem sosial / sosio genik yang sangat rasial di Amerika Serikat dan Eropa telah menempatkan kaum hitam pada posisi yang sangat inferior, sangat memalukan, dan tidak dianggap sebagai manusia. 
 

Kita ingat lagu blues lainnya, “deep skin” (Buddy Guy), kaum negro pada masa itu dianggap bukan manusia , mereka tidak dipanggil dengan nama mereka,” A man in Louisiana/ He never called me by my name/He said “boy do this and boy do that’.
 

Saat itu, kata Baldwin, "saya merasakan dampak psikologi dari sistem rasial di Amerika. Saya begitu malu dengan semua hal yang dikaitkan dengan ke-negro-an. Saya malu dengan ayah saya,malu musik blues, dan dengan musik jazz."
 

Apa yang dialami oleh Baldwin oleh Frantz Fanon disebut sebagai abortive-decerebralization: kegagalan melakukan pemulihan diri, bagaimana seseorang tidak asing dengan diri sendiri, mengatasi kompleks-inferioritas yang ditanamkan oleh sosiogenik (dari Fanon juga) Amerika dan Eropa yang rasis, tidak asing dengan budaya, bahasa, lingkungan, dan tanah air sendiri. Termasuk paling penting, tidak melihat diri sendiri berdasarkan arahan atau pandangan orang lain (orang Putih).
 

Baldwin mengatakan ia pertama kali mendengarkan lagu “Black Wates Blues” ketika sedang di Swiss, di sebuah situasi dan lingkungan yang berbeda dengan Amerika, sebuah lingkungan yang samasekali tidak mengenal “kehitaman”. Saat itu Baldwin sedang menulis bukunya “Nobody Know My Name” (kumpulan tulisan dengan berbagai genre). Ia datang ke Swiss dalam kondisi psikologis yang remuk, kegagalannyata mendeserebralisasi diri dari sistem rasialisme Amerika dan Eropa. Badlwin tidak saja merasakan bagaimana nada dan irama (tone and cadence), tapi bagaimana pencapian kalimat Smith tentang badai disertai banjir yang hampir merenggut nyawanya, dan rumahnya hancur dan tidak layak lagi ditinggali. 
 

Baldwin mengakui dalam wawancara tahun 1961 itu, pilihan kata dan kalimat dalam seluruh lirik lagu “Black Water Blues”, ton dan irama suara Smith adalah bentuk deserebralisasi bagi Baldwin, ia merasa terbantu, terpulihkan, dan menemukan ritmenya, keluar dari isolasi psikologis dan kompleks inferioritas sistem rasial. 
 

Suara Smith dalam lagu ‘Black Water Blues” adalah contoh dari suara yang menggerakkan, bahkan suara yang menghidupkan. Terlalu berlebihan mengatakan bahwa itu adalah suara yang menyelamatkan seseorang dari kubangan keputusasaan. 
 

Suara Smith mewarisi suara kenabian. Bagi orang tertindas seperti orang Afrika-Amerika, kenabian adalah masalah kecerdasan. Bagi mereka kenabian (prophethood) adalah kecerdasan yang melampui batas keumuman. Seringkali kecerdasan ini melawan nalar biasa walaupun sangat mudah dipahami oleh orang biasa. Salah satu bentuk kenabian yang mereka imani,bahwa para Nabi itu hidupnya tidak berjarak dengan orang umum, terutama dengan orang lemah. Mereka makan bersama orang lemah, bergaul tanpa sekat, tidak ada hirarkhi, terjadi keintiman. Penampilan mereka di bawah standar kaum papa. Pakian yang dikenakan tidak lebih bagus dari pakaian kaumnya yang paling miskin. Kenabian adalah sebuah kepemimpinan. Karena kenabian adalah suara dan tindakan yang menggerakkan orang banyak maka mereka menciptakan perubahan kolektif yang radikal dan memiliki jejak atau pengaruh yang panjang. 
 

Frantz Fanon lahir di sebuah koloni Prancis, di Martinique. Tumbuh di kelas menengah sehingga mampu sekolah dan kuliah. Ia mempelajari psikiatri. Setelah purna-tugas dari dinas wajib-militer Prancis, Fanon melanjutkan kuliah kedokteran, dan memperdalam psikiatri. Dalam pikirannya, perangkat bernama psikiatri akan menjadi mesin eskavator/ alat angkat yang akan mengangkat penyakit skizo-kultural kolonialisme yang ditanamkan pada diri kaum Afrika di Amerika Serikat dan Eropa. Pemerintah Prancis menunjuknya menjadi kepala rumah sakit yang merawat pasien-pasien kulit hitam (ada juga bangsal khusus untuk pasien muslim) yang mengalami skizo-sosial-kultural karena dampak rasialisme dalam kolonialisme Eropa. Fanon menemukan bahwa rasialisme itu lahiri dari situasi sosiogenik tertentu di AS dan Eropa. Rasialisme tidak memiliki basis ontologi. Orang Afrika di AS dan Eropa harus mengatasi perasaan inferior yang ditanamkan kolonialisme. 

Di tengah puncak kesibukannya sebagai kepala rumah sakit jiwa, Fanon mulai menyadari bahwa terapi psikiatri di rumah sakit itu nihil, semkain banyak pasien yang tidak bisa dipulihkan dan disembuhkan. Fanon keluar dari rumah sakit, dan bergabung dengan Kelompok Pembebasan Al-Jazair, hidup dan ambil bagian dengan gerakan perlawanan populer. Hanya dengan keterlibatan langsung proses penyembuhan itu menjadi mungkin. Kecerdasan akademik dan kesarjanaan tidak cukup untuk membuka pandora perubahan. Melalui perjuangan bersama, perjuangan populer perubahan di mungkinkan. 
 

Kasus yang sama bisa ditemukan pada kasus Malcom X. Tanpa sekolah, Malcom memiliki bakat intelektual yang luar biasa. Seperti Baldwin, ia tumbuh di Harlem. Mengalami semua jenis kriminal. Dalam situasi rasial yang dibarengi kemiskinan sistemik, Malcom banyak belajar. Orang boleh tidak sekolah, tapi orang tidak boleh berhenti belajar. Berada di sebuah masyarakat miskin dan lemah, atau di sebuah kampung terisolasi (misalnya) seorang tidak boleh tergoda oleh impian perubahan, tapi ia perlu memastikan terlebih dahulu jaminan ia bisa terus belajar di tengah masyarakatnya yang memiliki masalah kompleks. 
 

Kepemipinan populer lahir dari proses intelektual yang tumbuh di tengah komunitas. Dari proses integrasi keilmuwan dan gaya hidup yang tidak berbeda dengan komunitasnya. Kapasitas intelektulanya melahirkan kepekaan ekstrem : gaya hidup yang paling masuk akal adalah seperti anggota komunitas lainnya. Terlebih komunitas atau kelompok sosial yang paling lemah secara ekonomi dan politik akan rapuh kalau tumbuh gaya hidup yang berjenjang di antara mereka. 
Kaum lemah hanya bisa dipimpin oleh seorang di antara mereka karena kelebihannya secara intelektual, imaginasi, dan kesederhanaannya. Kalau hanya sederhana saja, maka tidak cukup. Harus kombinasi antara kecerdasan, imaginasi dan kesederhanaan.
 

Kita menemukan kombinasi kecerdasan, imaginasi, dan kesederhanaan pada pemimpin populer abad 20 seperti Che, Malcom, Fanon, dan sebagainya. Dan betapa ganasnya kapitalisme membunuhi mereka, mematikan tradisi yang melahirkan pemimpin populer. 
 

Pada tahun 1980-an dan 1990-an, dengan pengalaman berbeda, gaya yang lain, dan wadah pembiakan yang juga tidak sama, saya merasa bersyukur pernah menemukan pemimpin yang tumbuh di dunia pesantren pedesaan. Para pemipin tidak sekedar kiai tapi kiai yang mampu menggerakkan masyarakatnya. Tidak sekedar didengar, tapi suara mereka didengarkan masyarakatnya. Maskud dari didengarkan, suara mereka diikuti, ditindaklajuti sebagai praktik oleh masyarakatnya sekalipun tidak mendengarnya langsung dari sang kiai. 
 

Salah satu gerakan yang melahirkan banyak sekali kiai yang suaranya menggerakkan masyarakatnya adalah gerakan Dzikrul Ghafilin yang diinisiasi oleh mendiang Gus Miek dan Mbah Shiddiq. Dzkikrul Ghafilin memicu lahirnya para kiai lain yang menggerakkan masyarakatnya, ada Kiai Hamid Kajoran, Mbah Daldiri dan banyak lagi Kiai lainnya. 
 

Pada saat sama ada Mbah Liem dengan langgam tersendiri, dan banyak kiai lainnya. Gerakan para kiai ini melahirkan perubahan di tengah masyarakat muslim pedesaan. Para kiai tersebut tidak saja bersama masyarakat, tapi dalam kehidupan sehari hari para kiai yang tidak umum ini melayani masyarakat muslim pedesaan. Di tengah dinamika beragam semacam ini lah Gus Dur menjadi salah satu saja dari proses perubahan masyarakat pesantren pada masa itu. Bersama para kiai nyentrik ini masyarakat mampu melawan dan mengalihkan perhatian rezim militer.
 

Dari titik ini kita sadar bahwa dalam duapuluh tahun terakhir, bakan tiga puluh tahun terakhir, tidak lahir kepemimpinan populer, mesin-mesin produksi pemimpin populer di matikan, mampet di tengan masyarakat muslim pedesaan. 
 

Hari ini praktis kiai muda pesantren yang memiliki persyarat seperti para kiai yang saya ceritakan di atas adalah Gus Bahauddin bin Kiai Nursalim. Memiliki kecerdasaan (kematangan ilmu), imaginasi, dan gaya hidup sangat sederhana. Dalam tiga hal tersebut, Gus Baha memiliki nilai di atas rata rata. Apakah anda setuju? Saya tidak memaksa. 
 

Gus Baha tidak perlu menjadi ketua umum PBNU atau jabatan struktural lainnya. Tapi bagaimana sosoknya memicu lahirnya kiai-kiai lain dengan langgam yang sama. Kalau mesin tradisi melahirkan lagi banyak kiai populer (bukan dalam arti terkenal kaya berapa kiai penceramah itu): kiai yang dekat dengan masyarakat karena kematangan ilmu, imaginasi intelektual dan gaya hidup yang sederhana, maka kita rela lah PBNU ribut seperti sekarang.
 

Penulis adalah pemerhati sosial dan kebudayaan.
 


Editor:

Opini Terbaru