• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 23 April 2024

Opini

Revolusi Akhlak Terberat itu Diri Sendiri

Revolusi Akhlak Terberat itu Diri Sendiri
Mencium tangan guru dan orang tua adalah penerapan akhlak dalam kehidupan sehari-hari. (Ilustrasi: NUO)
Mencium tangan guru dan orang tua adalah penerapan akhlak dalam kehidupan sehari-hari. (Ilustrasi: NUO)

Akhlak itu sesuatu yang sering kita dengar, mudah diucapkan tapi sungguh sulit dilaksanakan. Akhlak itu manifestasi akhir dari penggabungan Iman dan Islam, atau yang sering kita sebut dengan Ihsan. 

Beriman itu kaitannya dengan tauhid. Output akhirnya adalah meyakini dengan hati jika Allah itu satu-satu Tuhan/Dzat yang wajib kita sembah dan tiada Tuhan selain Allah. Serta Rasul Muhammad adalah kekasih Allah. 

Setelah beriman, kemudian berIslam. Islam ini adalah bentuk pengejawantahan dari keimanan yang dilakukan dalam bentuk ritual peribadatan. Sholat lima waktu, puasa, zakat dan naik haji adalah bentuk kongkrit dari ritual ibadah yang wajib dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman. Dan tata cara pelaksanaannya diatur oleh satu disiplin ilmu yang akrab kita dengar dengan istilah Fiqh. 

Dan terakhir, adalah Ihsan. Dalam Islam, gradasi ihsan berada di atas Islam dan Iman. Oleh karena itu, seorang Muslim yang mampu berbuat ihsan adalah Muslim yang sangat mulia di hadapan Allah SWT. Rasulullah SAW pernah ditanya terkait arti ihsan. Rasulullah SAW menjawab, “Ihsan itu adalah kalian menyembah kepada Allah seakan-akan kalian melihat-Nya. Kalaupun kalian tidak bisa mlihat-Nya, maka ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Melihat (apa yang kalian kerjakan).”

Output dari Ihsan ini sulit untuk bisa kita simpulkan. Berbeda dengan Iman dan Islam yang variabel hasilnya jelas: meyakini dan melaksanakan. Ihsan lebih condong pada urusan hati. Ilmu untuk mempelajarinya pun terbilang berat: Tassawuf.

Jika ilmu tauhid  membahas soal-soal i’tiqad, seperti i’tiqad mengenai keTuhanan, kerasulan, hari akhirat dan lain-lain sebagainya, dan ilmu fiqih membahas soal-soal ibadah lahir, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain, maka ilmu tasawuf membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlak dan budi pekerti, bertalian dengan hati. Contoh soal ikhlas, khusyuk, tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, ridha, tawakal dan lain-lain. Ringkasnya, tauhid itu soal i’tiqad, fiqih soal ibadah, dan tasawuf itu soal akhlak.

Lantas apa definisi akhlak? Dan bagaimana variabel ukurannya? Akhlak dalam bahasa Arab berasal dari kata khuluk yang berarti tingkah laku, perangai, atau tabiat. Secara terminologi, akhlak adalah tingkah laku seseorang yang didorong oleh sesuatu keinginan secara mendasar untuk melakukan suatu perbuatan baik. 

Imam Al Ghazali mendefinisikan akhlak lebih berat lagi. Yakni akhlak merupakan tingkah laku yang melekat pada diri seseorang yang dapat memicu perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu. Sejalan dengan sabda Baginda Nabi Muhammad SAW bahwa Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak manusia. Pasalnya akhlak merupakan salah satu pondasi penting untuk orang-orang yang beragama. Sehingga akhlak dan budi pekerti sangat dibutuhkan bagi setiap orang yang beragama dalam menjalani kehidupan di masyarakat.

Lantas bagaimana variabel ukurannya? Kata kunci dari definisi akhlak adalah tingkah laku atau perbuatan baik. Tingkah laku dan perbuatan baik ini bentuknya macam-macam. Lisannya menuturkan kata-kata yang baik, tangannya melakukan perbuatan-perbuatan baik, pikirannya berpikir sesuatu yang baik, kakinya digunakan melangkah ke jalan yang baik dan lain sebagainya. Sehingga biasanya kebanyakan awam menyimpulkan seseorang itu berakhlak atau tidak diukur dari bagaimana dia berucap dan bagaimana dia bertindak. 

Jika dari lisan seseorang muncul perkataan-perkataan yang kotor yang tidak pantas untuk diucapkan, apalagi sampai menghardik, menghina dan mencaci, wajarlah jika kemudian awam menyimpulkan seseorang itu tidak berakhlak. 

Baginda Nabi Muhammad SAW adalah Sang Revolusioner akhlak sejati. Sebab beliau adalah kekasih Allah yang memiliki keseimbangan sempurna antara menyampaikan dan melakulan. Dari lisannya mengajak orang pada kebaikan sembari dibarengi dengan contoh dan prilaku yang penuh dengan kasih sayang. Oleh sebab itu revolusi akhlak yang paling berat adalah revolusi akhlak diri sendiri. Sebagaimana konsekuensi terberat dari ilmu adalah amal.

Penulis: Imam Mudofar, Kasatkorcab Banser Kab. Tasikmalaya. Alumni Pondok Pesantren Queen Al Falah Ploso Kediri Jawa Timur.
 


Editor:

Opini Terbaru