• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Ubudiyah

Tiga Derajat untuk Mencapai Ihsan dalam Ibadah

Tiga Derajat untuk Mencapai Ihsan dalam Ibadah
“(Ihsan adalah) hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, sebab meski engkau tidak melihat-Nya, Dia melihatmu...”
“(Ihsan adalah) hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, sebab meski engkau tidak melihat-Nya, Dia melihatmu...”

Kisah ini sering kita dengar di berbagai tempat, namun kiranya tidak bosan-bosannya untuk kita hikmahi. Alkisah, Nabi sedang bersama para sahabat, tiba-tiba mendadak kedatangan tamu yang bersih, memakai pakaian putih, tidak tampak jejak-jejak perjalanan. Orang itu tetiba duduk di depan Nabi dan menanyakan perihal iman, islam, ihsan, serta hari kiamat.

Seperginya orang tersebut, Nabi berujar kepada para sahabat: “...(orang yang bertanya kepada Nabi) itu malaikat Jibril. Ia datang untuk mengajar kepada kalian agama yang kalian anut (yaitu Islam).”

Cerita populer ini dicatat oleh Imam an-Nawawi dalam kumpulan hadits Al Arba’in an-Nawawiyah. Hadits tersebut dinilai banyak ulama sebagai hadits yang mencakup keseluruhan pembahasan tentang agama Islam.

Melalui hadits tersebut, kita melihat bahwa Islam terkait dengan ritual ibadah yang mesti dipenuhi seorang Muslim, sedangkan iman adalah hal-hal yang mesti dipahamkan dan diyakini bagi setiap Muslim. Tulisan ini akan membahas bagian tentang ihsan – yang terkait dengan pengamalan ibadah dan juga keyakinan kepada Allah. Ihsan menurut jawaban Nabi kepada malaikat Jibril adalah,

 

...أَنْ تَعْبـــُدَ اللَّهَ كَأَنَّــكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ...

 

“(Ihsan adalah) hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, sebab meski engkau tidak melihat-Nya, Dia melihatmu...”

Banyak ulama menjelaskan apa itu ihsan, dan pembahasan terkaitnya amat luas. Salah satunya, ihsan dipahami sebagai suatu derajat dalam ibadah yang sulit dicapai untuk kalangan awam. Namun belum tentu ia tidak bisa diupayakan dan dilatih. Syaikh Ahmad al-Fasyani mengulas perihal ihsan ini dalam karyanya Al-Majalisus Saniyyah syarah dari kitab hadits Al Arba’in an Nawawiyah.

Beliau mencatat bahwa seorang hamba dalam ibadahnya itu terdiri dari tiga macam. Pertama, adalah orang yang melakukan ibadah semata menggugurkan kewajiban. Namun hal itu mesti dilakukan dengan terlebih dahulu mengetahui syarat dan rukun ibadah yang dilakukan. Seperti halnya mengetahui tata cara wudhu, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya.

Kedua, adalah derajat mukasyafah. Ia merasakan hingga seolah “melihat” dan “memperhatikan” oleh Allah. Derajat ini seperti yang dirasakan oleh Nabi dalam saat shalat, “…dan dijadikan shalat itu sebagai kebahagiaan/pelipur laraku...” (Al Hadits)

Ketiga, adalah ibadah dengan merasakan ibadahnya diawasi oleh Allah. Derajat ini adalah derajat muraqabah, yaitu perasaan dilihat Allah. Jika mukasyafah adalah rasa mampu melihat-Nya, jika tak mampu, seorang mukmin mesti senantiasa merasa muraqabah, merasa diperhatikan dan dekat dengan-Nya. Seorang hamba mungkin tidak mampu mencapai derajat ru’yatullah ("melihat" Allah), namun ia bisa selalu berusaha mendekatkan diri dan diawasi oleh Allah, karena imannya meyakini bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Mengawasi.

Keseluruhan derajat atau maqam tersebut adalah bentuk ihsan. Seperti disinggung di atas, untuk menempuh ihsan dalam ibadah terlebih dahulu dapat dengan mulai memahami pengamalan syarat dan rukun ibadah. Tata cara ibadah atau syariat, sekurang-kurangnya untuk hal yang esensial atau ‘ilmul haal perlu dicermati. Sehingga dapat dipahami bahwa dalam menempuh dan menjalankan ihsan, langkah yang bisa dimulai adalah dengan mempelajari syariat Islam, utamanya yang terkait kebutuhan sehari-hari.

Sedangkan derajat muraqabah dan mukasyafah mesti dilatih terus-menerus, salah satunya melalui pembelajaran dan pengamalan tasawuf. Kedua derajat itu dimiliki oleh kalangan khawash. Kita semua yang awam perlu tetap belajar dan rendah hati, dan tentu saja dalam meniti proses itu dibutuhkan kesabaran. Semoga usaha dan kesabaran itu yang dicatat Allah sebagai amal baik dan diridhai-Nya. Wallahu alam.

 

Muhammad Iqbal Syauqi, alumnus Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences; mahasiswa Profesi Dokter UIN Jakarta


Editor:

Ubudiyah Terbaru