Oleh: Amin Mudzakir
Sampai kapan pun, isu kebangkitan PKI akan tetap ada di negeri ini. Penyebabnya bukan karena ada figur seperti Pak Gatot, tetapi narasi mengenai PKI sudah menjadi bagian dari memori kolektif bangsa ini yang didekati secara hitam putih. Baik yang pro maupun kontra terhadap kiprah PKI di masa lalu ikut berkontribusi terhadap pelanggengan problematik ini.
Oleh karena itu, masalahnya bukan Pak Gatot. Dia pasti tahu PKI sudah tidak ada. Dia pun tahu jualan itu tidak lagi terlalu menjual secara politik. Namun, mengapa isu itu terus dimunculkan?
Menurut saya, yang akan mendapat untung dari isu kebangkitan PKI bukan Pak Gatot atau orang-orang yang mempercayainya. Bukan, mereka telah kalah. Yang akan mendapat untung adalah orang-orang yang menjual "obat" untuk mengatasi "kebangkitan" itu.
Jarang disadari bahwa sekarang Pancasila kembali dijadikan norma di mana-mana. Setiap minggu para ASN diminta untuk menyimak teksnya. Di sekolah-sekolah, di Jakarta, ritual ini bahkan dilakukan dua kali seminggu. Untuk apa? Untuk mencegah PKI bangkit kembali!
Kira-kira itulah alasan yang dikemukakan. Tidak hanya PKI, yang juga mau dihalau oleh ritual Pancasila tentu saja adalah Islam politik. Keduanya dibayangkan sebagai hantu yang mengancam integrasi bangsa.
Jika dilakukan secara wajar, tidak ada yang salah dengan itu. Bagaimanapun, kewarganegaraan membutuhkan fondasi, yaitu Pancasila. Namun, jika itu dilakukan dengan cara-cara yang mengingatkan kita pada ritual di zaman Orde Baru, kiranya ada sesuatu yang keliru.
Di antaranya adalah kemungkinan penggunaan Pancasila sebagai dalih untuk membungkam kritik. Ini memang terdengar klise, tetapi bisa sungguh terjadi. Sekarang ada kecenderungan kritik yang valid dan bahkan estetis pun dituduh sebagai oposisi yang mengancam integrasi bangsa. Siapa yang tidak gentar kalau dituduh demikian, bukan?
Kembali ke isu kebangkitan PKI, yang terjadi adalah--meminjam istilah feminis Judith Butler--"resignifikansi". Pemaknaan dan penggunaan praktis-politis isu ini bisa dilakukan oleh siapapun, tetapi mereka yang mempunyai kuasa ekonomi dan politik tentu akan menjadi pihak yang paling banyak mendapat bagiannya. Rakyat kecil hanya ontran-ontran di media sosial, saling caci maki, tetapi akhirnya tetap gigit jari.
Penulis adalah Peneliti BRIN
Terpopuler
1
Lafal Niat Puasa Asyura Puasa Sunah pada 10 Muharram
2
Perkuat Ukhuwah dan Semangat Dakwah di Masyarakat, GP Ansor Cigerenem Gandeng Latansa 2 Gelar Pengajian Syahriahan
3
Ranting NU Teluk Pucung Bekasi Utara Fasilitasi Proses Dua Warga Masuk Islam: Ibu dan Anak Resmi Jadi Mualaf
4
Agar Hati Tak Mati, Inilah Doa-doa Pilihan di Hari Asyura 10 Muharram
5
Koperasi Merah Putih, Koreksi dan Harapan Baru bagi Ekonomi Rakyat
6
Model Bisnis NU Cirebon Dilirik PCNU Magelang untuk Kolaborasi Strategis
Terkini
Lihat Semua