• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Opini

Penceramah Versus Penulis: Sebuah Dikotomi Modernitas yang Mulai Ketinggalan Zaman

Penceramah Versus Penulis: Sebuah Dikotomi Modernitas yang Mulai Ketinggalan Zaman
Para santri cilik, kelak mereka akan menempuh cara dakwahnya sendiri, sebagai penceramah atau penulis, atau keduanya, tanpa dikotomi (Foto: NUO)
Para santri cilik, kelak mereka akan menempuh cara dakwahnya sendiri, sebagai penceramah atau penulis, atau keduanya, tanpa dikotomi (Foto: NUO)

Oleh Amin Mudzakkir
Di antara ciri modernitas adalah kecenderungannya untuk melakukan dikotomi: seolah-olah dunia yang kita tinggali ini disusun oleh dua elemen yang saling terpisah. Namun, tidak hanya saling terpisah, dua elemen yang membentuk dunia tersebut ditempatkan secara hierarkis di mana yang satu dianggap lebih unggul daripada yang lain. Contoh yang sering muncul dalam perbincangan publik, termasuk di media sosial, adalah dikotomi antara penceramah dan penulis. 

Dalam bayangan manusia modern yang akhir-akhir ini rajin mengkampanyekan literasi, cukup pasti penceramah dianggap lebih rendah daripada penulis. Penceramah dilihat sebelah mata, sedangkan penulis sebaliknya. Hal ini berlaku juga di dunia keagamaan. 

Para ulama yang menulis buku atau kitab lebih dihargai daripada para penceramah yang berkeliling dari satu majelis ke majelis lainnya. Para ulama penulis diyakini lebih intelek daripada para da'i. Yang pertama digambarkan sebagai ilmuwan yang menempuh jalan sunyi, sementara yang kedua kadang dilukiskan secara karikatural sebagai penjual ayat suci. 

Dikotomi tersebut sering diterima begitu saja, padahal jelas sangat bermasalah. Di masyarakat kita, kenyataannya agama lebih diterima melalui kata-kata sederhana para penceramah daripada kalimat-kalimat rumit para penulis buku dan kitab. Kalau Walisongo itu bukan para penceramah, mungkinkah Islam bisa dianut oleh orang Jawa seperti sekarang ini? 

Sasaran pembaca postingan saya adalah orang-orang modern yang jumawa dengan kelisanan. Mereka menganggap omongan hanya sebagai "tong kosong nyaring bunyinya". Bagi mereka, pidato-pidato para penceramah agama adalah bebunyian yang berisik di tengah kekhusukannya membaca buku atau kitab. 

Sekolah modern adalah sarana untuk mengubah kelisanan menjadi keberaksaraan. Ketika masuk sekolah, anak-anak diajar untuk menulis, bukan berbicara. Apakah ini salah?

Tentu tidak. Yang salah adalah, sekali lagi, memahaminya secara dikotomis dan menempatkannya secara hierarkis. Lagi pula, menganggap penulis lebih tinggi derajatnya daripada penceramah sesunggunya bertentangan dengan kemajuan teknologi. Sekarang, bukankah lebih banyak orang menonton YouTube atau TikTok daripada membaca buku untuk mencari tahu sesuatu? Bukankah anak-anak sekarang lebih bercita-cita menjadi YouTuber daripada penulis buku? Dan seterusnya, dan sebagainya.

Penulis adalah peneliti BRIN

 


Editor:

Opini Terbaru