• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

Perempuan NU

NU, Perempuan dan Politik

NU, Perempuan dan Politik
Nyai Djuaesih, tokoh Muslimat NU yang pertama kali berbicara di forum Muktamar (NUJO).
Nyai Djuaesih, tokoh Muslimat NU yang pertama kali berbicara di forum Muktamar (NUJO).

Oleh Hj. Ida Nurhalida

 

Pada saat Muktamar NU ke 13 di Menes Banten tahun 1938, seorang perempuan dari
Tanah Sunda untuk pertama kalinya naik mimbar di sebuah forum resmi NU yang dihadiri
oleh banyak ulama-ulama besar tanah air. Dengan berani, lantang dan tegas perempuan itu
berorasi menyampaikan tentang urgensi kebangkitan perempuan dalam kancah organisasi
NU sebagaimana laki-laki. Perempuan itu bernama Ny. R. Djuaesih yang dikemudian hari
dikenang sebagai salah seorang pendiri Muslimat, sebuah badan otonom organisasi
perempuan milik Nahdlatul Ulama.

 

Satu hal yang patut diapresiasi dari keberanian Ny. R. Djuaesih, yakni mampu menyuarakan
kesetaraan gender ditengah paradigma mayoritas organisasi gerakan di Indonesia yang
memandang NU sebagai organisasi Islam Tradisionalis yang berangkat dari kultur dunia
pesantren dan dikenal kental dengan budaya patriarki. Dan yang lebih menarik lagi,
pandangan tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang disuarakan oleh Ny. R.
Djuaesih ini tidak berlandaskan ideologi pemikiran lain (sebagaimana yang berkembang
pada zaman itu), selain agama Islam sebagai sumber keyakinan utamanya.


“Di dalam agama Islam, bukan saja kaum laki-laki yang harus dididik mengenai
pengetahuan agama dan pengetahuan lain. Kaum wanita juga wajib mendapatkan didikan
yang selaras dengan kehendak dan tuntutan agama. Karena itu, kaum wanita yang
tergabung dalam Nahdlatul Ulama mesti bangkit,” demikian seruan Nyai R Djuaesih di forum permusyawaratan tertinggi NU itu.

 

Berita Nahdlatoel Oelama pun membuat laporan tentang keberanian Nyai Djuaesih yang
naik ke mimbar di dalam Muktamar NU itu. Peristiwa itu, sebagaimana dikutip nu.or.id, diabadikan dalam BNO Nomor 6 tahun ke-10 edisi 19 Januari 1941.

 

Meski sempat menuai pro kontra dikalangan para kyai dan para ulama, namun ada tiga
ulama NU yang memiliki pandangan jika pendirian lembaga perempuan di NU dinilai relevan
dengan kebutuhan sejarah. Ke tiga ulama itu yakni KH. Muhammad Dahlan, KH. Abdul
Wahab Chasbullah dan KH. Saifuddin Zuhri.


Saya membayangkan, andaikata waktu itu Ny. R. Djuaesih tidak memiliki keberanian untuk
berbicara lantang tentang pentingnya kebangkitan peran perempuan di tubuh Nahdlatul
Ulama, besar kemungkinan hari ini perempuan-perempuan di Nahdlatul Ulama tak lebih dari
sekedar pelengkap yang menemani suami-suaminya berjuang menggerakkan dan
menjalankan organisasi.

 

Apa yang disuarakan dengan lantang oleh Ny. R. Djuaesih 84 tahun silam itu kini bisa
betul-betul dirasakan manfaatnya oleh perempuan-perempuan NU. Dalam perjalanannya,
perempuan-perempuan NU tidak hanya menjadi pelengkap dari cerita perjalanan Nahdlatul
Ulama untuk bangsa dan negara, tapi juga menjadi pelaku yang turut mengisi
catatan-catatan penting baik bagi Nahdlatul Ulama maupun bagi bangsa dan negara.

 

Bahkan perempuan-perempuan NU tidak hanya bangkit dari segi peran dan pendidikan
saja, terbukti hari ini telah banyak perempuan-perempuan NU yang menjadi tokoh dan
sumber inspirasi tanpa melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan. Kita bisa dengan
mudah menemukan ada perempuan-perempuan NU yang menjadi akademisi, 
aktivis, politisi. Tidak sedikit pula para perempuan NU yang memiliki peran dan
posisi penting di negeri ini.

 

Penulis, Wakil Ketua PC Muslimat NU Kabupaten Tasikmalaya


Editor:

Opini Terbaru