• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

Mungkinkah Konflik Israel-Palestina Berakhir?

Mungkinkah Konflik Israel-Palestina Berakhir?
Agresi militer Israel menggagalkan perdamaian dengan Palestina
Agresi militer Israel menggagalkan perdamaian dengan Palestina

Oleh Rudi Sirojudin Abas

Tindak kekerasan berlatar apa pun tidak dibenarkan oleh siapa pun dan agama mana pun. Peristiwa agresi militer Israel terhadap Palestina yang terjadi sejak Jumat (7/5/2021), tidak saja mencederai perdamaian dunia, tetapi memperburuk hubungan antar umat beragama, terutama Islam dan Yahudi. Dan yang paling sangat disesalkan, agresi militer Israel terjadi di saat warga Palestina sedang melaksanakan kewajiban ibadah puasa di bulan Ramadan, dan perayaan hari raya Idul Fitri.

Agresi militer Israel terhadap Palestina yang terjadi kali ini seolah mempersempit ruang rekonstruksi damai yang selama ini didengungkan banyak pihak. Wajar jika berbagai kecaman datang dari beberapa lembaga internasional semisal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), negara Uni Eropa, serta negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). 

Peristiwa agresi militer Israel terhadap Palestina mengingatkan kembali sejarah kelam 73 tahun yang lalu. Pada saat itu, pasca terbentuknya negara Israel pada tahun 1948 di tanah Palestina, jutaan penduduk Arab terusir dari tanah airnya. Negara Israel menguasai Gaza dan Tepi Barat. Akibatnya hingga kini, pengakuan atas kedaulatan negara Palestina tak kunjung selesai karena Israel masih berusaha untuk menguasai sebagian wilayah Palestina termasuk kota suci Yerusalem.  

Pertanyaannya, mungkinkah konflik Israel-Palestina berakhir? Jika arogansi masih dimiliki oleh satu pihak, dalam hal ini negara Israel, perdamaian antara kedua belah pihak rasanya sulit terwujud. Terlebih jika konflik Israel-Palestina ini dibalut dengan kepentingan atas nama agama dan politik. Nilai-nilai agama akan menjadi sebuah bencana jika nilai kebenaran yang terkandung di dalamnya dimonopoli demi melanggengkan sebuah kekuasaan. 

Ada baiknya kita mencermati apa yang diutarakan Charles Kimball dalam When Religion Becomes Evil, bahwa terdapat lima faktor yang dapat mengubah agama menjadi bencana yaitu: 1) memonopoli kebenaran; 2) kepatuhan buta terhadap pemimpin; 3) menggandrungi keemasan masa lampau; 4) menghalalkan segala cara; dan 5) menafsirkan agama dengan pikiran pendek. 

Oleh karena itu, sebagus apa pun nilai-nilai agama, jika sudah dipengaruhi oleh lima hal tersebut, yang akan terjadi hanya fanatisme buta. Alih-alih menegakkan kalimat Tuhan, justru yang terjadi sebaliknya yaitu merendahkan martabat agama dan "mempermalukan" nama Tuhan.

Langkah yang harus dilakukan agar konflik Israel-Palestina berakhir, minimal sedikit mereda, yaitu dengan pendekatan dialog atau diplomasi dari dua belah pihak melalui forum-forum internasional yang mungkin juga bisa diinisiasi oleh berbagai pihak. 

Memang, dalam dialog dibutuhkan kesiapan, kematangan, dan keberanian dari dua belah pihak sehingga tidak ada klaim siapa yang benar dan siapa yang salah. Jika tidak demikian, besar kemungkinan masing-masing pihak akan tetap berusaha untuk membangun argumentasi-argumentasi dalam membenarkan posisi masing-masing. Jika hal ini terjadi, maka klaim memonopoli kebenaran dan keselamatan memang benar adanya. 

Langkah selanjutnya yang perlu diusahakan agar konflik Israel-Palestina mereda, bahkan mungkin berakhir adalah meyakinkan kembali bahwa negara Israel dan Palestina merupakan satu keturunan dari Nabi Ibrahim.

Terlepas dari semua perbedaan, hubungan, dan ketegangan yang terjadi masa lampau (bahkan masih berlangsung hingga masa sekarang), sesungguhnya mereka memiliki sesuatu yang menjadi kekayaan bersama. Yaitu kekayaan atas nama Nabi Ibrahim. Dengan demikian, jika terjadi satu bentuk penindasan dari siapa pun dan oleh siapa pun, maka secara tidak langsung telah melukai dan menodai agama-agama keturunan Ibrahimiyah.

Sejarah mencatat, bangsa Yahudi dan kaum Muslimin (Islam) pernah berdamai dan berdampingan di satu masa meskipun pada kenyataannya pihak Yahudi  mencederainya. Pada masa Rasulullah saw, dibuat satu perjanjian yang disebut Piagam Madinah (Madinah Charter). Semua suku, ras, dan agama, termasuk Yahudi pada masa itu diberikan kebebasan dalam menjalankan peribadatannya. Semua hak-hak yang diberikan kepada kaum Muslimin pun diberikan kepada kaum-kaum yang lainnya. Untuk mengimbangi hak-hak bersama, semua pihak diwajibkan bekerja sama dalam bidang keamanan dalam rangka melindungi dan membela tanah air bersama. Semua pihak berkewajiban untuk saling meringankan beban antar kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya. 

Semangat perjanjian yang tertuang dalam Piagam Madinah tersebut kemudian dijadikan sebuah pedoman demi kepentingan bersama. Bahkan pada fase inilah semua kaum baik Islam, Nasrani, Yahudi, dan kaum Musyrik tergolong dalam satu ummah, meskipun pada perkembangan selanjutnya definisi ummah beralih kembali hanya untuk kaum Muslimin saja.

"Kaanan-naasu ummataw waahidah" (Manusia itu adalah umat yang satu) (QS. Al-Baqarah [2]: 213)

"Wa kazaalika ja'alnaakum ummataw wasatal li takuunuu syuhadaa'a 'alanaasi" (Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu [umat Islam], umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas [perbuatan] manusia) (QS. Al-Baqarah [2]: 143).

Harapan, semoga konflik Israel-Palestina segera cepat berakhir sehingga tidak ada lagi tindak kekerasan yang mencederai perdamaian dunia dan tidak ada lagi negara yang tergadai hak kemerdekaannya seperti halnya negara Palestina. 

Penjelasan-penjelasan di atas cukup kiranya dapat dijadikan solusi dalam rangka merekonstruksi perdamaian di antara dua belah pihak yang bertikai melalui jalan dialog. Mengutip pendapat Hans Kung (w.2021), bahwa dialog-dialog besar membutuhkan keteladanan dan keberanian dari tokoh-tokoh lintas agama. Dialog antar agama harus dibangun dari dialog internal agama-agama itu sendiri. Dan Tidak ada perdamaian antar-agama kalau belum ada perdamaian di lingkungan internal agama masing-masing.

Hal tersebut juga kiranya sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA dalam buku Menggugat Tanggung Jawab Agama-agama Ibrahamik bagi Perdamaian Dunia (Kanisius, 2010:139) bahwa "Hal-hal yang selalu dikhotbahkan oleh para khatib (juga oleh pastor atau pendeta) tentang keselamatan, dosa, surga dan neraka, cinta kasih, dan sebagainya – semuanya itu merupakan konsep-konsep kebenaran yang "sudah selesai". Yang masih belum selesai dan terus menantang adalah perjuangan untuk menghadirkan sebuah masyarakat yang memiliki ilmu pengetahuan agar menjadi lebih rasional dan lebih beradab, dengan mengutamakan kualitas kehidupan bersama sehingga tatanan dunia lebih beradab, damai dan lebih sejahtera." 

Wallahu'alam.

Penulis adalah peneliti kelahiran Garut 


Opini Terbaru