• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

Munggah dan Mudik

Munggah dan Mudik
Ilustrasi Mudia: NUO.
Ilustrasi Mudia: NUO.

Munggah dan mudik menjadi kekhasan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Sunda dan Jawa. Jika dicermati, munggah dan mudik merupakan sebuah tradisi pengejawantahan dari karakter masyarakat Indonesia yang cinta kebersamaan, gotong royong, dan kepatuhan serta kerinduan terhadap leluhur, nenek moyang, orang tua, serta kampung halamannya. 
Karakter (kearifan lokal) masyarakat Indonesia yang terbentuk dalam tradisi munggah dan mudik telah menjadi sebuah identitas bangsa yang tetap bertahan hingga saat ini. Maka tak heran, jika menjelang momen-momen suci semisal menjelang awal puasa dan lebaran, orang-orang rela berdesak-desakan di dalam angkutan darat maupun laut demi melaksanakan munggah dan mudik. 


Bagi mereka yang sedang munggah dan mudik, perjalanan jarak jauh yang mereka rasakan tidak serta menjadi penghalang baginya untuk tetap kembali ke tanah kelahirannya hanya sekedar untuk bisa berkumpul bersama orang tua, sanak saudara, teman sejawat, dan yang paling penting dapat berziarah kepada leluhurnya yang telah tiada.


Mengapa tradisi munggah dan mudik menggejala pada masyarakat Indonesia? Dan mengapa dilakukan justru menjelang momen-momen suci semisal menjelang puasa, lebaran Idul Fitri ataupun Idul Adha? Untuk memahaminya, harus dikembalikan kembali kepada pikiran primordial (tradisi) bangsa Indonesia.


Menurut Jakob Sumardjo dalam buku Sunda Pola Rasionalitas Budaya (Sumardjo, Kelir, 2015), baik mudik maupun munggah mempunyai arti yang sama yaitu naik. Arti ini berkaitan dengan arah di zaman nenek moyang Indonesia. Pada zaman pra-modern dikenal arah komunikasi dan transportasi yaitu melalui sungai atau pelabuhan. Maka tak heran semua hunian tua di Indonesia selalu berada di dekat air, sungai, dermaga, maupun laut, sehingga di sebagian wilayah Indonesia banyak nama tempat yang berawalan "Ci" atau "Cai" seperti misalnya di Sunda. 


Karena sungai menjadi sarana transportasi dan komunikasi yang vital, maka dikenal istilah arah hulu dan hilir, mudik dan muara. Pada waktu dulu, jika orang mengatakan akan mudik berarti akan menuju hulu. Dan kalau mau ke hilir, berarti akan menuju muara. Orang yang menuju ke hulu dapat berarti "naik", "munggah" atau "pulang" ke kampung halamannya. Sedangkan orang yang menuju hilir berarti "pergi", "berangkat", "keluar" menuju tempat perantauan. 


Dengan demikian arah hulu lebih bermakna dari pada hilir yaitu kembali ke asal, ke tempat kelahiran, bahkan ke alam metafisik (Ilahiah). Oleh sebab itu, dalam tradisi munggah dan mudik baik menjelang puasa atau mendekati lebaran, ritual ziarah, bersih desa, nadran, nyekar, mandi di pantai atau sungai, serta mengirim makanan bagi sanak saudara kerap dilakukan dan menjadi momen yang tidak bisa ditinggalkan.


Tradisi Asli


Sebelum Islam datang, munggah dan mudik merupakan tradisi asli masyarakat Indonesia yaitu berupa peristiwa sakral (metafisik) melalui perbuatan-perbuatan yang nyata (profan). Misalnya dalam upacara bersih desa, peristiwa sakralnya yaitu menggelar pertunjukan kesenian dengan lakon kisah-kisah (mitologi) jasa pendiri kampung atau nenek moyang mereka. Setelah Islam datang kemudian peristiwanya berubah menjadi ritual ibadah puasa, tarawih, dan mengisahkan kisah-kisah para Nabi dan Rasul melalui kajian kitab suci al-Quran maupun hadis. 


Jika dibandingkan dengan tradisi dalam Islam, munggah dan mudik secara kontekstual mirip dengan ritual ibadah haji. Ibadah haji merupakan ritual ibadah bagi umat Islam yang dilaksanakan dalam rangka mengenang kembali perjalanan para nabi dan rasulnya sebagai manusia-manusia penyampai risalah ketuhanan. 


Ritual ibadah haji semisal tawaf dan sai di Makkah, bermalam di Mina dan di Muzdalifah, melontar jumroh, dan yang kemudian dilengkapi dengan kegiatan ziarah ke makam Nabi SAW, memang dilakukan untuk mengenang kembali perjalanan dan perjuangan para Nabi dan Rasul dalam menegakan agama Islam.


Adapun disyariatkannya berbagai ritual dalam ibadah haji pun senyatanya dilakukan untuk mengingatkan kembali jati diri umat Islam akan keberadaan tempat yang akan ditujunya nanti yaitu negeri akhirat sebagaimana hikmah dari peristiwa wukuf di Arafah.


Begitupun dengan tradisi munggah dan mudik. Tradisi munggah dan mudik dilakukan untuk mengenang kembali jati diri manusia sebenarnya. Pulang ke rumah masing-masing sebagai tempat dilahirkan, serta mengenang kembali jasa para leluhur yang telah berjasa dalam membuat kampung atau mengajarkan nilai-nilai agama kepada kita. 


Oleh karena itu, peristiwa munggah dan mudik yang telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Indonesia senyatanya bukan hanya sebatas pulang kampung untuk bertemu orang tua, sanak saudara, kerabat, atau teman saja. Tetapi lebih dari pada itu ada nilai suci yang terkandung di dalamnya. Yaitu ketika munggah dan mudik, masyarakat akan disatukan kembali pada alam pikirannya tentang asal usul diri mereka, dikembalikan kepada alam makro dan alam metafisiknya untuk mengingat kembali jati dirinya. 


Mulih ka Jati Mulang ka Asal. Sangkan Paraning Dumadi. Kita akan kembali kepada diri sejati atau rumah sejati. Memikirkan dari mana kita berasal dan akan kemana kita kembali. Itulah sejatinya makna tradisi munggah dan mudik.


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut.


Opini Terbaru