• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Opini

Jadi Guru kok Emosian?

Jadi Guru kok Emosian?
Dadan Madani (Foto: Dok. Pribadi)
Dadan Madani (Foto: Dok. Pribadi)

Oleh Dadan Madani
Penyakit guru itu kalau tidak stroke, pasti asma. Candaan seperti itu terbilang menggelitik dan perlu dicari hubungannya. Apa benar penyakit guru disamakan dengan kebanyakan para purna bakti dari jabatan-jabatan struktural lainnya?
 
Guru hanya jabatan fungsional, bukan jabatan kekuasaan. Ada benarnya, sekalipun tidak semuanya benar. Kalau pejabat struktural, di masa purna baktinya terkena dengan suasana post fower syindrome. Tadinya tinggal merintah, akhirnya menjadi orang yang biasa yang tak punya kuasa memerintah lagi. Orang yang tadinya dilayani, menjadi kelimpungan saat tidak dilayani. Munculah penyakit ‘pe’: pemarah, pemaki, penista, pemaksa dan pemancing kadar gula, darah tinggi, penyakit sesak nafas, dan penyandang satatus liga lansia Indonesia.

Lah ini guru, hubungannya dengan penyakit stroke dan asma di mana? Apakah terlalu berat memikirkan target tujuan pendidikan nasional untuk "mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab?" 

Atau terlalu berharap gaji guru disamakan dengan gaji Menteri Pendidikan Nasional? Hal-hal yang tak mungkin kesampaian. Atau mungkin, merasa baper ketika mengajar ada anak yang nakal dan susah mengerjakan PR, daya serap pelajaran susah dicerna siswa, atau tidak pernah diturut segala titah dan perintah oleh peserta didik?

Kalau seperti itu, bisa jadi emosian akan menjadi penyakit akut bagi kalangan guru. Namun, ternyata memang berat juga tugas guru itu. Seabrek tugas untuk guru memang ada benarnya. Tetapi tidak semua guru menjadi emosian. Di satu sisi ia harus menjawab tantangan negara, menjadi garda terdepan pencerdasan anak bangsa sesuai amanat Undang-undang. Di sisi lain guru juga manusia biasa, punya rasa dan hati. Punya keluarga dan cita-cita. Sangat manusiawi seandainya guru memimpikan kehidupan yang cukup agar mendidik tidak terganggu, konsentrasi bisa fokus.

Menjadi guru itu sebuah pilihan, seperti profesi yang lainnya. Memilih menjadi guru dengan segala resikonya, harus dibandingi dengan kesiapan mental dan kreativitas. Tidak cukup hanya mengandalkan gelar sarjana. Tidak cukup mempunyai mental dalam menghadapi siswa. Tidak cukup menguasai disiplin ilmu., Menjadi guru harus mampu berkreasi, bagaimana memanfaatkan peran orang tua dan steakholder pendidikan lainnya, terlibat aktif berbagi sesuai dengan perannya masing-masing.

Ki Hajar Dewantoro pernah menyarankan, “Jadikan setiap orang sebagai guru dan jadikan rumah sebagai sekolah.” 

Berburu hikmah dalam suasana pandemi Covid 19, misalnya. Demam guru sudah menular kepada orang tua. Rumah beralih fungsi menjadi sekolah limit waktu. Fungsi guru cukup membuat panduan pembelajaran daring. Sejenak mengistirahkan luapan mental dan menjaga emosi, terbantu dengan pengawalan orang tua di rumah. 

Tapi penyakit emosian ternyata beralih menjangkiti orang tua. Mereka banyak yang tidak menguasai pedagogik dan metode menyampaikan pelajaran kepada anaknya. Hal itu memicu luapan emosi, ditambah dengan terbaginya pikiran. Akhirnya anak lagi-lagi menjadi sasaran emosi orang tuanya di “sekolah-rumah” itu. 

Hal yang lebih memperihatinkan, memori anak akan menyimpan jejak luapan emosi itu. Mereka akan mewarisi sikap emosian guru dan orang tuanya. Lantas akan menjadi apa Indonesia jika dihuni oleh orang-orang yang mudah emosian? Kemudian apa penyebab gejala emosian pada guru itu? Syaikhuna Maimoen Zubair pernah mengatakan,

"Jadi guru tidak usah punya niat bikin pintar orang. Nanti kamu hanya marah-marah ketika melihat muridmu tidak pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik. Masalah muridmu kelak jadi pintar serahkan pada Allah. Didoakan saja terus menerus agar muridnya mendapat hidayah"

"Yang paling hebat bagi seorang guru adalah mendidik, dan rekreasi yang paling indah adalah mengajar. Ketika melihat murid-murid yang menjengkelkan dan melelahkan, terkadang hati teruji kesabarannya, namun hadirkanlah gambaran bahwa di antara satu dari mereka akan menarik tanganmu ke surga".

"Nak, kamu kalau jadi guru, dosen, atau kiai, kamu harus tetep usaha, harus punya (kerja) sampingan biar hati kamu nggak selalu mengharap pemberian atau bayaran orang lain, karena usaha dari hasil keringatmu sendiri itu barokah". 

Sebagai bahan untuk telaah, tiga dawuh Mbah Moen ini bisa dijadikan rujukan. Ruhul jihad guru tidak akan ternodai dengan kesengsem pada pengharapan orang lain. Semangat perjuangan guru harus tetap pada sejatinya, menjadi penebar kebajikan pencari keridlaan Ilahi.

Zaman berganti. Kekuatan guru hari ini tidak pada tingginya wibawa dengan cara emosian, tapi bagaimana menjadi pipa penyalur ilmu, protype akhlak, dan memosisikan anak didik sebagai penerus cerita sukses pendahulunya. Agar satu abad Indonesia nanti, melahirkan para pahlawan tanpa tanda jasa lainnya, dalam profesinya masing-masing.

Selamat hari Guru Nasional 2020.

Penulis adalah seorang guru dan Ketua Lesbumi Kabupaten Bandung


Editor:

Opini Terbaru