• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Opini

Integrasi Dzikir dan Fikir

Integrasi Dzikir dan Fikir
(Ilustrasi: NUO).
(Ilustrasi: NUO).

Oleh: Ajang Muhammad Abdul Jalil
Di dalam kitab Risalah mu'awanah, Syaikh Alawi Al-Hadad menjelaskan tentang muslim yang sejati adalah orang yang senantiasa berdzikir serta berdo'a kepada Allah dalam setiap waktu, baik itu setelah shalat wajib, pada waktu pagi dan petang, pada waktu bangun dan tidur.  

 

Jika mengistiqomahkan dzikir, maka dinamai wiridan. Jika wiridan diberjama'ahkan atau dibaca bersamaan dengan orang banyak, maka dinamai istighotsah. Jika orang banyak tersebut mendawamkan secara serempak wirid-wirid tersebut, maka dinamai hizib. Jika sudah mencapai tahap hizib, maka itu yang dinamakan dengan 'Ad'iyah al mustajabah' atau do'a yang pasti di ijabah. Disinilah pentingnya kita memilih dan memilih do'a-do'a yang diamalkan. Apakah sesuai dengan ajaran rasul atau tidak, Masyhur atau tidak, sanadnya bersambung kepada Rasul atau tidak.

 

Prosedur tersebutlah yang termaktub dalam Alqur'an surat Almukmin ayat 60:

 

ادعوني أستجب لكم

 

"Berdo'alah kepadaku, niscaya (pasti) akan ku kabulkan,"

 

Mungkin sering kita bertanya-tanya pada saat berdoa, kok kenapa doaku gak langsung dikabulkan oleh Allah pada saat itu juga? Nah inilah jawabannya, kita sering lupa antara berdo'a dan sekedar meminta. 

 

Jika dilakukan personal atau secara pribadi, maka itu dinamakan sebagai "meminta" atau "sual", jika diungkapkan dengan bahasa sendiri, itu dinamakan 'Attadharru' artinya, mengungkapkan "rasa diri butuh ka Allah ku nyaritaken pangabutuh" (sirojuttalibin) pada mode ini, terkadang kita lupa adab-adaban hati dalam berdo'a, Kalau kata teh Nati Sajidah tea mah, "Kita harus menjadi manusia yang ber-Tuhan, bukan manusia yang berperan Tuhan".

 

Tak jarang kita malah mendikte Tuhan layaknya seorang tuan rumah kepada pembantu, bos kepada karyawan, atasan kepada bawahan sehingga ketika permintaan kita tidak terkabulkan, maka menipislah iman kita, berkuranglah rasa cinta kita kepada Allah, berkurang pula wibawa ketuhanan Allah dalam diri kita. Na'udzubillah.

 

Tapi terkadang, pada saat kita berdoa, itu bisa berarti bahwa Tuhan akan memberikannya. Sebagaimana Ibnu Athailah dalam hikamnya

 

متي أطلق لسانك فاعلم أنّه أن يعطيك

 

Jadi tergantung kepada privasi hati kita dengan Allah. Yang penting kita bisa menjauhkan rasa Suudzon kepada Allah dan menyelamatkan diri dari keraguan kita terhadap sifat Qudrat-Nya. 

 

Kembali kepada prosedur do'a, Setelah kita berhasil melewati beberapa tahap diatas, maka hendaknya dzikir diiringi pula dengan "tadzakur" atau memulazamahkan lafadz dzikir sehingga alam bawah sadar kita terus menjalankannya. Pembuluh darah atau detak jantung membunyikannya. Atau tahap ini dalam beberapa Tarekat disebut pula dengan "Dzikir Khofi".

 

Nah setelah itu, maka dilanjutkanlah dengan mentadaburinya. Yaitu lisan kita mengucapkan lafadz, sementara hati kita sibuk menerjemahkannya. Lebih dalam lagi, kita memasukkannya kepada Aqal dengan memahami dan meresapi maknanya.

 

Dari kontekstual kitab risalah mu'awanah ini, beliau mengarahkan pada satu sampel anggota tubuh kita, salah satunya adalah tafakur terhadap anatomi tangan dan fungsi-fungsinya. 

 

Jika kita menafakuri secara aktual, tajam dan terpercaya terhadap anatomi yang ada pada tangan, merenungi setiap organ tubuh dan fungsi-fungsinya, sebagai anugrah dari Allah sebelum kita meminta.

 

Saya rasa jika boleh ini ditafsirkan secara rinci dan tajam setajam silet, akan sangat berkelindan untuk merekomendasikan kita agar mendalami sebuah disiplin ilmu bernama Biologi.  

 

Di zaman sekarang, kita bisa menemukan dan mempelajari cabang ini hanya di sekolah. Karena di pesantren kita masih berkutat perihal hukum, sudut pandang norma, interpretatif dan bahasa. 

 

Jadi saya sangat setuju kepada apa yang disampaikan oleh guru besar saya pangersa pak Haji (KH Syaifudin Zuhri Haurkuning) agar Umat islam bisa untuk "Dua Kola". Bukan hanya "sakola" baik itu belajar formal saja atau cuma non formal. 

 

So, sudah saatnya umat islam kembali terbuka seperti dizaman keemasan Islam dahulu. Seperti di zaman Rasulullah, Sultan Harun Arrasyid, Al-Makmun dll. 

 

Karena semakin ia merenungi suatu cabang ilmu, semakin tinggi ilmunya. Semakin tinggi ilmu, semakin merasa bodoh lah ia. Semakin ia merasa bodoh, maka semakin ia yakin terhadap kecerdasan dan sifat Ilmunya Allah. 

 

Kalau boleh saya memakai mindset qiyas, jika menafakuri salah satu anatomi tubuh bisa membuahkan kecintaan kepada Allah, maka semakin dalam seseorang menafakurinya, maka semakin dalam ia akan mencintai Allah. Semakin tinggi ia menguasai ilmu biologi, besar kemungkinan semakin tinggi pula kualitas kecintaannya kepada Allah. 

 

Begitupun dalam cabang ilmu yang lain, saya rasa jika metode pendidikannya mapan, sistematis.

 

Fungsi Kognitif, Afekttif dan psikomotoriknya berlandaskan asas Intelektual, Emosional serta spiritualnya seimbang maka akan siap menciptakan Ulul Albab. Bisa dibilang kita akan siap menjadi Muslim yang terpelajar serta pelajar yang berjiwa Muslim.

 

Dengan instrumen pendidikan karakter yang tersublimasi dari taklim muta'alim dan adabul alim wal muta'alim, lalu didinamisasikan dengan pendidikan modern yang serba teknologi, apalagi jika diintegrasikan dengan konsep ADDIE yang berlaku saat ini. 

 

Dzikir, Fikir Amal Sholeh bagi saya adalah senyawa yang tidak bisa dipisahkan dari jiwa seorang muslim. Ia harus berpegang teguh luar dan dalam. Karena jika salah satunya hilang, maka ia tidak akan menjadi muslim yang sempurna. 

 

Manusia yang paripurna adalah sehat secara lahir dan batin. Dan yang menggabungkan keduanya adalah dengan menyelam kepada alam mikro kosmos, atau dalam kitab jauhar tauhid dibahasakan dengan العلم السفلي dan itu memerlukan integrasi penjiwaan tauhid yang murni. 

 

Bagi saya, inilah salah satu bentuk ikhtiyar prosedural agar kita bisa mengonsumsi حلاوۃالإيمان yaitu dengan menjalani setahap demi setahap perjalanan lahir lalu diikuti dengan bathin, setelah itu dikembangkan oleh aqal dengan tetap berpegang teguh kepada Syari'at. 

 

Penulis adalah pengajar di Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya, Wakil Ketua PC IPNU Kabupaten Tasikmalaya 2019-2021 dan Wakil Ketua PC PMII Kabupaten Tasikmalaya 2019-2020.


Opini Terbaru