• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

Ibnu Khaldun, Kedaulatan, dan Kriteria Pemimpin 

Ibnu Khaldun, Kedaulatan, dan Kriteria Pemimpin 
Ibnu Khaldun, Kedaulatan, dan Kriteria Pemimpin 
Ibnu Khaldun, Kedaulatan, dan Kriteria Pemimpin 

Ibnu Khaldun, orientalis Barat menyebutnya culturehistorical (sejarawan peradaban) atau Montesque dari Arab. Ia merupakan sejarawan sekaligus sosiolog muslim yang hidup pada periode awal pertengahan Islam. Ibnu Khaldun lahir di Tunnisia pada tahun 1333 M dan meninggal pada tahun 1406 M di Mesir. Terdapat perbedaan antara Ibnu Khaldun dengan ilmuan-ilmuan muslim hebat lainnya. jika ilmuan muslim seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Ibnu Haitam, dan lain sebagainya lahir di masa keemasan Islam, justru Ibnu Khaldun muncul di periode masa kemunduran Islam dan benih-benih Renaisance mulai muncul. 


Riwayat Ibnu Khaldun dibagi ke dalam empat fase : pertama, fase kelahiran. Pada fase pertama atau fase kelahiran Ia habiskan di Tunisianya sampai usia 20 tahun. Kedua, fase perkembangan dari remaja menuju dewasa. Pada fase kedua ini, Ibnu Khaldun mulai berkecimpung ke dalam dunia politik di wilayah Maghrib dan Andalusia (negara Spanyol sekarang). fase ketiga, pada fase ketiga ini Ibnu Khaldun mulai fokus pada bidang keilmuan dan intelektual. Ide dan imajinasi untuk berfikir dan menulis karya tersebut muncul ketika sedang berada di Benteng Ibnu Salamah milik Banu Arif. Keempat, fase keempat Ibnu Khladun Ia habsikan dalam mengajar dan bertugas sebagai Hakim di Negeri Fir’aun (Mesir).


Ketika mendengar kata sosiologi yang terbayang dalam benak dan pikiran masyarakat adalah Agus Comte. Hal tersebut dapat dimaklumi, Karena yang diajarkan disekolah-sekolah Agus Comte lah yang merumuskan dan menctipkan ilmu Al-Umran atau ilmu sosiologi tersebut. Padahal apabila kita menarik fakta history ke belakang kurang lebih 400 tahun sebelum lahir Agus Comte, Ibnu Khaldun telah merumuskan ilmu Sosiologi dalam karya monumentalnya kitab Muqoddimah. Kitab Muqoddimah merupakan Bab awal dari kitab Al-‘Ibar karya Ibnu Khaldun yang terdiri dari enam jilid. 


Dalam bidang historiografi (penulisan sejarah) Ibnu Khladun berbeda dengan sejarawan muslim pada periode sebelumnya. Historiografi (penulisan sejarah) pada periode sebelum Ibnu Khladun masih menggunakan riwayat, yaitu penulisan sejarah dengan metode periwayatan. Seperti contohnya kitab Sirah Nabawi karya Ibnu Ishaq. Pada masa Ibnu Khladun terjadi perubahan metode penulisan sejarah, yaitu dari metode riwayat menjadi dirayat. Menurut Badri Yatim, metode dirayat merupakan metode sejarah yang menaruh perhatian terhadap pengetahuan secara langsung. Artinya mulai sejak Ibnu Khaldun lah kajian sejarah dilakukan melalui kajian penelitian lapangan yang sifatnya empiris (dapat dibuktikan dengan fakta dan data)  yang kedibel dan rasional.


Penulis meng qiyaskan (mengibaratkan) predikat antara Ibnu Khladun dan Agus Comte dalam persoalan ilmu sosiologi adalah seperti halnya proses lahirnya seorang bayi. Ibnu Khaldun memiliki predikat dialah yang memproses bayi tersebut dari mulai air mani, zigot, mengandung dari mulai usia 40 hari, 3 bulan, 7 bulan dan sampai lahir. Dan setelah bayi tersebut lahir, Agus Comte lah yang memberi nama bayi tersebut dengan nama ilmu sosiologi. Artinya Ibnu Khladun yang merumuskan dasar-dasar sosiologi, mengkonsep, dan mengkaji gejala sosial masyarakat lewat penelitian lapangan. Dan hasil penelitiannya tersebut Ia sajikan dalam karyanya yaitu kitab Muqaddimah. Meminjam ungkapan Fajriudin, selain kata Al-Umran dalam penyebutan ilmu sosiologi, Ibnu Khladun pun menyebut  ilmu sosiologi dengan sebutan lain seperti Al-Hiknah fi Tuulal Musyarokah, Al-Nadinah wal Badawah, Al’ammah Alummat.  


Seperti yang ditulis oleh Sayyed Farid Al-Attas dalam bukunya yang berjudul Ibnu Khaldun (Biografi Intelektual dan Pemikiran Sang Peloporr Sosiologi), Al-Attas memiliki pandangan bahwa filosof-filosof Barat abad modern seperti Machiavelly, Giambastita Vico, Agus Comte, Cornot, semuanya dipengaruhi pemikiran Ibnu Khladun. Karya momental besar Ibnu Khaldun (Muqaddimah) sempat lenyap selama kurang lebih dua ratus. Kitab Muqoddimah baru muncul kembali dan dianggap penting sebagai bahan kajian baik oleh Barat maupun Timur setelah  dikaji dan diteliti ulang oleh seoang ilmuan dari Francis pada tahun 1697. Kala itu, muncul biografi Ibnu Khaldun yang ditulis dalam sebuah buku dengan judul Bibliotheque Orientale barthelemy d’Herbelot de Molainaville.


Dari sekian banyak pembahasan yang tercantum dalam Muqaddimah dari mulai Peradaban Badui, peradaban orang menetap, negeri dan kota, provinsi, mata pencaharian dan lain sebagainya, tak kalah pentingnya Ibnu Khladun pun menyinggung pembahasan mengenai kedaulatan dan kriteria khalifah atau pemimpin. Menurut Ibnu Khaldun, kedaulatan merupakan sesuatu yang alami bagi manusia, sebab di dalamnya adanya implikasi sosial. Kedaulatan tidak bisa dilakukan hanya menggunakan kekuatan seseorang, kedaulatan dapat didirikan dengan adanya solidaritas sosial. dengan adanya solidaritas sosial, masyarakat akan lebih teroganisir serta segala keperluan sebagai makhluk sosial akan terpenuhi. Yang Dimaksud oleh Ibnu Khladun solidaritas disini adalah solidaritas yang terpuji sesuai tabi’at manusia. Untuk menjaga solidaritas tersebut bisa dibuat dalam bentuk lembaga seperti tentara, polisi, maupun Menkumham kalau di Indonesia. Selain solidiritas sosia, kedaulatan pun harus ditunjang dengan menguatkan maal atau uang sebagai penopang seluruh struktur yang dibutuhkan oleh kedaulatan termasuk solidaritas yang dibuat dalam bentuk lembaga. Ibnu Khaldun menegaskan, apabila suatu negara tidak ingin mengalami kehncuran, maka harus memperkuat dua fondasi; pertama solidaritas sosial, dan kedua uang.


Untuk merealisasikan keinginan Tuhan menjadikan manusia sebagai khalifah yang bertujuan untuk memakmurkan bumi sebagai tempat manusia tinggal dan memperkuat solidaritas sosial dalam suatu negara, maka perlu adanya pemimpin. Ibnu Khaldun memandang, ada atau tidak adanya agama dalam sebuah negara, seorang pemimpin harus ada. Pemimpin yang diangkat sebagai kepala negara dan pemerintah suatu wilayah atau negara harus memiliki kepribadian yang memiliki pengaruh terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Selain memilik kharismatik, seyoginya seorang pemimpin pun harus dekat rakyat. Keharusan seorang pemimpin  yang kharismatik dan memenuhi kriteria yang ditentukan dalam sebuah wilayah yang berdaulat adalah agar mempekuat kedaulatan negara supaya tidak mudah dilenyapkan dan direbut oleh negara lain. Selaras apa yang dikatakan Ibnu Khladun mengenai sosok seorang pemimpin, kriteria calon seorang pemimpin menurut Syekh Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam As-Sultoniyah adalah sebagai berikut : 1). Adil, 2). Memiliki pengetahuan yang luas dalam mengambil keputusan hukum, 3).  Memiliki panca indra yang sehat, 4). Memiliki organ tubuh yang sehat dan terhindar dari cacat, 5). Memiliki ide dan gagasan, 6). Memiliki keberanian dan sifat kesatria.
 

Ilham Muhamad Nurjaman, Penulis Merupakan Dosen Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung
 


Opini Terbaru