• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Rabu, 24 April 2024

Opini

Filosofis Tata Ruang Kota di Priangan Timur Jawa Barat

Filosofis Tata Ruang Kota di Priangan Timur Jawa Barat
Landscape Kota Tasikmalaya (Sumber: Pagelaran Kreasi Priangan Timur).
Landscape Kota Tasikmalaya (Sumber: Pagelaran Kreasi Priangan Timur).

Menarik mencermati tata ruang kota di priangan timur Jawa Barat. Jika diamati, setiap pusat kota kecamatan atau kabupaten di priangan Jawa Barat mempunyai pola baku. Biasanya terdiri dari beberapa lembaga pemerintah atau swasta yang telah menjadi satu kesatuan dalam letak tata ruang tempatnya.

 

Misalnya, di setiap pusat kota kecamatan atau kabupaten terdiri dari beberapa lembaga seperti adanya masjid besar, pendopo, kantor pemerintahan, lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, pasar, lembaga hukum, dan yang lainnya. Dan kesemuanya itu bertempat tidak jauh dari satu tempat lapangan luas yang kita kenal dengan nama alun-alun.

 

Jika kita amati pusat kota di priangan timur Jawa Barat seperti di Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis, tata ruang kotanya terdiri dari lembaga-lembaga yang disebutkan di atas yakni lembaga pemerintahan-pendidikan-agama-hukum- ekonomi-dan yang lainnya. 

 

Lembaga-lembaga tersebut ditempatkan mengikuti pola penempatan yang khas. Biasanya, masjid jami’ (masjid agung)nya terletak di sebelah barat, pendopo & kantor camat/bupati di sebelah selatan, lembaga hukum (kantor kepolisian/rutan/penjara) di sebelah timur. Meskipun letak tiap lembaga yang dimaksud kadangkala setiap tempat berbeda arah lokasi, namun yang paling baku adalah bangunan masjid jami’ berada di sebelah barat dan alun-alun sebagai pusat kota berada di tengah-tengah lembaga-lembaga yang ada.

 

Lalu apa yang mendasari penempatan lembaga pada tata ruang kota kecamatan/kabupaten terbentuk seperti telah disebutkan di atas? Jawabannya adalah penerapan konsep atau mazhab papat kalimo pancernya orang Jawa yang kemungkinan besar diterapkan oleh pemerintahan pada zaman Islam (kerajaan), zaman kolonial (penjajahan), serta zaman kemerdekaan yang ada di priangan timur Jawa Barat. 

 

Konsep papat kalimo pancer merupakan pemikiran orang Jawa yang berasumsi bahwa anasir kehidupan ini terbagi menjadi empat bagian dengan satu pusat sebagai pancer nya. Misalnya arah mata angin alam semesta terbagi menjadi empat yaitu utara, selatan, timur, barat, dengan tengah sebagai pusat (pancer). Dan empat ruang satu pusat inilah yang kemudian menjadi dasar penempatan tata ruang kota di setiap kota yang ada di priangan timur wilayah Jawa Barat dan tak terkecuali  di kota-kota besar di wilayah Jawa Barat yang lainnya.

 

Sumber utama (awal) penempatan tata ruang kota yang mengikuti mazhab (pola) papat kalimo pancer berasal dari penempatan tata ruang kota Demak Bintara yang dikenal sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Terdapat lima ciri khas tata ruang kota Demak Bintara yang menjadi sumber utama penataan tata ruang kota di Jawa dan Sunda. Bahkan dalam catatat sejarah, kerajaan Demak Bintara yang lahir pada tahun 1481 M (tiga tahun pasca runtuhnya kerajaan Majapahit yaitu tahun 1478 M) merupakan peletak dasar konsep tata ruang kota yang berbeda dengan kota-kota pada kerajaan sebelumnya (seperti kerajaan Majapahit, Kediri, Tumapel, dan Singosari).

 

Berikut lima ciri khas dan filosofi tata ruang kota Demak Bintara yang kemudian menjadi sumber penataan tata ruang kota di Jawa dan Sunda terlebih di wilayah priangan timur Jawa Barat
Pertama, terdapatnya alun-alun di jantung pusat kota. Alun-alun berasal dari kata “allaun” yang berarti bermacam-macam atau berwarna warni (heterogen). Pengucapan kata “allaun” secara dua kali menjadi “allaun-allaun” mengisyaratkan bahwa di sanalah (di alun-alun) tempat bersama antara penguasa dengan rakyat. Alun-alun juga mempunyai empat penjuru yang mengingatkan kita pada empat perspektif syariat dalam Islam, yakni syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.

 

Kedua, terdapat istana (pendopo) dan kantor pemerintahan yang menghadap ke selatan. Posisi istana (pendopo) ini ada juga menghadap ke sebelah utara atau ke sebelah selatan alun-alun serta membelakangi gunung yang tinggi tegak dan menghadap ke laut samudera (atau sungai/dermaga). Makna simbolisnya, seseorang penguasa itu tidak boleh menyombongkan diri ketika memimpin rakyat, karena di belakang ada ciptaan Tuhan yang lebih tinggi yaitu pegunungan. Sedangkan arti menghadap ke samudera (sungai) adalah bahwa seorang pemimpin itu harus memiliki hati yang luas ampunan dan besar kasih sayangnya kepada rakyatnya.

 

Ketiga, terdapat masjid jami’ (masjid agung) yang terletak di sebelah barat alun-alun yang menghadap ke sebelah timur. Makna filosofisnya adalah bahwa masjid itu pilar agama yang harus dijunjung tinggi oleh seorang pemimpin. Apalagi jika di depan masjid tersebut terdapat dua atau empat pohon beringin yang mengitari masjid (kalau sekarang diganti dengan empat menara) mengingatkan kita pada empat sumber hukum dalam Islam (al-Quran, hadis, ijma, dan qias) dan empat mazhab yang ada dalam ahlussunnah wal jamaah (Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hambali). Artinya, seorang pemimpin itu haru bersikap wara’ (hati-hati) dalam segala tindak dan ucapannya. Termasuk di dalamnya ketika  menjalani kehidupan keagamaannya.

 

Keempat, terdapat penjara di sebelah timur alun-alun atau menghadap ke barat. Sebagimana diketahui, penjara identik dengan pilar hukum. Tempat orang yang melanggar hukum. Dalam hal ini, seorang pemimpin dituntut harus dapat menjunjung tinggi keadilan, sehingga tidak tebang pilih dalam mengadili bawahan atau rakyatnya yang bersalah. Pemimipin pun harus mampu mewujudkan tatanan hukum yang adil dengan tidak menjadikan hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

 

Kelima, terdapat pohon waringin (beringin) di depan istana/kantor pemerintahan. Nama waringin berasal dari kata “waraa’in” yang artinya berhati-hati terhadap segala sesuatu. Makna filosofis pohon beringin merupakan manifestasi dari ajaran tasawuf yang merupakan jalan spiritual bagi kepala pemerintahan (sunan, para wali, para raja Islam, gubernur, bupati, atau camat). Dengan demikian, penanaman dan keberadaan pohon beringin itu mempunyai arti bahwa seorang penguasa harus bersikap wara’ (hati-hati) terhadap apa yang dilakukannya. Jika seorang pemimpin salah dalam mengambil kebijakan, maka akan berdampak buruk bagi keberadaan rakyatnya.

 

Dikutip dari buku Sunan Kalijaga (Napak Tilas Jejak Sang Guru Spiritual Jawa), Wawan Susetya (2009), bahwa perancang atau arsitek tata kota sebagaimana disebutkan di atas adalah Kanjeng Sunan Kalijaga (Raden Sahid Wilatikta), anggota wali sembilan sebagai penyebar agama Islam di Jawa. Kanjeng Sunan Kalijaga juga merupakan penasihat sekaligus penjaga spiritual kerajaan Demak pimpinan Raden Patah (Kanjeng Sultan Syah Alam Akbar 1).

 

Rudi Siroudin Abas, Penulis adalah seorang peneliti kelahiran Garut.


Opini Terbaru