Opini HARI SANTRI NASIONAL 2024

Dua Sisi Mata Pisau Kaum Santri

Jumat, 11 Oktober 2024 | 10:40 WIB

Dua Sisi Mata Pisau Kaum Santri

Hari Santri Nasional (Ilustrasi: freepik.com).

Pemerintah melalui Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015, telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai peringatan Hari Santri Nasional (HSN). Sebuah tonggak sejarah baru bagi eksistensi santri yang notabene adalah kaum sarungan yang selama ini lekat dengan stereotipe kampungan, konservatif, “ndeso” dan katro.  Beragam kegiatan guna memeriahkan peringatan HSN dilakukan oleh banyak kalangan, khususnya mereka yang memiliki latar belakang santri. Sebut saja upacara bendera yang dilakukan oleh jajaran pengurus Nahdlatul Ulama (NU), dari mulai PBNU sampai dengan Anak Ranting NU (PARNU). Pengajian dan tablig akbar, serta apel santri yang banyak digelar di berbagai pondok pesantren yang tersebar di Indonesia.


Berdasarkan data Kementerian Agama, sampai dengan semester pertama tahun 2023 tercatat ada sekitar 39.551 pondok pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan jumlah santri sekitar 4,9 juta. Ini tentu belum termasuk pondok-pondok pesantren yang tidak atau belum tercatat di Kemenag RI. DI tambah dengan jumlah para alumni pondok pesantren (yang sudah berdiri puluhan tahun) bisa jadi jumlahnya menjadi puluhan juta.


Mengutip dari pernyataan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf yang mengungkapkan bahwa hasil survei pada tahun 1995 menunjukkan bahwa hanya 18 persen dari penduduk Indonesia merasa sebagai anggota NU. Tahun 2005, angka tersebut meningkat tajam menjadi 27 persen. Peningkatan yang lebih mengejutkan terjadi antara tahun 2010 hingga 2018, dengan survei tahun 2010 menunjukkan bahwa 47 persen penduduk Indonesia mengaku sebagai anggota NU. Tahun 2023 kemarin, Lembaga Survei Indonesia (LSI), orang yang mengaku NU ini sudah 56,9 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Jika jumlah penduduk Indonesia sekitar 280 juta jiwa, artinya sekitar 160 juta adalah warga NU.


Analogi ini bisa jadi yang paling sepadan untuk menghitung berapa jumlah santri dan para alumni pondok pesantren di Indonesia. Karena bagaimanapun dengan jumlah pondok pesantren yang mencapai puluhan ribu, dengan usia pondok pesantren yang sudah puluhan tahun, wajar jika aluminya sudah mencapai puluhan juta.


Afirmasi Politik Santri


Angka-angka tersebut di atas mengambarkan banyaknya bahwa jumlah santri dan alumninya yang tersebar di Indonesia. Dari sisi jumlah serta karakteristik local wisdom, santri dan pondok pesantren telah hadir sebagai sebuah kekuatan (baca ; entitas) politik nasional yang signifikan. Hal ini bisa jadi menjadi salah satu alasan mengenai pengakuan pemerintah melalui penetapan HSN, sebagai bentuk lain dari mengakomodir afirmasi politik kaum sarungan.


Terlepas dari itu, fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah hadirnya santri dan pondok pesantren sebagai kekuatan sekaligus entitas politik nasional.  Hal yang tentunya sangat mengiurkan dan menjanjikan bagi Sebagian kalangan khususnya pelaku politik praktis yang dalam hal ini adalah partai politik.


Simak saja safari politik para Calon Presiden (Capres) atau Calon Kepala Daerah (Bupati/Walikota/Gibernur) ke pondok-pondok pesantren setiap momentum Pilpres ataupun Pilkada. Sebuah rutinitas kegiatan politik yang mewarnai setiap kontestasi, yang sekaligus mengambarkan bahwa pondok pesantren dan santri adalah salah satu mesin pendulang suara yang harus didekati, dilakukan canvasing dan dimobilisasi.


Jika merujuk pada perolehan suara partai politik dalam pemilu 2024, yakni parpol yang selama ini dianggap sebagai representasi politik kaum santri, yakni PKB dengan perolehan suara sekitar 16 juta suara (10,61%), PPP dengan 5,8 juta suara (3,87%), Partai Umat dengan 643 ribu suara (0,42%) dan PBB dengan 484 ribu suara (0,32%), artinya ada sekitar 22,8 juta suara atau sekitar 15,22%.


Angka 22,8 juta suara tentunya masih sangat rendah jika dibandingkan dengan jumlah warga NU yakni sekitar 160 juta sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf sebagaimana tersebut di atas. Atau masih sekitar 14% dari jumlah warga NU. Kecilnya angka ini bisa jadi karena (1) santri dan pondok pesantren yang suaranya terdiferensiasi kepada partai politik lain, atau (2) sebagai entitas politik, santri dan pondok pesantren belum tergarap dengan optimal.


Terlepas dari itu, sebagai sebuah afirmasi politik, kaum santri yang notabene adalah kaum sarungan sudah hadir sebagai sebuah entitas kekuatan politik nasional yang layak diperhitungan. Dimana jika peranya dioptimalkan, dapat ikut andil dalam membangun sistem politik dan pemerintahan di Indonesia.


Mengutip pendapat Gabriel Almond dan Bingham Powell Jr (1989) konsep sistem politik akan menghadirkan keterkaitan dengan suatu keadaan dimana bagian-bagiannya satu sama lain bergantung secara fungsional, yang mempunyai batas-batas tertentu tetapi merupakan komponen daripada satu keutuhan yang bulat. Dan jika salah satu dari bagian tersebut berubah, maka bagian lain juga akan berubah. Artinya dalam sistem politik, kelahiran partai-partai dan media komunikasi massa dengan sendirinya akan mengubah semua penampilan struktur sistem, kemampuan sistem, baik kemampuan domestik maupun kemampuan internasionalnya. Dengan kata lain, jika suatau variabel dalam sistem, politik mengalami perubahan kualitas dan kuantitas, maka yang lain juga akan mengalami perubahan yang sama, walaupun dalam kadar yang berbeda. Disamping itu akibat tekanan lingkungan maka sistem juga akan mengubah penampilannya hingga bagian yang mengalami tekanan itu kembali pada kondisi semula.


Atau dalam perspektif teori dependensia (ketergantungan), berimplikasi pada dua hal, yakni kekuatan-kekuatan politik dipandang sebagai bentuk nyata yang memepertahankan atau melawan ketergantungan baik dalam tingkat pemikiran, anailisis, maupun ideologi,  dan kekuatan politik dipandang memiliki akar sejarah, berkaitan dengan  struktur dan ekonomi, dan berkaitan pula dengan perkembangan politik dan ekonomi di sekitar kawasan dimana kekuatan-kekutan politik itu tumbuh dan berkembang.


Dari perspektif dua teori tersebut di atas, maka santri dan pondok pesantren sebagai variable dalam suatu sistem politik, maka harus melewati tiga proses, yakni : input - konversi - output. Disinilah diperlukan roadmap penataan santri dan pondok pesantren, mulai dari peranannya, hubungan peranan dalam membentuk struktur politik, identifikasi struktur politik santri, diferensiasi politik santri, sampai dengan pelembagaan fungsional santri dan pondok pesantren secara legal formal. Disinilah urgensi santri sebagai kekuatan entitas politik nasional untuk meningkatkan kiprah jangka Panjang khususnya dalam melihat dan berpartisipasi melalui aspek-aspek perubahan dan pembangunan politik nasional di Indonesia ke depan.


Hal ini sejalan dengan pendapat Samuel P.Huntington dan Joan M. Nelson, tentang partisipasi politik. Yakni (1) partisipasi politik otonom adalah partisipasi politik yang dilakukan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Dalam hal ini pelaku tahu apa yang dilakukan, untuk apa dan mengapa melakukan itu dan dampak dari tindakannya itu. (2) Partisipasi politik yang dimobilisasikan adalah partisipasi politik yang dilakukan seseorang atas perintah, anjuran, saran, petunjuk atau kehendak orang lain. Dalam hal ini si pelaku tidak mengetahui mengapa dan untuk apa ia harus melakukan semua itu. Partisipasi politik yang dimobilisasi ini bisa berubah menjadi partisipasi politik yang otonom, jika di sosialisasikan secara terus menerus sehingga terjadi internalisasi. 


Pengawal Tradisi Dan Agen Perubahan


Dengan jumlah santri yang sedemikian besar, menempatkan santri sebagai agen perubahan di Indonesia tidaklah berlebihan. Santri yang selama ini mengemban Pendidikan di pondok pesantren, yang sarat dengan pengajaran agama, pengembangkan karakter, nilai-nilai moral, dan kepemimpinan. Santri juga dipersiapkan untuk menjadi individu yang bertanggung jawab dan peduli terhadap masyarakat, melalui nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan, yang merupakan fondasi kuat dalam pembangunan negara.


Ditambah dengan peranan pondok pesantren dan santri dalam menjaga kearifan lokal, penjaga tradisi keagamaan, sekaligus lembaga pendidikan yang berhasil dalam mengkolaborasikan prinsip dan nilai-nilai karakter moral dan tradisi intelektual yang kuat, serta perannya dalam menjaga budaya masyarakat dan agama dengan meneguhkan pada 4 (empat) prinsip utama, yakni Tawassuth (moderat), Tawazzun (seimbang), I'tidal (adil) dan Tasamuh (toleran) di tengah-tengah gelombang globalisasi, modernisasi, liberalisasi yang telah mereduksi dan mengerus akar, tradisi dan budaya masyarakat.


Ruang santri sebagai agen perubahan dengan leluasa diberikan oleh pemerintah dengan mengakomodir para santri dalam penerimaan calon ASN, anggota TNI serta anggota Polri, melalui membuka jalur santri. Serta penerimaan mahasiswa baru di Perguruan-perguruan tinggi negeri, yang sudah membuka jalur-jalur khusus yang selama ini menjadi kompetensi santri. Seperti penerimaan mahasiswa baru jalur Hafidz Al Qur’an, yang paling tidak sudah dibuka di beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) seperti IPB University, UI, UNJ, UGM, ITS dan lain sebagainya.


Secara kongkrit pemerintah juga mengembangkan program Santripreneur dengan kurikulum kejuruan atau kewirausahaan, dan jenis kegiatannya antara lain bimbingan teknis produksi, fasilitasi mesin/peralatan, serta materi kewirausahaan dan digital marketing yang diberikan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masing-masing pondok pesantren.


Program ini tentunya bertujuan untuk penumbuhan pelaku industri atau wirausaha baru (WUB) yang mampu memberikan dampak positif yang berantai pada roda perekonomian masyarakat dengan mendorong dan meningkatkan potensi pasar, khususnya melalui peranan pondok pesantren dan santri.


Program yang ini telah dijalankan pemerintah melalui Kementerian Perindustrian RI, sejak tahun 2013, dan sampai dengan tahun 2023 telah sudah membina sebanyak 10.469 santri dari 101 pondok pesantren yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia.


Jaring Patronase 


Terlepas dari dua sisi peranan santri tersebut di atas (sebagai kekuatan politik dan agen perubahan) dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara dieras modernisasi dan globalisasi ini berjalan sedemikian cepat. Indikatornya seperti perkembangan tekhnologi, Internet of Thing, Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dan big data, otomatisasi dan lain sebagainya, berjalan lebih cepat dari pada perkembangan logika dan alam pikir manusia termasuk santri.


Ini tentunya menjadi ancaman nyata bagi tereduksinya struktur berfikir masyarakat termasuk santri. Dengan demikian, agar santri dan pondok pesantren tidak  terbawa arus deras modernisasi, globalisasi dan liberalisasi yang semuanya sarat dengan kompetisi dan praktek “kanibalisme”, maka membangun jaring patronase bisa menjadi salah satu strategi untuk untuk memperkuat dan menjaga prinsip dan nilai-nilai tradisi santri dan pondok pesantren ditengah arus modernisasi, globalisasi dan liberalisasi.


Artinya santri dan pondok pesantren tetap menempatkan kyai dan ulama sebagai rujukan sekaligus sumber kekuatan penggerak perubahan itu sendiri. Artinya tetap menempatkan kyai dan ulama sebagai jembatan perubahan budaya dan sistem, melalui pengalaman, kemampuan professional dan kelilmuan kyai dan ulama yang dikemas dalam kaidah tafsir, pembaharuan hukum fiqh, manteq, bahasa bahkan sampai pada wilayah privat sekalipun. Hal-hal inilah yang akan mampu untuk meneguhkan komitmen satri untuk tetap konsisten menjaga nilai dan tradisi pesantren sebagai prinsip hidup yang dianutnya, ditengah-tengah gempuran arus modernisasi, globalisasi dan liberalisasi.


Dr Eko Setiobudi, SE, ME, Ketua Tanfidziyah Ranting NU Desa Limusnunggal, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor