Opini KOLOM PROF BAMBANG

Alif, Khidmat, dan Mimpi Baru 

Jumat, 16 Juni 2023 | 11:00 WIB

Alif, Khidmat, dan Mimpi Baru 

Alif petugas Haji sedang mengantarkan jamaah haji lansia bernama Kosim menuju masjidil haram (Foto: instagram gusyaqut)

“Alif namanya. Sama dengan kita semua, memiliki keterbatasan. Tapi dia jadikan keterbatasannya sebagai ilusi, sehingga membantu jamaah terasa ringan saja,” begitu status Gusmen atau Yaqut Kholil Qoumas dengan ilustrasi seseorang yang memiliki keterbatasan pada kaki sedang menggendong Jemaah haji lansia. Namanya Alif, memiliki keterbatasan namun tetap melayani: berkhidmat.


Ini pesan sederhana, khidmat harus dilakukan apapun kondisi kita. 
Konon, dalam postingan Faisal Saimima, Alif begitu susah payah membawa Lansia Kosim itu menuju satu tempat. Setelah menggendong sedemikian jauh (dari terminal Sai ke terminal Bus Jamaah), ia merasa capek, badannya payah didera panas dan beban yang semakin memberat. Dia terpikir untuk sewa kursi roda, dia rogoh kantong celananya, ternyata Pak Alif nggak bawa uang.  Berarti ia harus menggendong lagi? Tiba-tiba ada jamaah haji asal Turki yang menghampiri, jamaah haji Turki tersebut memanggil tukang kursi roda dan membayarinya. Pak Alif tersenyum, Jemaah Turki itu tersenyum, Pak Kosim tentu saja lega; mereka tak saling bercakap (karena tak saling memahami bahasa), namun mereka saling terhubung dalam khidmat dan persaudaraan. 


“Berkhidmatlah pada ummat,” begitu dulu pesan kiai pada para santrinya. “Kita ini Abdullah (pelayannya Allah), karena itu kita harus melayani Allah,” Kyai itu terus menjelaskan. Tetapi Allah Maha Sempurna, tak butuh pelayanan. “Layanilah tamu-tamu Allah,” itulah yang dilakukan nenek moyang Rasulullah Muhammad Saw, dulu. Kakek buyut Nabi Muhammad seperti Hasyim, Abdul Muthalib, adalah pelayan tamu-tamu Allah. Siapapun yang datang ke Masjid al-Haram akan disediakan makan minum gratis, juga perlindungan keamanan. Nabi Muhammad pun kemudian meneruskannya, ia menjadi pelayan Masjid al-Haram. Kini, Alif, dan para petugas Haji dengan komando Gusmen sedang mempraktekkan menjadi pelayan Rumah Allah.


Khidmat dalam kisah Alif menjadi bahasa universal, bahasa diterobos oleh khidmat, siapapun dapat memahami seraya tersedot untuk ikut terlibat. Sebagai bahasa universal, laku khidmat dapat menular sehingga kelak dapat menjadi laku universal: semua orang melayani satu sama lain. Di titik ini, khidmat tentu tak sekadar melayani tamu Allah di Masjid Al-Haram, tamu Allah ada di mana-mana. Semua umat manusia adalah tamu Allah, di bumi manapun. Semua yang kesusahan dan kebingungan terus mengharap mendapat bantuan atau sekadar senyum penyemangat dari pemilik alam ini. Kita, sebagai khadimnya Allah, berkewajiban memberikan pelayanan pada mereka. Saat seorang pelayan memberikan penghormatan tulus, sang tamu akan merasa dihormati tidak hanya oleh si pelayan itu namun juga oleh Tuannya. Mungkin inilah maksud dari QS Muhammad ayat 7 “in Tansurullah yansurkum” (Siapa menolong Allah, dia akan ditolong Allah). 


Lima tahun yang lalu saya pernah terinspirasi pada pentingnya Khidmat. Maka pada mata kuliah tauhid, saya tugaskan mahasiswa untuk berkhidmat. Praktek Ilmu tauhid, adalah berkhidmat pada semua orang, begitu pesan saya saat itu. Saya minta semua mahasiswa menyebar ke masyarakat sekitar kampus untuk berkhidmat, melayani dan membantu apapun yang bisa dilakukan. 


“Jika kau melihat tukang parkir kelelahan, dan hatimu ingin membantu, bantulah. Jika bertemu nenek yang mau menyebarang, bantulah”, itulah instruksiku. Lalu, kunjungilah masjid, jika WCnya kotor, bersihkanlah. Tentu harus minta izin terlebih dahulu. “Kalian tak boleh berceramah, kalian harus membantu dengan tenaga kalian. Saat ada yang bertanya, jawablah ‘saya dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung sedang belajar berkhidmat!’.  Singkat cerita, mahasiswa menyebar ke sekitar kampus, melakukan khidmat serta membuat cerita.  Hasilnya luar biasa


Sekelompok mahasiswa datang pada suatu masjid untuk menyapu, mengepel, dan mencuci karpet. Ada juga yang membersihkan WC. Ada juga yang membantu lansia yang tinggal sendirian, mengambilkan air dari tetangga. Tiga hari kemudian, mahasiswa berinisiatif membeli selang untuk menghubungkan sumber air tetangga ke rumah nenek itu. 1 bulan kemudian, tetangganya tersadar dan iuran untuk membuatkan pompa air bagi nenek itu. Ajaib, khidmat ternyata bisa menulis.


Program Khidmat ini sayangnya terlupakan, tertindih oleh kesibukan ini itu. Saat ini saya punya mimpi baru, UIN Sunan Gunung Djati Bandung harus memiliki spirit Khidmat. Karena itu, saat kemaren saya mengisi rancangan Visi-Misi saya menuliskan Khidmat sebagai core-values.  Khidmat adalah singkatan dari Kolaborasi, Harmoni, Inovatif, Dinamis, Maslahat, Amanah, dan Toleran. Ada pelayanan dalam core-values itu yang mendorong ummat menjadi harmoni, toleran. Ada mimpi dari core-values itu agar mahasiswa dan alumni menjadi inovatif,dinamis, amanah, toleran dan memberikan maslahat bagi ummat dan kemanusiaan. Setelah membaca tentang Alif, saya ingin mahasiswa UIN berkhidmat tulus seperti alif. 
Saya punya mimpi, setelah Khidmat menjadi Corevalues UIN Sunan Gunung Djati Bandung, setiap bulan ada sejumlah mahasiswa dan civitas academica yang tersebar ke segala penjuru. Mungkin hanya 1 jam, namun mereka melakukan pelayanan pada ummat dalam cara-cara sederhana seperti menyeberangkan nenek-nenek di jalan, membacakan cerita pada anak yatim, dan sejenisnya. Saya punya mimpi, kita semua adalah pelayan Tuhan.
 

Prof. Dr. H. Bambang Qomaruzzaman, M.Ag, Guru Besar UIN 'SGD' Bandung dan Ketua Lakpesdam PWNU Jabar