• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Ngalogat

TikTok dan Banser Kurus; Media Sosial sebagai Medan Dakwah NU

TikTok dan Banser Kurus; Media Sosial sebagai Medan Dakwah NU
Logo TikTok
Logo TikTok

Oleh Abdullah Alawi 

Beberapa waktu lalu, saat membuka Facebook, di beranda saya ada seseorang mengemukakan pendapatnya terkait platform media sosial TikTok. Seseorang itu saya ketahui sebagai aktivis badan otonom NU di satu cabang di wilayah Jawa Barat. Namanya cukup dikenal sehingga pendapatnya itu banyak yang mengamini. Menurutnya, seorang laki-laki yang memiliki akun TikTok sama dengan menurunkan harkat dan martabat kelelakiannya. 

Saya memiliki akun TikTok, tapi tidak tersinggung sama sekali dengan ungkapannya itu. Pasalnya, pertama, media sosial itu sudah terinstal di ponsel saya sejak dibeli dua tahun lalu. Jadi, seumur hidup, sejak lahir hingga sekarang, tak pernah saya menginstal TikTok. 

Kedua, entah kenapa saya bukan tersinggung, tapi justru merasa kasihan jika itu jadi pandangan hidup, apalagi bergerak agresif mengkampanyekannya ke internal organisasinya yang kebetulan lelaki semua.

Menurut saya, kalau tidak suka, ya jangan bikin akun. Kalaupun media sosial itu bawaan pabriknya, ya tinggal uninstal, atau tidak digunakan. Mudah, bukan? Dan urusan selesai. Namun, ketika dia mengkampanyekan ketidaksukaannya ke internal organisasi misalnya, mudah-mudahan saja tidak, akan lain ceritanya. 

***

Pada awal-awal menggunakan TikTok, yang saya temukan adalah puluhan lipsing lagu dan berbagai gerakan. Sampai saat ini juga begitu. Penggunanya rata-rata ibu-ibu muda, para STW, dan para remaja putra dan putri. Hmmm.. di situlah barangkali relevansi pendapat status Facebook pengurus salah satu banom NU itu. Padahal laki-laki juga tidak sedikit. 

Memang, bisa dikatakan TikTok adalah samudera lipsing dengan macam joget-joget. Ya begitu-begitu saja. Namun, karena di situ tempat berkumpul banyak orang, kreativitas berbagai bakat muncul dan konon ada uang serta popularitas yang bisa ditanggok di situ. Tak sedikit, karena videonya viral, anak yang mulanya tak dikenal sama sekali menjadi buah bibir, diundang stasiun televisi, hingga mendapat pengikut yang melampaui artis besar. Karena tempat berkumpul orang banyak, makanya, ada iklan, publik figur, dan segala macam.

Dan belakangan, kantor media terkenal pun memiliki akun di situ, mulai Tempo, Kompas, Republika, dan jaringan Jawa Pos di berbagai kota. Belakangan NU Channel juga punya. Dan kini NU Online Jabar juga punya. Silakan di-follow ya, sembari nonton goyang Guar Budaya: 

Suatu ketika, saya pernah bertemu dengan video Banser yang terlempar ke beranda TikTok saya. Banser itu seorang remaja kurus tengah mengancingkan baju Banser ke tubuhnya. Tak ada yang lain dilakukannya, hanya lipsing sebuah lagu sambil mengancingkan tanpa melihatnya. Saya perhatikan di caption atau di videonya tak ada tulisan menghujat koruptor, memaki penceramah sebelah, atau nyinyir demo-demo orang berjubah. Tidak. 

Namun masyaallah, ketika saya lari ke bagian komentar, Banser kurus itu dikeroyok ratusan akun dengan berbagai kalimat bernada hinaan dan menyepelekan. Pokoknya, jika ada warga planet Mars, kemudian membaca komentar-komentar video itu, maka niscaya akan menyimpulkan bahwa Banser itu adalah monster dari planet lain, musuh bersama, dan tak memiliki kebaikan sedikit pun.

Warga dari planet Mars itu bisa saja remaja-remaja yang tidak pernah mendengar Banser sama sekali dari orang tua dan tetangganya. Jika dia membaca komentar-komentar itu, maka akan tercatat dalam ingatannya, Banser sedemikian jeleknya di mata banyak orang. Jika di kemudian hari tidak memiliki teman Banser, maka potensi ketidaksukaannya kepada Banser akan melekat dalam dirinya. Mending kalau dia sendirian, bagaimana kalau dia membangun sebuah serikat bawah tanah Front Pembenci Banser? Sebetulnya tidak apa-apa juga sebab Banser sudah memiliki pengalaman dalam berbagai situasi dan selalu mampu menghadapinya.

Saya kemudian men-scroll orang-orang yang berkomentar di video Banser kurus itu sampai akhir. Tak ada satu pun akun lain yang membela Banser kurus itu. Namun, alhamdulillah, ia dengan sabar dan santun membalas komentar itu satu per satu dengan cara berkelas. Artinya, tidak terbawa emosi, melainkan meluruskan pandangan-pandangan senewen dari keroyokan komentar. 

Saya jadi berpikir, Banser yang tidak melakukan apa-apa saja, di TikTok dikeroyok begitu rupa. Apalagi kalau nyinyirin penceramah sebelah. Berbeda situasinya dengan di YouTube, Instagram, apalagi Facebook, jika ada yang menghina Banser, saya tinggal tidur saja karena saat bangun, ada akun lain yang membelanya.  

Beberapa bulan kemudian, saya tengok lagi akun Banser kurus itu. Dia ternyata tetap tegar masih membagikan video tentang Banser dan kalau ada yang menghinanya, dia balas dengan cara sederhana, santun, dan sabar. Artinya, tidak kapok dan lantas gantung akun. 

Dari situ, saya justru perlu menjura kepada Banser kurus itu dibanding seseorang yang memiliki pandangan demikian, seorang laki-laki yang memiliki akun TikTok sama dengan menurunkan harkat dan martabat kelelakiannya. Karena justru yang menghina Banser di video itu, dari namanya, semuanya adalah laki-laki.  

Kalau tak ingin berjuang di media sosial, tak perlulah melemahkan kawan-kawannya yang lain yang barangkali berminat di situ. 

***

Bupati Kabupaten Cirebon Pak Imron menyumbangkan satu kamera berharga belasan juta kepada Media Center PWNU Jawa Barat beberapa waktu lalu. Bukan harganya yang paling penting, tapi pesannya. Masih tertanam dalam ingatan saya ucapannya saat menyerahkan kamera itu. 

“Kamera ini adalah alat jihad NU hari ini,” katanya singkat. 

Dari kalimatnya itu, saya mencatat, dia tidak punya waktu banyak untuk memotret kegiatan-kegiatan NU lalu membagikannya di TikTok. Namun, ia membekali Media Center PWNU Jawa barat untuk melakukan tugasnya di media sosial. Ia yang masa mudanya pernah nyantri di Babakan Ciwaringin ini paham betul, kalau tidak bisa membantu dengan tenaga, dan pikiran, maka dengan hartanya. 

Bagi saya, apa yang dilakukannya itu, senada dengan apa yang pernah disampaikan Melani Budianta dari Universitas Indonesia saat diundang diskusi di PBNU. Ia waktu sempat menyinggung peran media sosial. Kalimat utuh dan persisnya saya sudah lupa. Namun, intinya, media sosial itu tak bisa “dilawan”, justru NU harus menjadi bagiannya. 

Di waktu lain, Seno Gumira Ajidarma dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ), selepas menjadi pembicara di PBNU mengatakan, tugas NU di media sosial adalah membersihkan paham-paham keagamaan yang justru mencederai Islam. Dan ia yakin NU bisa melakukannya karena memiliki otoritas keagamaan yang mumpuni. 

Saya menangkap pesan penulis Naga Bumi ini, otoritas keagamaan hari ini tidak akan berarti apa-apa tanpa mampu membaca situasi yang terus berubah dengan cepat ini. Butuh strategi yang matang yang dikerjakan secara bersama dan dilakukan secara berkelanjutan melalui segala medan. Tanpa itu, otoritas keagamaan akan dikalahkan organisasi kemarin sore dan orang-orang yang diustadzkan beberapa gelintir orang hanya karena mengutip satu dua ayat. 

Jika menengok sejarah, yang begitu akrab disampaikan kepada warga NU, Wali Songo sukses mengislamkan Jawa karena mereka mampu membaca situasi sehingga mampu menggunakan cara tepat untuk menyampaikan dakwahnya. Saat itu, media sosial yang lagi naik daun adalah wayang, maka media itulah yang digunakan. 

Nah, mari belajar dari situ. Marilah berjamaah membantu akun-akun NU dengan menyebarluaskannya. Selemah-lemahnya membantu adalah dengan mem-follow atau me-like-nya di Instagram: NU Online Jabar, Facebook, NU Jabar Online, Twitter: @nujabar_online, YouTube: NU Jabar Channel, dan TikTok: nujabaronline.

Penulis adalah warga NU, pengguna akun TikTok


Ngalogat Terbaru