• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 23 April 2024

Ngalogat

Mengenang Santri yang Jadi Guru Besar

Mengenang Santri yang Jadi Guru Besar
Prof Ibrahim Hosen. (Foto: Istimewa)
Prof Ibrahim Hosen. (Foto: Istimewa)

Ibrahim, nama santri itu. Lahir tahun 1917 di Bengkulu. Ayahnya adalah Kiai Hosen yang mengajar dan berceramah di berbagai majelis ta’lim, dan merupakan murid dari Sutan Mohammad Zahab atau dikenal sebagai Tuan Kali Tuo (beliau kakek dari Prof Sutan Takdir Alisjahbana). 


Dari jalur bapaknya, Ibrahim keturunan Daeng Talatta dari Wajo, Sulawesi Selatan. Di Wajo pula terdapat makam ulama besar leluhur Wali Songo, Syekh Jamaluddin al-Kubra. Gus Dur pernah secara khusus ziarah ke makam ini. 


Dari jalur ibunya, Ibrahim merupakan keturunan Sunan Gunung Jati lewat Sultan Ageng Tirtayasa. Salah satu putri Sultan bernama Putri Kemayan menikah dengan Raja Natadirja dari kerajaan Salebar di Bengkulu. Ibunya Ibrahim merupakan keturunan kerajaan ini. 


Ibrahim memulai ngaji dengan ayahnya. Setelah sebentar sekolah di Singapore, keluarga ayahnya pindah ke Lampung. Ibrahim meneruskan ngaji dengan KH Nawawi Umar, yang 12 tahun sebelumnya mukim dan mengajar di Mekkah. 


Saat berusia sekitar 17 tahun, Ibrahim mengembara ke pulau Jawa. Pertama, dia belajar dengan KH Abdul Latif (Pesantren Cibeber di Cilegon, Banten). Setelah itu ke Pesantren Lontar, di Serang, ngaji dengan KH TB Sholeh Ma’mun, ahli qiraat. Bekal mondok di sinilah kelak yang membawa Ibrahim mendirikan Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran (PTIQ) dan Institut Ilmu al-Quran (IIQ) Jakarta. 


Saat di Lontar, Ibrahim mendengar kehebatan seorang Kiai di Cirebon. Maka bergeraklah beliau ke Buntet mengaji khusus dengan Kiai Abbas, sebagai santri kesayangannya. Setelah itu Kiai Abbas menyarankan Ibrahim melanjutkan nyantri ke Solo dan Sukabumi.


Di Solo, Ibrahim belajar dengan Habib Ahmad Assegaf dan Habib Muhsin Assegaf. Kemudian, ke Sukabumi belajar di Pesantren Gunung Puyuh dengan Kiai Sanusi. 
Semua pengembaraan di tanah Jawa ini dilakukan hanya dalam tempo 12 bulan. Akselerasi yang luar biasa. 


Setelah pulang dan mengajar di Bengkulu, kelak Ibrahim melanjutkan pendidikan formalnya ke Universitas al-Azhar, Mesir. 


Semua bekal pendidikan di atas menjadi bekalnya ketika menjadi Rektor pertama IAIN Palembang, PTIQ dan IIQ. Sebagai profesor hukum Islam di 7 universitas, Ibrahim juga menjadi ketua MUI/komisi fatwa selama 20 tahun (1980-2000). 


Fatwa-fatwanya sering kontroversial pada saat itu. Banyak fitnah dan caci maki yang menimpa beliau. Namun beliau merespon dengan karya dan pengabdian. Beliau terkenal progresif dan mendorong terjadinya pembaruan hukum Islam. Lewat program pendidikan kader ulama, banyak kiai nusantara yang pernah ngaji dengannya, termasuk Kiai Muhyidin Abdussamad Jember dan Kiai Ubaidilah Shodaqoh (Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah). 


Kata Kiai Muhyidin, “saat ngaji dulu dengan beliau di Jakarta, kami spontan sering beristighfar dan baca syahadat lagi karena kajiannya tak terjangkau untuk para santri tradisional pada masa itu.” 


Telah lahir banyak kajian disertasi, tesis dan skripsi yang membahas metode maupun pemikiran beliau. Prof KH Ibrahim Hosen wafat pada 21 Sya’ban 1422H bertepatan dengan 7 November 2001. Haul ke-22 beliau akan diadakan pada hari Minggu 12 Maret 2023 di Pesantren Takhasus IIQ.  Al fatihah 🙏


Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCINU Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School


Ngalogat Terbaru