• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Ngalogat

Insyaf Ya'kul Khinzir Sampai JAWAA Haqqu Kiai, Perlawanan Dengan Humor ala Para Kiai NU

Insyaf Ya'kul Khinzir Sampai JAWAA Haqqu Kiai, Perlawanan Dengan Humor ala Para Kiai NU
KH Wahab Hasbullah, KH Wahid Hayim, dan KH Saifuddin Zuhri (NU Online Jabar/Ilustrasi: MedCen NU Jabar)
KH Wahab Hasbullah, KH Wahid Hayim, dan KH Saifuddin Zuhri (NU Online Jabar/Ilustrasi: MedCen NU Jabar)

Oleh: Muhyiddin

Jangan pernah menyepelekan humor para kiai NU. Tentang kesaktian humor kiai-kiai NU ini, tidak hanya Gus Dur yang menguasainya sebagaimana sudah banyak ditulis, dibukukan, ditafsirkan, dan diviralkan di mana-mana. Pada masa perjuangan merebut kemerdekaan, humor bukan sekedar sarana tertawa dan menghibur diri tetapi juga sarana perlawanan.

Seperti direkam oleh KH Saifuddin Zuhri dalam buku Berangkat Dari Pesantren, bagaimana humor KH Wahid Hasyim dan KH Wahab Hasbullah mencairkan kegundahan KH Saifuddin Zuhri sekaligus membuat obrolan (yang mestinya) serius seputar strategi perlawanan menjadi hal yang ringan tanpa kehilangan isi.

Berikut dikutip apa adanya dari buku tersebut di bawah sub bab Penjajahan Jepang, Derita Mengawali Kemerdekaan, halaman 272-273.

“Logika orang-orang Nippo itu kadang-kadang kita rasakan aneh. Sebab itu seringkali kita tidak mudah memahami cara berpikir mereka.”

“Pernah suatu ketika seorang pembesar Nippon mengundang makan malam. Pada waktu menanyakan apakah saya menyukai makanan ala Barat, Saya katakan: asal jangan daging babi. Si Nippon itu keheran-heranan, mengapa tak mau daging babi? Saya jawab: agama saya melarangnya. Lalu orang Nippon itu bercerita, dulu orang Manchukuo (Manchuria) juga tidak suka makan babi. Tetapi setelah mereka insyaf mereka suka makan babi. Nanti kalau orang-orang Islam telah insyaf mereka pun bakal menggemari daging babi, katanya.” Terdengar suara astaghfirullah!

“Saya suka geli dibuatnya,” Kiai Wahid Hasyim meneruskan ceritanya. “Hingga sekarang, kalau saya mendengar orang mengucapkan ‘insyaf’ saya jadi ingat pembesar Nippon itu.

“Makanya saya heran, beberapa hari ini, tiap kali saya mengucapkan kata insyaf, Gus Wahid menimpali dengan: Ya’kul khinzir,” kataku begitu saja.

“Iya, habis seperti diceritakan si Nippon itu, setelah orang Manchuria menjadi insyaf, mereka kan lalu ya’kul khinzir…” kata Kiai Wahid Hasyim yang diikuti gelak tawa semua orang yang hadir.

“Kabarnya PUTERA akan dibubarkan. Apakah Nippon bermaksud akan menjadikan Masyumi satu-satunya wadah perjuangan buat bangsa Indonesia!” pertanyaanku pada semua.

“Tidak! Sukar bagi Nippon untuk hanya membuat satu wadah. Faktor-faktor objektif yang ada pada golongan Islam dan Nasionalis (non Islam plus golongan sekuler) tak bisa dibantah. Itu sudah ada sejak zaman Majapahit Demak,” KH Wahid Hasyim menjawab pertanyaanku. “Saya berhasil mengorek informasi dari berbagai sumber yang sangat boleh dipercaya, bahwa pada kwartal pertama 1944 (jika dapat pada awal Maret) akan berdiri sebuah badan pengganti PUTERA yang akan diberi nama JAWA Hookoo Kai (Kebaktian Rakyat Jawa).”

“JAWA Hookoo Kai itu bakal jadi JAWA Haqqu Kiai,” interupsi Kiai Abdul Wahab Hasbullah meledakkan gelak serentak.

KH Wahid Hasyim tidak marah dengan Nippon hanya gara-gara insyaf lalu ya’kul khinzir tetapi justru, dalam bahasanya menjadi geli, menjadikannya satire sebagai bagian dari energi perjuangan.

Pun demikian dengan KH Wahab Hasbullah yang dengan enteng memplesetkan JAWA Hookoo Kai menjadi JAWA Haqqu Kiai. Plesetan yang bermakna dan punya konsekwensi terhadap strategi perjuangan bahwa lobby dan negosiasi tidak bisa dilakukan dengan cara berhadap-hadapan tetapi harus masuk ke dalam sistem untuk mempengaruhi kebijakan yang lebih luas.

Di luar itu plesetan tersebut menjadi semacam ramalan, hingga sampai saat ini Jawa, selalu menjadi milik para Kiai, dalam artian Jawa, dan lebih luas Indonesia, akan selalu dijaga oleh para Kiai sebagai paku bumi, sebagai penerang dan pemandu umat.

Penulis adalah Sekretaris Redaksi jabar.nu.or.id / NU Jabar Social Media
 


Editor:

Ngalogat Terbaru