• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Rabu, 17 April 2024

Ngalogat

Ekspresi Cinta Tanah Air

Ekspresi Cinta Tanah Air
Ekspresi Cinta Tanah Air. (Foto: NUJO/Nasihin)
Ekspresi Cinta Tanah Air. (Foto: NUJO/Nasihin)

Negara ini, Republik Indonesia, bukan milik kelompok manapun, juga agama, atau kelompok etnis manapun, atau kelompok dengan adat dan tradisi apa pun, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!” (Ir. Soekarno).


KH Wahab Hasbullah (almaghfurlah) pada 1914 menciptakan mars Shubbanul Wathon yang salah satu baitnya berbunyi “Hubbul Wathon minal Imaan” atau cinta tanah air (patriotisme) bagian dari keimanan. Kalimat itu bukan hadis, tetapi pendapat ulama yang sudah mashur bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negara lain.


Kalimat itu merujuk pada hadits Nabi (dari Sayidatina A’isyah radliyaallahuanha) yang berbunyi;
 

اللهم حبب الينا المدينة كحبنا مكة او اشد


(Ya Allah semoga Engkau menjadikan kami menyintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah (tanah kelahiran) atau bahkan lebih besar lagi cinta tersebut).(As'ad Said Ali)


Mencintai tanah air merupakan ajaran Rasulullah Muhammad ﷺ : Rasulullah ﷺ mencintai Makkah dan Madinah karena dua tempat mulia tersebut merupakan tanah air beliau. Mencintai tanah air adalah bagian dari iman karena tanah air merupakan sarana primer untuk melaksanakan perintah agama. Tanpa tanah air, seseorang akan menjadi tunawisma. Tanpa tanah air, agama seseorang kurang sempurna, dan tanpa tanah air, seseorang akan menjadi terhina. (Prof.Dr.H.Asasriwarni)


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti tanah air adalah negeri tempat kelahiran. Dalam buku Merajut Kembali ke Indonesiaan Kita (2007) oleh Sultan Hamengku Buwono X, cinta tanah air adalah cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan terhadap bangsa.


Seperti sikap terhadap bahasa, lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Cinta tanah air juga sebagai perilaku untuk mencintai wilayah nasional sebuah bangsa, sehingga harus selalu siap membela tanah air Indonesia terhadap segala bentuk intervensi maupun tantangan dari siapa pun.


Kiai Said Aqil Siroj dalam Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara (2015) sempat mengutip adagium bangsa Arab yang berbunyi:


“Man laisa lau ardlun laisa lahu tārikh wa man laisa lahu tārikh laisa lahu dzākirah"

(Barangsiapa tak punya tanah air, ia tak punya sejarah. Dan barangsiapa tak punya sejarah, ia akan musnah dan dilupakan)."


Dalam sebuah riwayat yang lain diceritakan tentang kecintaan Rasulullah ﷺ kepada negerinya : seorang sahabat bernama Ashil Al-Ghifari suatu hari baru pulang dari Makkah. Setelah melakukan perjalanan jauh, ia tidak segera pulang ke rumahnya di Madinah, ia justru terlebih dahulu sowan kepada Rasulullah ﷺ. Sampai di rumah Rasul, ia disambut oleh Sayyidah Asiyah istri Rasulullah.


"Ceritakan kepadaku wahai Ashil, bagaimana kondisi Makkah saat ini?" tanya Aisyah.


“Aku menyaksikan betapa Makkah sekarang sudah sangat subur serta bening aliran sungainya," jawab Ashil.


Rasulullah ﷺ yang masih berada di dalam kamar segera menimpali percakapan mereka.


“Coba ulangi, Ashil. Bagaimana kondisi Makkah terkini?"


“Demi Allah ya Rasulullah, Makkah tumbuh subur dengan tanaman-tanamannya, serta tampak hijau dan sejuk dengan aliran sungainya"


Mendengar jawaban itu, Rasulullah ﷺ menatap jauh ke luar rumah. Sebuah tatapan kerinduan akan kampung halaman.


“Cukup, jangan membuatku tambah bersedih," ucap Rasul.


Cerita ini ditulis oleh Abil Wālid Muhammad bin Abdullah Al-Arzāqi dalam Ahbāru Makkah wa mā Jā’a fihā minal Ātsār. Ia hendak menjelaskan betapa Rasulullah ﷺ dirundung rasa rindu yang teramat sangat kepada tanah kelahirannya.


Peristiwa ini kelak menjadi salah satu argumen para ulama betapa kecintaan terhadap tanah air dan tempat asal bukan saja perlu, bahkan wajib.


Di akhir tulisan ini, saya ingin mengutip tulisan sahabat saya Abdulah Alawi yang di muat NU Online, orasi kebudayaan oleh Penyair D. Zawawi Imron saat refleksi kebangsaan di gedung PBNU dalam rangka memperingati hari kemerdekaan ke-66.


“Gunung biru berselendang awan, hamparan padi menguning laksana permadani, di atasnya burung-burung kecil menyanyikan keagungan Tuhan, di laut buih-buih berkejaran, dan di tepi laut itu nyiur yang melambai-lambai mengucapkan selamat datang kepada nelayan untuk membawa kekayaan dari laut,”


Kita minum air Indonesia, kemudian jadi darah kita 
Kita makan buah-buahan dan beras Indonesia, kemudian jadi daging kita 
Kita menghirup udara Indonesia, menjadi nafas kita 
Kita bersujud di bumi Indonesia, bumi Indonesia adalah sajadah kita
Siapa mencintainya jangan mencipratinya dengan darah 
Dan bila saatnya kita mati, kita tidur dalam pelukan bumi Indonesia 


Nasihin, Penikmat Sastra dan kegiatan alam bebas


Ngalogat Terbaru