• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Ngalogat

Akhir Puasa dan Sifat Moratorium Konsumerisme

Akhir Puasa dan Sifat Moratorium Konsumerisme
Akhir Puasa dan Sifat Moratorium Konsumerisme. (Ilustrasi/istimewa)
Akhir Puasa dan Sifat Moratorium Konsumerisme. (Ilustrasi/istimewa)

Memasuki 10 hari terakhir di Ramadhan 1444 H, umat Islam kembali menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh pada siang hari, dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Disebutkan, puasa dimaksudkan untuk menjadikan pelakunya sebagai orang bertakwa (QS al-Baqarah : 183); saleh individual dan saleh sosial sekaligus. 


Secara bahasa, “puasa” artinya menahan diri. Dalam istilah agama, puasa artinya menahan diri dari makan dan minum dalam rentang waktu tertentu sebagai perwujudan dari kebaktian dan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah. Secara lahiriah, puasa berarti menahan dan menekan diri dari hasrat dasar atau biologis manusia: makan dan minum. Secara batiniah, puasa berarti menahan diri dari hasrat-hasrat atau keinginan-keinginan buruk demi mengharap keridaan Allah. 


Inilah yang disebut Imam al-Ghazali dalam mahakaryanya, Ihya Ulumuddin, sebagai puasa level paling tinggi (khusush al-khushush). Khususnya di 10 hari terakhir ini Nabi SAW lebih bersemangat untuk beribadah ketika memasuki 10 hari terakhir Ramadhan dalam rangka mencari lailatul qadar. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,


كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ اَلْعَشْرُ أَيْ: اَلْعَشْرُ اَلْأَخِيرُ مِنْ رَمَضَانَ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ, وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika memasuki 10 Ramadhan terakhir, beliau kencangkan ikat pinggang (bersungguh-sungguh dalam ibadah), menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah.” (HR. Al-Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174)    


Adapun puasa lahiriah disebutnya sebagai puasa level pertama. Sekadar menahan diri dari makan dan minum atau kebutuhan biologis. Orang berpuasa sesungguhnya didorong lebih daripada itu. Tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dan menekan budaya konsumerisme. Dengan itu, ia didorong untuk lebih banyak beramal, tidak hanya amal individual tetapi juga sosial. 


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsumerisme diartikan sebagai paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya; gaya hidup yang tidak hemat. Artinya, membeli bukan untuk kebutuhan melainkan untuk gaya hidup (life style), kemewahan, kebanggaan, atau menunjukkan status sosial. 


Di media televisi, sepanjang bulan Ramadan, penuh dengan jejalan iklan-iklan produk konsumtif. Masyarakat secara massif terus-menerus digempur oleh iklan-iklan yang membius, sehingga terbuai dan kehilangan kesadaran akan hakikat dari kebutuhan.


Mengutip pandangan Abraham Maslow, manusia memiliki kebutuhan yang bertingkat-tingkat. Yang paling mendasar adalah kebutuhan fisik. Selanjutnya, kebutuhan memperoleh rasa aman, kebutuhan sosialisasi, kebutuhan pengakuan, dan kebutuhan aktualisasi diri. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, manusia akan mengusahakannya dengan kegiatan konsumsi. 


Dalam masyarakat modern, ungkap Jean Baudrillard (1970), konsumen telah membawa manipulasi aktif dari tanda (active manipulation of the sign), sehingga tanda dan komoditas yang datang bersama-sama dalam produksi tanda komoditas (sign-commodity). Konsep dan kemasan iklan dalam kenyataannya sangat akrab dengan manipulasi aktif dari tanda tersebut sehingga pengaruh iklan sebagai kekuatan manipulatif dan hegemonik dalam kehidupan secara dramatis semakin merajalela. Iklan, dengan demikian, telah menciptakan kesadaran palsu dan memusnahkan kesadaran sejati.


Kebutuhan Palsu

Dalam bahasa Vance Packard, iklan menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu (false needs) yang bertemu dalam suatu cara yang tidak memuaskan secara fundamental dengan konsumsi yang mencolok mata yang dipercaya bahwa kesejahteraan dan kedamaian pikiran itu didapatkan dari belanja pelbagai komoditas. Inilah iklan yang bisa membuai dan menciptakan hyper-reality. Dengan adanya iklan-iklan tadi, terjadi paradoks yang kentara.     


Pada satu sisi, melalui puasa orang diimbau untuk “menahan” dan “menekan”, pada kenyataannya iklan-iklan produk justru makin digelontorkan. Mal-mal dan pusat-pusat belanja penuh padat pengunjung. Apalagi menjelang sore hari saat akan berbuka puasa. Sebagian mal atau tempat belanja menyuguhkan hidangan ringan untuk berbuka puasa kepada pengunjung. 


Ini semakin meningkatkan gairah masyarakat untuk datang dan memilih berbuka di tempat-tempat itu daripada di tempat-tempat ibadah atau di rumah sendiri bersama keluarga. Bahkan, saat ini, berbuka di mal-mal atau tempat-tempat belanja menjadi semacam gaya hidup. Ibarat pepatah “sambil menyelam minum air”, sembari menunggu berbuka puasa, jalan-jalan sambil melihat-lihat barang; tentu bukan sekadar melihat, melainkan pada akhirnya membeli, mengonsumsi. 


Bagi masyarakat perkotaan, terutama kelas menengah ke atas, berbuka di tempat-tempat itu kelihatannya lebih menarik dan lebih prestisius dibandingkan dengan berbuka di tempat-tempat ibadah atau di panti-panti sosial seperti rumah-rumah anak yatim dan sejenisnya. Budaya konsumerisme meningkat di awal-awal dan hari-hari terakhir bulan Ramadan. Toko-toko baju dan makanan ramai didatangi pengunjung. 


Sementara puasa mendorong untuk lebih giat beribadah, baik itu ibadah ritual maupun sosial, terutama di hari-hari terakhir bulan Ramadan. Puasa mendorong orang untuk berlama-lama di tempat ibadah dan makin intensif melakukan kegiatan-kegiatan sosial, membantu orang-orang yang kesulitan secara ekonomi.


Puasa juga menganjurkan untuk banyak-banyak mendekat dengan orang-orang yang susah agar rasa empatinya muncul lalu tergerak membantu. Konsumerisme yang justru meningkat pesat di bulan Ramadan menggambarkan betapa puasa tampaknya acap kali kehilangan maknanya. Ramadan telah dikapitalisasi sedemikian rupa untuk menjauhkan setidaknya melenakan masyarakat dari pesan-pesan substansial yang diajarkan agama melalui puasa: kesederhanaan, empati, kepekaan sosial, keluhuran budi, kemanusiaan dan spiritualitas. 


Masyarakat digiring untuk menjauhi atau tidak memedulikan itu semua kemudian tenggelam dalam ingar-bingar suasana Ramadan yang telah dikapitalisasi dan disulap demi menarik lebih kuat lagi budaya konsumerisme. Nabi pernah mengingatkan,


 كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْع وَالْعَطْش 


Artinya, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga” (HR An-Nasa’i).

Meluruskan Makna

    Retno Widiastutui mengutip Peter Salim (1996), memaknai konsumerisme (consumerism) sebagai cara melindungi publik dengan memberitahukan kepada mereka tentang barang-barang yang berkualitas buruk, tidak aman dipakai dan sebagainya. Sebaliknya arti kata konsumtif (consumtive) adalah boros.


Pada khazanah gerakan sosial, aktivis gerakan konsumen dunia, Anwar Fasal (Retno Widiastuti, 2003), mengemukakan bahwa arti kata konsumerisme adalah gerakan konsumen (consumer movement), yaitu gerakan perlindungan konsumen yang mempertanyakan kembali dampak-dampak aktivitas pasar bagi konsumen (akhir), yaitu konsumen yang langsung mengonsumsi barang/jasa dan tidak memperjualbelikannya kembali. Dalam arti yang lebih luas gerakan konsumen sekarang ini adalah untuk memperjuangkan kedudukan yang seimbang antara konsumen, pelaku usaha, dan negara.


Gerakan ini tidak hanya mencakup isu kehidupan sehari-hari (harga naik atau kualitas buruk), tetapi juga hak asasi sebagai konsumen dan dampak pembangunan itu bagi konsumen. Nah, orang yang bekerja atau aktif memperjuangkan gerakan konsumen disebut consumerists.


Adapun makna kata konsumtif adalah sebuah perilaku yang boros, yang mengonsumsi barang atau jasa secara berlebihan. Secara lebih luas konsumtif adalah perilaku berkonsumsi yang boros dan berlebihan, yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak ada skala prioritas. Juga, dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah. Di dalam pemakaian bahasa, kata boros sering dikonotasikan dengan konsumtivisne. Kemudian, terjadi pemaknaan yang berlawanan antara boros dan sederhana sebagai sifat consumers. Istilah untuk pemborosan dikenal “konsumtivisme” yang dilawankan dengan “konsumerisme”, yaitu gerakan konsumen akibat perilaku pelaku usaha yang tidak jujur (fair).


Akibatnya, muncul tendensi yang ada dalam diri manusia untuk selalu tak pernah puas (never-ending-discontentment) ”mau ini-mau itu” dengan hal-hal yang telah mereka miliki. Ditambah pula dengan dorongan kuat ambisi pribadi dan semangat kompetisi untuk mencapai sesuatu yang lebih daripada tetangga sebelah. Konsumtivisme juga turut mengikis daya fikir manusia. Orang terus dijejali iklan dan disuruh mengonsumsi suatu barang yang tentu saja tidak gratis -tanpa harus tahu-, sebenarnya untuk apa ia menggunakan atau memanfaatkan barang atau jasa tersebut. Konsumtivisme adalah budaya belanja, menghabiskan sejumlah uang untuk barang-barang yang bukan kebutuhan primer.


Nyanyang, S.H, Guru PAI SMPN 2 Kadungora-Garut


Ngalogat Terbaru