Nasional

Kemenag Gelar Mudzakarah, Bahas Isu-Isu Krusial Penyelenggaraan Haji 2025

Jumat, 8 November 2024 | 14:00 WIB

Kemenag Gelar Mudzakarah, Bahas Isu-Isu Krusial Penyelenggaraan Haji 2025

Mudzakarah Perhajian. (Ilustrasi: Kemenag)

Bandung, NU Online Jabar
Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia tengah menyelenggarakan Mudzakarah Penghajian Indonesia, yang mana dalam forum ini membahas mengenai isu-isu krusial yang akan menjadi dasar kebijakan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1446 H / 2025 M.


Dilansir dari laman resmi Kemenag, forum ini digelar selama tiga hari, 7 - 9 November 2024, di Institut Agama Islam (IAI) Persis Bandung.


“Ini juga dalam rangka harmonisasi seluruh ormas Islam di mana pada tahun-tahun sebelumnya Mudzakarah Perhajian ini juga pernah diadakan di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah Situbondo milik Nahdlatul Ulama serta di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,” kata Direktur Bina Haji pada Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) Kementerian Agama Arsad Hidayat saat menghadiri Rapat Koordinasi, Sinkronisasi dan Pengendalian (KSP) Persiapan Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1446 H/2025 M di Jakarta, Selasa (5/11/2024)


Menurut Arsad salah satu isu penting yang dibahas dalam agenda Mudzakarah adalah terkait hukum penggunaan nilai manfaat dalam penyelenggaraan ibadah haji. Hal ini menyusul adanya hasil ijtima’ ulama MUI pada Mei 2024 yang melarang penggunaan hasil investasi setoran awal biaya haji (Bipih) calon jemaah untuk membiayai jemaah lain. Pemanfaatan dana semacam itu disebut mengurangi hak calon jemaah.


“Ini kalau betul diimplementasikan, banyak konsekuensinya. Yang paling jelas itu adalah kenaikan biaya Bipih atau Biaya Perjalanan Ibadah Haji akan dibayarkan oleh setiap jemaah,” imbuh Arsad.


Ia menambahkan pihaknya sudah berkomunikasi dengan beberapa elemen masyarakat, di antaranya Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) dan juga beberapa ormas besar Islam di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah.


“Mereka umumnya menolak dengan ide gagasan tersebut. NU jelas-jelas mengatakan bahwa penggunaan nilai manfaat daripada dana haji untuk penyelenggaraan ibadah haji itu diperbolehkan, salah satu argumentasinya adalah akad yang digunakan ketika jemaah menyetorkan dana haji itu bukan akad wadiah atau menyimpan uang, tapi akad wakalah mutlaqah,” terang Arsad.


Akad wakalah mutlaqah, artinya mewakilkan secara seluruhnya secara mutlak. Dengan kata lain, sambung Arsad, ketika jemaah melakukan setoran awal untuk mendaftar haji, mereka hanya menyimpan dana untuk dapat nomor porsi.


“Terkait dengan dana tersebut mau diinvestasikan, mau dimanfaatkan supaya mendapatkan nilai manfaat yang banyak, termasuk juga sisi kemanfaatannya akan dipergunakan dengan pola apa, itu menjadi kewenangannya al-wakil atau orang yang diberikan wakalah,” jelasnya.


Isu lainnya yang dibahas adalah mengenai kepadatan jamaah haji di mina. Arsad mengatakan saat ini Kementerian Agama tengah berupaya untuk membangun pemahaman jemaah haji Indonesia yang meyakini bahwa tinggal di Mina hukumnya wajib.


"Saya kira juga tidak mudah untuk mengubah mindset jemaah yang selama ini mengatakan wajib, tapi setelah kita diskusi dengan para ulama, ternyata ada beberapa madzhab fikih yang mengatakan bahwa mabit di Mina itu bukan wajib ya, sebenarnya boleh saja, artinya ketika mereka mabit di Mina itu mendapatkan keutamaan dan ketika mereka meninggalkan itu tidak masalah,” pungkas Arsad.


Selain itu, forum Mudzakarah juga menyoroti isu pemanfaatan atau pemotongan hewan Dam di Arab Saudi serta skema distribusinya di Tanah Air.


"Upaya ini sebenarnya sudah kita lakukan dari tahun lalu, bagaimana memanfaatkan daging Dam melalui pemotongan di Tanah Suci kemudian dikirim ke Tanah Air lalu didistribusikan kepada orang-orang yang membutuhkan, cuma di dalam perjalanannya emang ternyata tidak mudah. Saya kira ini juga menjadi PR kita kedepan untuk mengharmonisasikan regulasi antara Kementerian Agama dengan instansi lain,” tandas Arsad.