Kota Bandung

LPBINU Kota Bandung Hadir di Acara Bandung Lautan Damai 2024

Jumat, 20 Desember 2024 | 17:46 WIB

LPBINU Kota Bandung Hadir di Acara Bandung Lautan Damai 2024

Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU) Kota Bandung turut berpartisipasi dalam acara Bandung Lautan Damai (Balas) 2024 yang membahas tema bencana dari perspektif lintas iman. (Foto: NU Online Jabar)

Kota Bandung, NU Online Jabar
Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU) Kota Bandung turut berpartisipasi dalam acara Bandung Lautan Damai (BALAD) 2024 yang membahas tema bencana dari perspektif lintas iman. Acara ini berlangsung pada Selasa, 17 Desember 2024, di Pasewakan Penghayat Kepercayaan, Cikole Lembang.


Acara tersebut digagas oleh Jakatarub (Jaringan Komunikasi Antar Umat Beragama) dan menghadirkan Arief Agus Trisaksana dari LPBINU Kota Bandung sebagai salah satu narasumber. Kegiatan ini dihadiri oleh panitia, mahasiswa International Woman University jurusan Hubungan Internasional, komunitas lintas agama, dan masyarakat sekitar, termasuk banyak penganut kepercayaan lokal.


Sebelum memulai sesi diskusi, Arief Agus Trisaksana mengajak para peserta melakukan meditasi singkat dengan teknik olah napas. Menurutnya, meditasi ini bertujuan menyelaraskan jiwa dan pikiran dengan alam semesta sehingga tercipta persenyawaan batin.


“Udara yang kita hirup setiap saat adalah bentuk kasih sayang Tuhan yang harus disyukuri. Kata ‘saudara’ berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti ‘satu udara.’ Setiap manusia, apapun agama, keyakinan, etnis, maupun profesinya, bernafas dalam satu udara yang sama. Maka, pada hakikatnya, semua manusia adalah saudara,” ujar Arief.


Ia juga menegaskan bahwa Tuhan memberikan udara secara adil kepada semua manusia tanpa diskriminasi, sehingga manusia juga tidak boleh bersikap diskriminatif kepada sesama.


Diskusi dimulai dengan pemaparan materi tentang jenis bencana, siklus bencana, dan teori terkait. Arief menjelaskan bahwa bencana dapat dikategorikan menjadi tiga jenis:

  1. Bencana alam, seperti gunung meletus, banjir, longsor, dan gempa bumi.

  2. Bencana non-alam, seperti pandemi.

  3. Bencana sosial, seperti konflik antar masyarakat.


Dalam sesi tanya jawab, warga setempat mengungkapkan bahwa daerah Cikole menghadapi berbagai potensi bencana alam, termasuk longsor, banjir, erupsi Gunung Tangkuban Perahu, serta gempa bumi akibat patahan Lembang. Selain itu, mereka juga mulai merasakan gejala krisis air saat musim kemarau.


Menurut Kang Fajar dan Kang Indra, pengurus Jakatarub sekaligus warga setempat, krisis air ini disebabkan oleh menjamurnya tempat wisata hingga ke perbukitan, yang menyebabkan banyak pohon ditebang dan daerah resapan air berkurang.


Arief mengingatkan bahwa krisis air ini harus segera diatasi. Jika tidak, hal ini dapat berkembang menjadi bencana sosial yang memicu konflik antar warga dalam memperebutkan sumber air bersih. Ia juga menyinggung filosofi Sunda dalam merajut kerukunan, seperti akur sakasur (rukun dengan pasangan hidup), akur sadapur (rukun dengan keluarga), akur sasumur (rukun dengan tetangga yang berbagi sumber air), dan akur salembur (rukun dengan sesama warga desa). “Namun, jika sumber air hilang, bukan kerukunan yang tercipta, melainkan konflik,” tegasnya.


Kegiatan ini ditutup dengan latihan teknik praktis untuk respon awal menghadapi bencana gempa bumi dan kerja bakti membersihkan lingkungan dari sampah. Sebagai penutup, Arief memberikan buku karyanya yang berjudul “Aksi Lingkungan dan Perdamaian Dunia” kepada perwakilan panitia dan warga sebagai simbol komitmen dalam menjaga lingkungan dan membangun perdamaian.


Acara BALAD 2024 ini menjadi momen penting dalam memperkuat kesadaran masyarakat lintas iman tentang pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana serta pentingnya menjaga harmoni dengan alam dan sesama manusia.