Kriteria Rukyatul Hilal dan Awal Waktu Subuh Jadi Bahasan Rakernas LF PBNU
Sabtu, 10 Desember 2022 | 12:00 WIB
Bandung, NU Online Jabar
Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di STMIK/AMIK Bandung, Jawa Barat pada Jumat hingga Ahad (9-11/12/2022). Kegiatan ini mengangkat tema Merawat jagat membangun peradaban, mengamati semesta untuk mengukuhkan Nusantara.
Rakernas ini akan membahas tiga hal, yaitu pengukuhan program kerja, penguatan organisasi, dan isu-isu berkaitan dengan falakiyah, seperti kriteria rukyatul hilal dan awal waktu Subuh.
Pengukuhan program kerja dilakukan untuk masa khidmah LF PBNU 2022-2027. Sementara penguatan organisasi dilakukan guna penyesuaian perubahan status Falakiyah dari lajnah menjadi lembaga sebagaimana diamanahkan dalam Muktamar ke-33 tahun 2015 di Jombang. Perubahan ini menuntut ketertiban aturan organisasi secara kualitatif dan diharapkan dapat menumbuhkan terbentuknya LFNU di tingkat wilayah dan cabang.
Adapun isu-isu aktual perihal falakiyah yang akan dibahas dalam Rakernas ini setidaknya ada dua hal. Pertama, terkait nafiul istikmal atau disebut juga qath’iy al-rukyah. Keputusan terkait masalah ini akan memperkuat kedudukan rukyatul hilal sebagai penentu awal bulan Hijriyyah dalam Nahdlatul Ulama, sebagai pelengkap dari kriteria Imkan Rukyah Nahdlatul Ulama (IRNU) yang telah disahkan. Kedua, persoalan terbitnya cahaya fajar yang menjadi penanda awal waktu Subuh.
Rakernas ini dihadiri oleh pengurus Lembaga Falakiyah PBNU, perwakilan 11 Lembaga Falakiyah PWNU se–Indonesia, dan perwakilan 52 Lembaga Falakiyah PCNU. Hadir pula para hasib (ahli hisab) dan anggota tim–tim akademik dalam lingkup Lembaga Falakiyah PBNU.
Hisab rukyat tidak dikotomis
Ketua LF PBNU KH Sirril Wafa menegaskan, bahwa tidak bisa hisab dan rukyat ini didikotomikan. “Saya mengharapkan hisab-rukyat jangan jadi bahan dikotomi,” ujarnya dalam pengantar pada Sidang Rakernas LF PBNU pada Sabtu (10/22/2022).
Dalam hal ini, ia menjelaskan bahwa Rasulullah saw mengalami sembilan kali puasa Ramadhan. Dalam satu riwayat, tujuh kali rukyatul hilal berhasil melihat, sedangkan dua kali istikmal. Ada pula riwayat lain yang menyebut enam kali berhasil melihat hilal, sedang tiga lainnya istikmal.
Dari data sejarah itu, Kiai Sirril menegaskan bahwa hal tersebut merupakan sunnatullah. Hisab dan rukyat bukan merupakan sesuatu yang mutlak dan dikotomis.
Persoalan muncul lagi ketika ada kekhawatiran usia bulan justru menjadi 28 hari ketika bulan sudah tinggi, tetapi tidak berhasil dirukyat. Mengenai ini, Kiai Sirril menegaskan, bahwa ketika terjadi benturan antara sunnah Rasul dan sunnatullah, maka yang kedua harus didahulukan. Sunnah Rasul yang dimaksud adalah hadits untuk merukyat, sedangkan sunnatullah adalah peristiwa alam.
“Mana yang harus didahulukan, tentu sunnatullah,” tegas pakar Ilmu Falak dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Editor: Abdul Manap
Terpopuler
1
Bangkitkan Semangat Wirausaha, Talk Show di Cirebon Ajak Perempuan Muda Jadi Pelaku Ekonomi Mandiri
2
Angkatan Pertama Beasiswa Kelas Khusus Ansor Lulus di STAI Al-Masthuriyah, Belasan Kader Resmi Menyandang Gelar Sarjana
3
PBNU Serukan Penghentian Perang Iran-Israel, Dorong Jalur Diplomasi
4
Kuota Haji 2026 Baru Akan Diumumkan pada 10 Juli 2025, Kemenag Masih Tunggu Kepastian
5
Koleksi Manuskrip Warisan Ulama Sunda, KH Enden Ahmad Muhibbuddin Jadi Rujukan Tim Peneliti Naskah Nusantara
6
Isi Kuliah Umum di Uniga, Iip D Yahya Sebut Media Harus Sajikan Informasi ‘Halal’ dan Tetap Diminati
Terkini
Lihat Semua