Kabupaten Tasikmalaya

Mengawali Diskusi Fiqih Sosial di Cipasung, Gus Nadir: Ini Pesantren yang Open-Minded

Kamis, 21 November 2024 | 09:17 WIB

Mengawali Diskusi Fiqih Sosial di Cipasung, Gus Nadir: Ini Pesantren yang Open-Minded

Cendekiawan Islam ternama, Nadirsyah Hosen, memulai rangkaian diskusi Fiqih Sosial di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Ia mengungkap alasan memilih pesantren ini sebagai lokasi perdana. (Foto: NU Online Jabar)

Tasikmalaya, NU Online Jabar
Cendekiawan Islam ternama, Nadirsyah Hosen, memulai rangkaian diskusi Fiqih Sosial di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Ia mengungkap alasan memilih pesantren ini sebagai lokasi perdana. Menurutnya, pesantren yang berada di kaki Gunung Galunggung tersebut memiliki karakter unik: terbuka terhadap kemajuan zaman meskipun tetap menjaga keilmuan tradisional.


“Ini kalkulasi strategis. Cipasung adalah pesantren yang open-minded—tradisional, tetapi juga moderat dan berpikiran terbuka,” ujar Gus Nadir dalam jumpa pers di kediaman KH Ubaidillah Ruhiat, pimpinan pesantren, Senin (18/11/2024).


Diskusi ini menjadi langkah awal Gus Nadir dalam misinya membangun forum interaktif di berbagai pesantren di Jawa Barat. Fokusnya adalah membahas persoalan-persoalan kontemporer yang berkaitan dengan Fiqih Sosial.


Gus Nadir menyoroti dampak teknologi seperti Artificial Intelligence (AI) dan media sosial, yang telah memicu keresahan, khususnya di kalangan pemikir Islam. Ia menilai, ulama harus lebih terbuka untuk mendiskusikan persoalan-persoalan modern ini.


“Ulama yang ingin menjawab persoalan seperti ini harus memperluas wawasan. Sebaliknya, isu-isu sosial ini membutuhkan kerja sama lintas disiplin,” tuturnya.


Fiqih Sosial, menurut Gus Nadir, bukanlah hal baru dalam khazanah pemikiran Nahdlatul Ulama (NU). Dua tokoh penting, KH Ali Yafie dan KH MA Sahal Mahfudz, telah merintis kajian ini jauh sebelumnya.


Namun, ia menekankan bahwa tantangan sosial masa kini tidak cukup dijawab dengan fatwa atau keputusan hukum semata. Langkah solutif dan edukatif juga perlu diberikan.


“Contohnya, MUI sudah mengeluarkan fatwa bahwa hoaks itu haram. Tapi apakah hoaks berhenti? Tidak. Ini artinya kita butuh edukasi, penyaringan berita, dan penguatan etika,” jelasnya.


Gus Nadir berharap, diskusi Fiqih Sosial ini dapat melahirkan ide-ide baru dari generasi muda pesantren. Ia menekankan pentingnya keaktifan mereka dalam menciptakan alat bantu dan solusi bagi masyarakat untuk menghadapi tantangan modern.


“Saat ini, ulama muda, seperti yang ada di Cipasung, harus mampu menjelaskan mana berita yang shahih, dhaif, atau maudhu (palsu). Tapi untuk itu, kita butuh ilmu dan alat yang memadai. Ini yang harus dibahas,” ungkapnya.


Sebagai contoh, ia menyebutkan isu-isu seperti teknologi robotik, ChatGPT, aksi boikot, bunga bank konvensional, dan judi online, yang kini menjadi perhatian masyarakat.


Gus Nadir menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara ulama dan pakar dari berbagai disiplin ilmu. Menurutnya, diskusi di pesantren tidak cukup hanya dengan merujuk kitab kuning, tetapi juga perlu mendengar masukan dari ahli sosial, psikolog, hingga praktisi lapangan.


“Bahtsul masail di pesantren tidak hanya tentang kitab kuning, tetapi juga masukan dari ahli-ahli sosial. Dengan begitu, kita bisa melihat akar masalah secara lebih komprehensif,” ujarnya.


Meski demikian, ia menekankan bahwa masyarakat tidak dapat terus-menerus menghindari kemajuan teknologi. Sebaliknya, teknologi harus dimanfaatkan secara bijak dan terkendali.


“Pakar keagamaan hari ini bukan hanya manusia, tetapi juga kecerdasan buatan. Teknologi tidak harus dihindari, melainkan dikendalikan untuk tujuan yang baik,” pungkas dosen di Monash University, Australia tersebut.


Dengan diskusi Fiqih Sosial di berbagai pesantren, Gus Nadir berharap tercipta jawaban-jawaban inovatif atas tantangan kontemporer, serta mendorong kolaborasi aktif untuk menciptakan solusi bagi umat di era modern.


Kontributor: Fauzan Ibnu Hasby