• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 6 Mei 2024

Hikmah

Sedekah Mulud, Tradisi Warisan Mama Sobari Ciwedus

Sedekah Mulud, Tradisi Warisan Mama Sobari Ciwedus
Almarhum KH Obing Asy'ari, salah seorang cucu Mama Sobari yang menjadi narasumber artikel ini (Foto: IDY/NUJO)
Almarhum KH Obing Asy'ari, salah seorang cucu Mama Sobari yang menjadi narasumber artikel ini (Foto: IDY/NUJO)

Oleh Iip Yahya
Mama Sobari adalah murid Syekh Kholil Bangkalan Madura. Di pesantren ini ia bersua dengan banyak santri yang kemudian menjadi ulama besar, di antaranya Hasyim Asy’ari, pendiri pesantren Tebuireng Jombang. Mama Sobari wafat pada 1916 dalam usia 75 tahun. Dengan demikian ia diperkirakan lahir pada 1841. Sejak usia 11 tahun, Sobari berkelana ke wilayah timur dari satu pesantren ke pesantren lain, dan terakhir berguru di Bangkalan. Ia mendalami ilmu agama secara komprehensif hingga usianya mencapai 40 tahun. Pada 1881 ia pulang ke Ciwedus dan mulai meneruskan pesantren yang telah dirintis oleh kakek buyutnya.

Konon, sebagai penghormatan atas pengabdiannya kepada gurunya, setelah belajar hampir tiga puluh tahun lamanya, kepulangan Obay (panggilan Sobari muda) akan diiringi dua perahu yang penuh dengan kitab kuning sebagai bekal pengajarannya di kampung halaman. Kabar itu bahkan sudah sampai ke Ciwedus. Keluarga dan masyarakat saat ikut menjemput di pelabuhan Cirebon,  telah menyiapkan pedati untuk mengangkut tumpukan kitab itu. 

Namun, saat turun dari kapal, Obay ternyata ngaligincing, tak ada perahu penuh kitab itu. Para penjemput keheranan dan bertanya-tanya mencari penjelasan. Lalu Obay menerangkan bahwa dengan segala hormat, ia menolak iringan dua perahu kitab itu dan memilih sejumlah halaman saja dari kitab kuning yang pernah dikajinya, sebagai simbol. Istilahnya, ia hanya membawa satu koras kitab. Orang awam lalu menafsirkan bahwa kecerdasan Obay ibarat dua perahu yang dipenuhi kitab. Oleh karena itu, masyarakat sangat menghormati dan mencintainya.

Sejak kepulangan Obay, masyarakat sudah sepenuhnya menaruh kepercayaan kepada keluarga Ciwedus. Sekalipun ada gangguan yang bersifat kriminal, hal itu tidak sampai menghambat perkembangan pesantren. Santri berdatangan dari daerah sekitar dan juga dari wilayah jauh seperti Cianjur dan Sukabumi. Antara 1881-1916, Ciwedus menjadi salah satu pusat pendidikan Islam paling cemerlang di wilayah Jawa bagian Barat.  Ribuan santri berguru kepadanya, baik yang menjadi santri pesantren maupun yang sekedar mengikuti pengajian mingguan setiap Rabu pagi.

Setiap Rabu, ratusan hingga ribuan orang datang ke Ciwedus mengikuti pengajian rutin. Jamaah yang hadir meluber hingga radius 500 meter. Tak ada pengeras suara waktu itu, tetapi semua yang hadir dapat mendengar suara Mama Sobari. Jamaah datang dari berbagai daerah, bahkan yang dari jauh sudah tiba di Ciwedus sejak Selasa malam. Hampir semuanya datang dengan jalan kaki, sesuatu yang lazim saat itu karena belum banyak kendaraan selain pedati.

Seperti umumnya pesantren tradisi, tak ada catatan resmi tentang para santri yang dikelola dalam administrasi yang tertib. Semuanya mengalir berdasarkan saling percaya. Santri yang hormat kepada gurunya, tak akan pernah melupakan jasa-jasanya. Sebagaimana yang dilakukan oleh keluarga pesantren Cikancung Bandung, Pusaka Baru Keresek Garut dan Minhajul Karomah Banjar. Karena leluhur kedua pesantren tersebut adalah alumni Ciwedus, secara berkala baik keluarga maupun santri kedua pesantren itu selalu berziarah ke Ciwedus. 

Untuk mencari informasi yang lebih sahih, pada akhir 1950-an, seorang cicitnya yang bernama Obing Asy’ari, berkeliling ke sejumlah ulama pesantren yang pernah menjadi santri kakeknya. Di antara ulama pesantren yang di telusuri ialah: Tubagus Bakri (Sempur Purwakarta), Habib Syeikh (Jagasatru Cirebon), Sanusi (Babakan Ciwaringin Cirebon), Syatibi (Kasturi Cikijing Majalengka), Zaenal Mustofa (Kandangsapi Cianjur), Abdul Halim Iskandar (Majelengka), Mutawali (Gibug Cilimus Kuningan), Syuja’i (Kudang Tasikmalaya), Hambali (Utama Ciamis), dan lain-lain. 

Sedekah Mulud
Salah satu tradisi yang diciptakan Mama Sobari adalah sedekah mulud. Yakni bersedekah setiap peringatan maulid Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabiul Awwal. Kegiatan pada acara ini lumrah saja, yaitu pembacaan barzanji, diba’ dan al-‘azab. Pada setiap malam Jum’at pun sebenarnya ketiga rangkaian puja-puji atas Nabi itu selalu dibacakan. Dan setiap sampai pada kalimat mahallul qiyam, yaitu saat semua hadirin berdiri untuk membacakan kalimat shallallah ala Muhammad shallallah alaihi wa sallam, Mama Sobari pasti menangis tersedu. Di hadapannya, seolah-olah Nabi akhir zaman itu benar-benar hadir. 

Setidaknya ada tiga hal yang dicapai dari tradisi ini, sodaqoh, silaturahim, dan membahagiakan anak-anak. Bagi anak-anak, sedekah mulud adalah hari yang diidam-idamkan karena mereka akan ikut makan besar. 

Setiap bulan Maulid, Mama Ciwedus selalu hajat besar. Ia punya kolam seluas 100 bata yang dikhususkan untuk peringatan hari mulia itu yang disebut balong pamuludan. Ikan dari kolam itu tak boleh ada yang mengambil hingga tiba hari sedekah mulud. Ia menjamu semua yang hadir dengan hasil keringatnya sendiri, bukan dari sumbangan pihak lain. 

Sebagaimana orang tua dan kakeknya, Mama Sobari menekuni bidang pertanian. Ia menanam tak kurang dari lima jenis mangga terbaik untuk ditanam di kebun miliknya. Begitu juga jambu, pisang, dan buah-buahan lainnya. Sudah barang tentu padi dan kambing menjadi bagian dari penunjang ekonomi keluarga. 

Sosok yang Wira’i
Keistimewaan lain dari Mama Ciwedus ialah sifat wira’i-nya. Ia tak pernah makan dari pemberian orang lain. Kalau mendapat pemberian dari santri atau jamaah pengajiannya, ia menerimanya dengan tangan kanan. Kalau menerima sumbangan itu dari pejabat pemerintah, ia menerimanya dengan tangan kiri. Namun, kedua sumbangan itu tak ada yang dimakannya, baik oleh dirinya maupun keluarganya. 

Setiap jam 01.00 dini hari ia bangun. Selesai salat malam, seraya berzikir, ia berkeliling komplek pesantren. Ia berdoa untuk keselamatan keluarga, santri-santrinya, dan warga Ciwedus pada umumnya. Demikian dilakukannya sampai menjelang waktu subuh. Mungkin berkat doa itulah jantung pendidikan di Ciwedus terus berdetak. Hanya lima tahun Ciwedus mengalami masa krisis paling parah, yakni pada saat puncak revolusi antara 1945-50. Setelah itu, Ciwedus kembali semarak dipenuhi para pencari ilmu.

Satu peristiwa yang paling dikenang adalah keberangkatannya ke tanah suci. Selama bertahun-tahun, banyak murid atau jamaah pengajiannya yang bermaksud mengajaknya untuk berangkat haji bersama. Segala keperluan beliau dan keluarganya akan ditanggung. Entah sudah berapa orang mengajukan niatan itu tetapi selalu ditolak secara halus. 

Sampai suatu hari, ia meminta keluarganya berkumpul ditambah empat orang santri yang dimintanya menjadi saksi. Lalu sejumlah bumbung bambu dikeluarkan. Ternyata bambu itu berfungsi sebagai celengan. Satu per satu bumbung dibongkar diikuti gemerincing uang logam. Setelah dihitung, uang tabungan itu cukup untuk ongkos haji lima orang, Mama Sobari dan istri, ditambah ketiga orang putranya yang sudah dewasa, dan masih tersisa untuk keluarga yang akan ditinggal pergi. Rupanya, setiap selesai panen, setelah zakat mal dibayarkan, Mama menabungkan uang yang tersisa. Uang logam itu dimasukkan ke dalam bumbung setelah sebelumnya dicuci terlebih dahulu. Demikian bertahun-tahun dilakukannya sampai dianggap akhirnya cukup untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.

Untuk Mama Sobari Ciwedus, lahul fatihah.

Penulis adalah Direktur Media Center PWNU Jabar


Editor:

Hikmah Terbaru