• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Daerah

Diskusi dan Webinar Pendidikan Islam di Masa Depan

Diskusi dan Webinar Pendidikan Islam di Masa Depan
Direktur Jendral Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) H Muhammad Ali Ramdhani (Foto: NU Online Jabar)
Direktur Jendral Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) H Muhammad Ali Ramdhani (Foto: NU Online Jabar)

Bandung, NU Online Jabar
Pendidikan adalah sebuah sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan. Mulai dari adanya tujuan, pendidik, peserta didik, alat untuk menunjang kegiatan pembelajaran, dan lingkungan yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran.  

Mengangkat tema pendidikan, panitia Konferensi Wilayah (Konferwil) ke-XVIII Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat mengadakan diskusi dan webinar tentang Pendidikan Islam di Masa Depan. Kegiatan ini masuk dalam rangkaian acara Pra Konferwil NU Jawa Barat. 

Narasumber diskusi dan webinar Direktur Jendral Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) H Muhammad Ali Ramdhani mengungkapkan, ada sebuah konsep yang dikembangkan di EOCD Learning Framework 2030 bahwa individual dan masyarakat yang berkesejahteraan pada 2030 adalah mereka yang memiliki pengetahuan yang kuat dan ditopang oleh kemampuan yang mumpuni, serta di sisi lain memiliki attitude, perilaku, dan sumber-sumber nilai yang kuat. 

“Mereka adalah memiliki sistem pendidikan yang ditopang oleh peran orang tua, guru yang baik, sebab guru yang hebatlah yang akan menciptakan madrasah yang bermartabat yang kemudian akan membangun siswa-siswa yang memiliki kompetensi yang mumpuni,” ujar Prof Ramdhani.

Lanjut, dalam konteks di Indonesia perlu dilakukan rekonstruksi dan manipulasi karena tidak sesuai. Misalnya, ketika bercerita tentang attitude lebih pada penekanan personal , kemampuan terhadap memahami masyarakat, kemudian dimensi lokal kemasyarakatan dan global. 

“Ruang keagamaan nampaknya tidak memperoleh tempat, dan ketika kita mencoba merekonstruksi , saya menyebutnya Modification of The OECD Learning Framework 2030 dalam konteks Islamic Learning Framework untuk menyiapkan siswa-siswa kita agar kemudian ketika mereka menjalani kehidupan tidak berada pada sudut-sudut peradaban, tidak sekedar pada pojok-pojok kemajuan. Tetapi mereka yang kita sebut sebagai orang raja pada dinamika zamannya,” katanya.

“Orang sunda bilang insan-insan yang ngindung ka waktu, ngabapa ka jaman, ngigeulan jaman, keur ngigelkeun jaman, jadi pada dasarnya kita ingin menciptakan orang-orang yang akan berdiri kokoh pada dinamika zamannya dan pada saat itu kita mengembangkan attitude dan velue yang bersumber dari keagamaan,” tambahnya. 

Menurutnya, ini poin yang tidak boleh dihilangkan dan bahkan menjadi poin penting. Bagaimana agama mewarnai setiap pengetahuan, keterampilan, dan terekspresikan melalui nilai-nilai yang diwujudkan dalam perilaku-perilaku yang baik. 

Kemudian, pada dimensi berikutnya ketika menjemput literasi individu dan masyarakat yang berkesejahteraan adalah mereka yang memiliki literasi yang banyak. Pertama, Finance Literacy atau literasi keuangan. 

“Finance literascy menjadi penting karena pada konteks hari ini kita melihat banyak juga mereka yang berpendidikan itu tertipu dengan pinjol atau arisan online dan lain sebagainya,” ujarnya.

Kedua, Health Literacy atau literasi kesehatan. Menurutnya, kesehatan akan menjadi isu pada masa depan, khususnya di 2030 karena perpindahan penyakit-penyakit transformasi dari hewan ke manusia semakin kuat. 

“Kalaulah pada hari ini kita mengalami pandemi Covid-19 itu adalah perpindahan dari kelelawar ke manusia, pada masa lalu pernah ada perindahan dari monyet ke manusia namanya HIV. Dan ini menandakan bahwa kita perlu pengetahuan literasi kesehatan yang kuat,” ungkapnya. 

Ketiga, Numeric Literacy. Kemudian keempat, Digital Literacy. Dan kelima, adalah Religious Literacy

Religious Literacy adalah kemampuan pemahaman terhadap agama. Agama akan menjadi pengharmoni dari setiap tekanan dan dilema yang terjadi pada saat itu.

“Percuma orang itu mempunyai kemampuan literasi keuangan yang baik, health literacy yang kuat, digital literacy yang kuat, numeric literacy yang kuat apabila keagamaannya kosong, maka dia akan hampa ,” ujarnya.

“Kita pada hari ini sudah menyaksikan ada orang yang cantik, kaya, pinter, tetapi bunuh diri pada usia muda,” imbuhnya. 

Ini menandakan, lanjutnya, religious literacy menjadi bagian yang penting. Dan poros utama dari segala perkembangan harus berbasis pada nilai nilai keagamaan. 

Pewarta: Agung Gumelar 


Daerah Terbaru