Pesan Hijau dan Damai Al Musthofa kepada Ali Bin Abu Thalib (2)
Rabu, 26 Juni 2024 | 13:07 WIB
Hal lain yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada Sayyidina Ali adalah perihal sedekah air untuk yang membutuhkan. Amalan memberi sedekah air adalah bentuk amalan sosial kemanusiaan tapi juga berdimensi lingkungan.
Mengapa demikian? Karena jika kita ingin melakukan sedekah air secara berkelanjutan, maka kitapun harus memikirkan bagaimana menjaga sumber air tidak habis. Bagaimana kita bisa melakukan sedekah air jika sumber airnya sendiri tidak ada habis, atau tercemari.
Melakukan amalan sedekah air, tentunya bukan hanya diberikan untuk sesama Muslim saja, tetapi untuk semua manusia. Bukan juga untuk sesama manusia yang sezaman, tetapi juga untuk generasi setelah itu, maka sesuatu hal yang terkait dengan hal tersebut seperti upaya konservasi menjaga sumber daya air adalah bagian dari aktivitas sedekah air yang berkelanjutan dari satu generasi ke generasi.
Amanat Nabi Muhammad, pernah dijalankan Sayyidina Ali saat peristiwa perang Shifin berhadapan dengan pasukan Muawiyah. Sayidina Ali dan pasukanya saat itu berhasil menguasai sungai Eufrat, yang menjadi sumber air bersama.
Jika mau melumpuhkan kekuatan lawan, sebenarnya cukup buat Sayyidina Ali untuk menutup aliran air sungai Eufrat tersebut ke pasukan musuh. Namun, hal itu tidak Beliau lakukan, karena air adalah kepentingan bersama yang harus dinikmati semua pihak, termasuk pihak lawan.
Sayyidina Ali yang mendapat gemblengan ruhani langsung dari tangan suci Nabi, pada saat peristiwa tersebut ingin mengikuti perilaku mulya mertuanya yaitu mengulurkan sebuah jalan rekonsliasi dengan memberikan air, sebagai simbol dan pesan damai kepada pihak lawan.
Upaya konservasi air, tentu saja bukan untuk kepentingan manusia saja, akan tetapi memberikan manfaat juga kepada mahluk hidup lainnya seperti hewan dan tanaman. Seorang wanita pendosa, mendapat ganjaran surga karena ia memberikan setetes air kepada anjing yang kehausan, di saat sang wanita pendosa tersebut sama-sama membutuhkan air tersebut.
Memelihara air pada dasarnya adalah bentuk nyata dari upaya mewujudkan spirit Rahmatan lil Alamin untuk menjaga kehidupan semua mahluk hidup secara berkesinambungan. Dari uraian di atas, bisa kita pahami bersama, mengapa sedekah air adalah amalan adiluhung yang membuat malaikat takjub.
Kesatuan Aksi Iklim Dan Kemanusiaan
Penjelasan demi penjelasan yang disampaikan di atas, tentunya menjadi kabar gembira bagi para pejuang perdamaian dan aktivis lingkungan bahwa apa yang mereka lakukan dengan segala suka dan dukanya mendapat apresiasi dari Jibril, Nabi Muhammad dan tentunya dari Tuhan sang pencipta.
Kembali ke konteks awal, ternyata amalan kemanusiaan selalu digandengkan dengan aktivitas lingkungan. Hal ini seperti sebuah sinyal bahwa aktivitas kemanusiaan tidak terpisah dengan kegiatan pelestarian alam dan memelihara lingkungan hidup.
Hal ini ternyata banyak disampaikan dalam hadits lainnya seperti berikut:
“Janganlah kalian membunuh perempuan, anak kecil, wanita yang menyusui, dan orang yang sudah tua renta. Jangan lupa kalian rusak pohon kurma, jangan menebangi pepohonan, juga jangan sampai merobohkan rumah.” (HR. al-Baihaqi)
Hadits tersebut turun ketika Nabi akan melakukan pertempuran untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Dalam hadits tersebut jelas bahwa menjaga jiwa manusia sejajar dengan memelihara pohon untuk tidak ditebang.
Ada hadits lainnya, yaitu ketika Nabi melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah. Dalam hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan rahasia penamaan Mekah dengan tanah haram.
“Sesungguhnya kota ini, Allah telah memuliakannya pada hari penciptaan langit dan bumi. Dia adalah kota suci dengan dasar kemuliaan yang Allah tetapkan sampai hari Kiamat. Belum pernah Allah halalkan berperang di dalamnya, sebelumku. Dan Allah tidak halalkan bagiku untuk memerangi penduduknya, kecuali beberapa saat di waktu siang (ketika Fathu Mekah).”
Selanjutnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan hukum yang berlaku, sebagai konsekuensi Allah jadikan tanah ini sebagai kota haram. Beliau berkata:
“Dia haram dengan kemuliaan yang Allah berikan, sampai hari kiamat. Tidak boleh dipatahkan ranting pohon-nya, tidak boleh diburu hewannya, tidak boleh diambil barang hilangnya, kecuali untuk diumumkan, dan tidak boleh dicabut rerumputan hijaunya. (HR. Bukhari 3189 & Muslim ).
Satu lagi keterangan hadits seperti tertera di atas bahwa ketika Nabi hijrah dari Mekah ke Madinah, bertujuan untuk menjaga kota Mekah dari peperangan yang bisa menghilangkam jiwa manusia dan sekaligus menjaga kota Mekah dari kerusakan lingkungan. Dari hadits tersebut, menjaga jiwa manusia disetarakan dengan pelestarian alam.
Apabila malaikat Jibril menyukai sebuah amalan tertentu, maka Jibril akan membencinya jika kita berbuat sebaliknya. Jibril sangat mencintai amalan menjadi juru damai dan sedekah air yang tentunya berhubungan erat dengan pemeliharaan sumber daya air itu sendiri, maka Jibril akan membenci perilaku yang berlawanan yaitu penyulut peperangan, perusak perdamaian dan penghancur sumber daya alam. Dalam hal ini selaras dengan hadits Nabi sebagai berikut:
“Hati-hatilah atas dua macam kutukan." Mendengar ini sahabat bertanya, "Apakah dua hal itu, ya Rasulullah?" Nabi menjawab, "Yaitu orang yang membuang hajat di tengah jalan atau di tempat orang berteduh." Di dalam hadis lainnya ditambah dengan membuang hajat di tempat sumber air.
Dalam hadits tersebut, ada perilaku yang mengundang kutukan, yang salah satunya membuang hajat di tempat sumber air. Artinya kita dilarang mencemari sungai yang bukan sekedar membuang hajat, tetapi dalam konteks kekinian mengotori sungai dengan membuang sampah dan limbah adalah bagian darinya.
Ada hadits lain:
Suatu ketika, Nabi Muhammad menegur sahabatnya, Sa’ad, karena berlebih-lebihan menggunakan air ketika berwudhu—meskipun pada saat itu air tersedia melimpah. Hal itu membuat Sa’ad bingung dan bertanya kepada Nabi perihal yang dilakukannya.
“Apakah di dalam wudhu ada berlebih-lebihan?” tanya Sa’ad. “Ya, walau pun engkau sedang berada berada di sungai yang mengalir,” jawab Nabi. (riwayat Ibnu Majah dan Ahmad).
Merujuk dari keterangan hadits diatas, bahwa kita pun dilarang berlebihan menggunakan air, walau untuk kepentingan ibadah. Hal ini, tentu saja bertujuan untuk menjaga kecukupan air, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Memahami Surat Al Araf 179
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
Surat Al Araf 179 di atas, sebuah pelengkap informasi tentang peran manusia. Jika di awal-awal tulisan, manusia bisa melebihi Malaikat dengan perilaku tertentu, akan tetapi bisa lebih rendah seperti binatang ternak. Hal tersebut disebabkan manusia tidak bisa melihat ayat-, ayat Tuhan dan tanda-tanda alam dengan potensi panca indera, maupun akal sehat yang dimilikinya.
Maka jika kita tidak peka terhadap gejala alam yang cenderung memburuk, seperti potensi kekeringan atau krisis air, kita harus mawas diri jangan-jangan kita termasuk dengan apa yang disampaikan dalam surat Al Araf 179 tersebut.
Atau jika kita telah menyadari kondisi dan situasi iklim di sekitar kita seperti potensi besar akan terjadinya krisis air yang dengannya akan bisa menyebabkan konflik antar masyarakat, lalu kita tidak tergerak untuk bertindak, maka mungkin saja kita menjadi bagian yang bukan disukai Jibril., tetapi justru sebaliknya. Bukan hanya Jibril yang membenci kita, tetapi Tuhan dan Nabi Muhammad akan bersikap sama.
Areif Agus, Ketua LPBI NU Kota Bandung sekaligus ketua Adhock Lingkungan Hidup Jawa Barat