Syariah

Kewajiban Haji bagi yang Mampu: Tinjauan Hukum dan Konsekuensi

Sabtu, 10 Mei 2025 | 17:24 WIB

Kewajiban Haji bagi yang Mampu: Tinjauan Hukum dan Konsekuensi

Makkah (Foto: Kemenag)

Hukum melaksanakan ibadah haji tidak berlaku sama bagi setiap individu, melainkan bergantung pada kondisi masing-masing. Dalam beberapa situasi, hukum haji bisa menjadi fardhu 'ain, fardhu kifayah, bahkan ada kalanya bersifat sukarela (tathawwu).


Yang pasti, kewajiban ibadah haji hanya sekali seumur hidup dan ditujukan bagi mereka yang mampu serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam hukum fiqih.


Hal ini dijelaskan oleh Ustadz Alhafidz Kurniawan dalam artikelnya berjudul Ragam Hukum Ibadah Haji dalam Islam yang dikutip NU Online pada Jumat (9/5/2025). Ia menjelaskan bahwa hukum haji bisa menjadi wajib karena adanya sebab baru seperti nazar, qadha atas haji sunnah yang rusak, serta mensyiarkan Ka’bah setiap tahun melalui ibadah haji.


"Hukum haji fardhu 'ain, yaitu kewajiban bagi setiap umat Islam sekali seumur hidup yang belum pernah haji dan memenuhi syarat haji atau mengqadha haji yang rusak sebelumnya," tulisnya.


Lebih lanjut, Ustadz Alhafidz menambahkan bahwa dalam konteks tertentu, haji bisa menjadi fardhu kifayah. Artinya, kewajiban ini bersifat kolektif dan akan gugur apabila sudah ada sekelompok orang yang menunaikan haji dan umrah guna mensyiarkan Ka’bah.


"Haji berhukum tathawwu (sunnah), yaitu ibadah haji dan umrah yang dilakukan secara sukarela terutama bagi orang dengan status budak (yang sudah tidak ada di zaman kini) dan anak-anak, "imbuh Ustadz Alhafidz.

Kendati haji memiliki beragam hukum, ada sebagian individu dari umat Islam yang tidak menginginkan untuk melakukan ibadah haji meskipun mampu dan memenuhi syarat haji.

Ketiadaan keinginan untuk beribadah haji bukan semata-mata karena tertahan oleh sesuatu, tetapi memang dirinya tidak menginginkan pergi menunaikan kewajiban haji. Sikap ini dipandang oleh fuqaha tetap berdosa.

Bab ini dijelaskan Ustadz Amien Nurhakim dalam artikel yang berjudul Kajian Hadits: Enggan Tunaikan Ibadah Haji Padahal Mampu yang dikutip NU Online, Jumat (9/5/2025).

"Fuqaha tetap memandang berdosa orang yang mampu melaksanakan haji, tapi enggan. la terkena dosa karena tidak menunaikan rukun Islam yang kelima," jelasnya.

Ustadz Amien menegaskan, jika keengganan untuk beribadah haji sampai pada tahap tidak meyakini haji sebagai rukun Islam maka dampaknya lebih besar.

Bahkan, Ustadz Amien mengutip peristiwa Umar bin Khattab dalam kitab Talkhishul Habir karya Ibnu Hajar, di mana Umar bertekad untuk mengutus beberapa orang ke berbagai penjuru negeri ini, untuk memeriksa siapa di antara mereka yang memiliki harta, tapi dia tidak berhaji, kemudian mereka diwajibkan membayar jizyah. Karena dianggap bukan bagian dari kaum muslimin.

Dalam sebuah hadits riwayat Ad-Darimi dan Al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kabir, dijelaskan bahwa seseorang yang tidak terhalang untuk melakukan haji oleh apapun, kemudian ia meninggal, maka bisa jadi ia meninggal dalam keadaan Yahudi atau sebagai Nasrani. Hanya saja, mayoritas ulama menganggap hadist ini lemah.

"Jika dirinya (orang yang enggan haji) mengingkari rukun Islam yang kelima, semisal tidak meyakini kewajiban haji, menganggap haji tidak memiliki status hukum apabila dilaksanakan atau ditinggalkan, maka dia bukanlah seorang muslim, "pungkas Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta ini.