Dalam memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW, ada orientasi-orientasi besar yang perlu kita renungkan dan perlu kita ambil hikmah terkait dengan kedudukan dan kemuliaan Nabi Muhammad SAW.
Orientasi pertama, bahwa mematuhi perintah Nabi Muhammad SAW sama halnya dengan mematuhi perintah Allah SWT. Berkenaan dengan ini, Allah SWT berfirman:
مَنْ يُّطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ اَطَاعَ اللّٰهَ ۚ
Artinya: “Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (QS an-Nisa [4]: 80).
Orientasi kedua, selalu menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai prioritas dalam segala hal, termasuk di dalamnya kepentingan hidup di dunia dan di akhirat.
Allah SWT berfirman:
اَلنَّبِيُّ اَوْلٰى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ اَنْفُسِهِمْ
Artinya: “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan dengan diri mereka sendiri.” (QS al-Ahzab [33]: 6).
Orientasi ketiga, bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan satu-satunya orang yang harus sangat dicintai oleh setiap mukmin melebihi cinta kepada siapa pun. Hal ini sebagaimana tersirat dalam sebuah hadis bahwa salahseorang di antara manusia tidak akan sempurna imannya apabila tidak disertai dengan cinta kepada Nabi Muhammad SAW.
Nabi SAW bersabda: “Salahseorang di antaramu tidak beriman sehingga saya lebih dicintai olehnya daripada orangtuanya, anaknya, dan semua manusia.” (HR Bukhari).
Oleh karena itu, di bulan Rabiul Awal (Mulud), menjadi bulan yang sangat baik bagi kita untuk kembali menegaskan bahwa mencintai Nabi Muhammad SAW merupakan sesuatu yang prinsip dan fundamental.
Mencintai Nabi SAW pada prinsipnya harus ditujukan hanya semata-mata untuk meraih keridhaan Allah SWT. Karena boleh jadi, selama ini kita masih kurang dalam mencintai Nabi Muhammad SAW dan belum sepenuhnya dapat melaksanakan apa-apa yang diperintahkannya. Padahal, dengan mencintai Nabi Muhammad SAW, merupakan satu jalan bagi kita untuk dapat meraih ridha Allah SWT yang kemudian berujung dengan diampuninya segala dosa dan kesalahan.
Allah SWT berfirman:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku. Maka niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (QS ali-Imran [3]: 31).
Makna Cinta
Imam Ghazali, Sang Hujatul Islam dalam magnum opusnya yang terkenal dan fenomenal, Ihya Ulumiddin, mengungkapkan terkait makna cinta. Menurutnya, cinta merupakan kecenderungan tabiat kepada sesuatu disebabkan sesuatu itu mempunyai nikmat. Setiap kali kenikmatan sesuatu bertambah, maka semakin besar pula cinta kepada sesuatu itu.
Rasa cinta terhadap sesuatu, menurut Imam Ghazali biasanya diperoleh berdasarkan kenikmatan yang dirasakan oleh panca indera (misalnya penglihatan dan pendengaran). Oleh Karena itu, di balik sesuatu yang ditangkap oleh panca indera, maka terdapat sesuatu yang dicintai dan dinikmati.
Namun, hakikat cinta yang sejati menurut Imam Ghazali adalah kenikmatan cinta yang berasal dari penglihatan non fisik (batin), yakni kenikmatan hati. Kenikmatan hati yang disebabkan telah mengetahui perkara-perkara ilahiah yang mulia dan tidak dapat ditangkap oleh panca indera merupakan sesuatu yang lebih mulia, lebih sempurna, dan lebih besar kenikmatannya.
Dengan demikian, meskipun kita atau siapa saja tidak sezaman, dan tidak pernah bertemu dengan Nabi Muhammad, para sahabatnya, para pemimpin mazhab fikih, atau kalangan salafus shaleh, bukan berarti tidak bisa mendapatkan kenikmatan untuk mencintainya. Justru, meskipun mereka tidak bisa ditangkap dengan panca indera, kenikmatan untuk mencintainya akan tetap diperoleh, yakni melalui kebaikan-kebaikan, sifat-sifat, serta ajaran-ajarannya.
Terkait dengan mencintai Nabi Muhammad SAW, ada dua diksi yang perlu kita renungkan.
Pertama, seorang mukmin yang mencintai Nabi Muhammad SAW, akan dikumpulkan bersamanya, meskipun ibadah-ibadah yang dilakukannya tidak sesempurna seperti ibadah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad, diceritakan ada seorang Arab Badui bertanya: “Wahai Rasulullah, kapan kiamat datang? Rasulullah berkata: “Apa yang telah kamu persiapkan untuk menghadapinya? Orang Arab Badui itu menjawab: “Aku tidak mempersiapkan banyak shalat-shalat dan puasa untuk menghadapi kiamat, tetapi aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah bersabda: Almaru ma’a man ahabba (Seseorang akan bersama orang yang dicintainya).
Kedua, dalam QS an-Nisa ayat 69 Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّٖنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصّٰلِحِيْنَ ۚ وَحَسُنَ اُولٰۤىِٕكَ رَفِيْقًا
Artinya: “Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS an-Nisa [4]: 69).
Ayat di atas diturunkan kepada Sauban, budak Rasulullah SAW. Sauban adalah orang yang sangat mencintai Nabi dan seorang yang tidak kuat berlama-lamaan tidak bertemu dengan Nabi. Ketika diceritakan tentang akhirat, ia sangat khawatir tidak dapat bersama Rasulullah di surga, karena tentulah Nabi akan bersama-sama dengan para nabi yang lain. Sauban pun khawatir dan cemas jika tidak bisa bertemu dengan Nabi Muhammad SAW lagi, terlebih ketika Nabi Muhammad SAW wafat.
Ayat di atas juga menginsyaratkan bahwa dahsyatnya perasaan cinta akan menjadikan seseorang yang mencintai itu akan dikumpulkan bersama dengan orang-orang yang dicintainya.
Tentunya, menaati dan mencintai Nabi Muhammad SAW harus disertai dengan rasa cintanya dalam melaksanakan ajaran-ajarannya yang kemudian dibuktikan dengan keshalehan pribadi maupun sosial. Meskipun ibadah yang dilakukan tidak akan sesempurna seperti ibadah Nabi Muhammad SAW, paling tidak dengan mencintai Nabi Muhammad SAW, ibadah-ibadah yang kita lakukan akan bernilai tinggi. Inilah harapan kita semua. Semoga!
Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut