Ngalogat

Jejak Gembala

Kamis, 28 Agustus 2025 | 10:59 WIB

Jejak Gembala

Jejak Gembala. (Ilustrasi: Freepik).

Sejak kecil, Muhammad Saw sudah ditempa untuk mandiri. Setelah wafat ibunda dan kakeknya, beliau tinggal bersama Abu Thalib. Hidup di rumah yang serba terbatas tidak membuat beliau manja. Justru di situlah benih etos kerja itu tumbuh. Fatimah binti Asad, istri Abu Thalib, meriwayatkan:


قالت فاطمة بنت أسد: لما ترعرع محمد قال لي: يا أمه، ابغيني غنماً أخرج أرعاها. فقلت: وما تصنع بها؟ قال: أحب أن لا أكون كلاًّ على عمي. فخرج فرعى غنماً لأهل مكة على قراريط.


Artinya: “Fatimah binti Asad berkata: ketika Muhammad mulai tumbuh besar, ia berkata kepadaku: Wahai ibu, carikanlah aku kambing agar aku bisa menggembalakannya. Aku berkata: Apa yang akan engkau lakukan dengannya? Ia menjawab: Aku tidak ingin menjadi beban bagi pamanku. Maka ia pun keluar, lalu menggembalakan kambing penduduk Mekah dengan upah beberapa qirath.” (Ibn Sa‘d, al-Ṭabaqāt al-Kubrā, Juz 1, hlm. 120, Beirut: Dār Ṣādir, 1957).


Betapa dalam makna kalimat itu: lā akūna kallan ‘alā ‘ammī (Aku tidak ingin menjadi beban bagi pamanku). Seorang anak yatim yang belum baligh sudah memilih kerja keras daripada bergantung. Ia rela menerima pekerjaan sederhana, bahkan dipandang rendah, hanya agar tidak menambah beban keluarga. Di situlah terlihat: bagi Nabi, bekerja bukan sekadar mencari makan, melainkan menjaga martabat.


Bayangkan sosok kecil itu: seorang anak yatim, berjalan di bukit-bukit Mekah, menggiring kambing yang bukan miliknya. Langkahnya menimbulkan debu di padang pasir, wajahnya disapu angin kering, tangannya menggenggam tongkat kecil. Di balik sunyi padang itulah Allah sedang membentuk pemimpin besar.


Hari-hari beliau ditemani suara embik kambing dan bisikan angin gurun. Tidak ada panggung, tidak ada penonton, hanya Allah yang menyaksikan. Tetapi justru di situlah beliau ditempa: belajar sabar saat kambing tercerai, belajar amanah saat menjaga titipan orang lain, belajar tabah saat menerima upah yang kecil. Padang gembala adalah madrasah pertama Nabi Saw.


Di padang itu pula, Muhammad Saw belajar mendengar suara yang lebih halus daripada teriakan pasar: suara hati nurani. Kesunyian padang melatihnya menundukkan ego, mengenal dirinya, dan merasakan kehadiran Allah dalam sunyi. Itulah “khalwat” yang Allah pilihkan sebelum beliau tampil di “jalwat” dakwah.


Sabda beliau sendiri kelak menguatkan hal ini:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ. قَالُوا: وَأَنْتَ؟ قَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ.


Artinya: “Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: Tidaklah Allah mengutus seorang nabi, kecuali ia pernah menggembala kambing. Para sahabat bertanya: Engkau juga wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Ya, aku juga, aku menggembalakan kambing penduduk Mekah dengan upah beberapa qirath.” (Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb al-Ijārah, Bāb Ra‘y al-Ghanam, no. 2262).


Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī menjelaskan dalam Fatḥ al-Bārī:


رعي الغنم كان من عادة الأنبياء ليتدرّبوا بذلك على رعاية الأمة، ولأن في مخالطة الغنم ما يحصل لهم الحلم والرحمة، لأنهم إذا صبروا على رعيها وجمعها بعد تفرقها، وأدّبوها بلين الحزم، وداووها، وحمَوها من العدو، تدرّبوا بذلك على رعاية أممهم.


Artinya: “Menggembala kambing adalah kebiasaan para nabi, agar mereka terlatih dalam memimpin umat. Sebab dalam bergaul dengan kambing terdapat latihan bagi mereka: kelembutan dan kasih sayang. Jika mereka mampu bersabar menjaga kambing, mengumpulkannya kembali setelah tercerai, mendidiknya dengan kelembutan sekaligus ketegasan, mengobatinya, dan melindunginya dari musuh, maka dengan itu mereka terlatih untuk memimpin umatnya.” (Fatḥ al-Bārī, Juz 4, hlm. 442, Beirut: Dār al-Ma‘rifah).


Al-Qurṭubī juga menafsirkan hikmah ini:


إن الله تعالى جعل رعي الغنم لجميع الأنبياء ابتداء قبل النبوة، ليكون ذلك رياضة لهم، حتى يرفقوا بالأمة إذا تولوا أمرها.


Artinya: “Allah Ta‘ala menjadikan semua nabi pernah menggembala kambing sebelum kenabian, agar itu menjadi latihan bagi mereka, sehingga mereka kelak lembut terhadap umat ketika memimpin urusannya.” (al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz 10, hlm. 47, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah).


Dari padang itulah Muhammad kecil ditempa. Ia belajar sabar ketika kambing membandel, ia belajar tanggung jawab saat mengantar titipan orang lain, ia belajar ikhlas ketika hanya menerima upah beberapa qirath. Namun yang lebih penting: ia belajar menundukkan dirinya sendiri. Menggembala bukan sekadar mengurus kambing, tetapi menggiring jiwanya agar sabar, tawadhu‘, dan ikhlas.


Pelajaran ini begitu relevan untuk kita hari ini. Generasi sekarang sering ingin instan: sukses cepat, viral sekejap, kaya mendadak. Padahal Nabi ﷺ mengajarkan: kemandirian sejati dimulai dari pekerjaan kecil yang jujur. Tidak ada pekerjaan hina bila dilakukan dengan amanah. Justru kehinaan ada pada kemalasan dan ketidakjujuran.


Bukankah hari ini kita sering meremehkan driver, kuli, atau buruh? Tetapi Nabi ﷺ pernah berada di posisi mereka. Beliau mencontohkan bahwa kemuliaan bukan pada pekerjaan yang tampak megah, tetapi pada kejujuran yang menyertai setiap langkah. Itulah madrasah kehidupan yang Allah pilih untuk Rasul-Nya.


Bagi keluarga, kisah ini adalah pelajaran cinta. Muhammad kecil tidak ingin menambah beban pamannya. Cinta kepada keluarga tidak cukup dengan kata-kata, tetapi dengan sikap: berusaha meringankan, bukan menambah. Betapa jauh teladan ini dari kondisi kita hari ini, ketika banyak anak justru menambah beban orang tua dengan gaya hidup manja.


Sejak kecil, Muhammad Saw sudah menegaskan bahwa kerja adalah bagian dari harga diri. Ia bukan sekadar mencari nafkah, tapi menjaga kehormatan. Dari padang gembala inilah kelak tumbuh reputasi yang membuat masyarakat Quraisy menjulukinya al-Amīn. Gelar itu baru masyhur ketika beliau dewasa, tetapi benihnya sudah ditanam sejak kecil: kemandirian, kejujuran, dan amanah.


Dan bila kita menoleh ke dalam diri, bukankah padang gembala itu ada di hidup kita masing-masing? Setiap pekerjaan kecil adalah ladang pendidikan jiwa. Setiap tugas sederhana adalah latihan kepemimpinan. Dan setiap amanah, sekecil apapun, adalah jalan menuju Allah.


Dari sabana gembala itulah Muhammad kecil menatap jauh ke cakrawala. Ia tak tahu bahwa langkah kakinya yang berdebu itu sedang diarahkan menuju panggung besar sejarah. Tetapi Allah tahu, dan Allah yang sedang menyiapkannya. Setelah padang gembala, akan datang perjalanan panjang: kafilah-kafilah yang membawanya menyeberang gurun, perjumpaan dengan dunia luar, dan pertemuan dengan Khadijah yang penuh berkah. Semua itu berawal dari sini: dari sabana sunyi yang menjadi madrasah awal seorang Nabi.


Dari sabana ia belajar sabar,
dari kambing ia belajar benar.
Upah kecil tak membuat gentar,
karena amanah jauh lebih besar.
Dan dari bukit Mekah yang hening,
ia menatap Syam yang kian memanggil.
Kafilah menanti di ufuk gurun,
jejak dagang pertama segera dimulai…


KH Yayan Bunyamin, Ketua MDS Rijalul Ansor Jawa Barat