• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Ubudiyah

Melacak Asal-usul Amalan Rebu Wekasan atau Rabu Terakhir Bulan Safar (1)

Melacak Asal-usul Amalan Rebu Wekasan atau Rabu Terakhir Bulan Safar (1)
Melacak Asal-usul Amalan Rebu Wekasan atau Rabu Terakhir Bulan Safar (1)
Melacak Asal-usul Amalan Rebu Wekasan atau Rabu Terakhir Bulan Safar (1)

Oleh Ustadz Hikmatul Luthfi

Bulan Safar adalah nama salah satu bulan dalam kalender Hijriah yang berdasarkan penanggalan Qamariyyah. Bulan ini terletak setelah bulan Muharram dan sebelum bulan Rabi’ al-Awwal. Sebagian orang Arab menyebut bulan Safar dengan sebutan najiz, mereka merasa sial (-tasya’um) dengan bulan tersebut. Oleh karena itulah datang hadits Nabi sebagai bantahan kepada mereka:

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ وَفِرَّ مِنْ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنْ الْأَسَدِ

“Tidak ada 'adwa, thiyarah, hamah, shafar, dan menjauhlah dari orang yang kena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa.”(HR Bukhari dan Muslim) 

Adapun hari Rabu, adalah nama salah satu hari dalam seminggu. Para ulama berbeda pendapat tentang awal hari dalam seminggu, namun menurut As-Suyuthi para ulama mutaakhirin dan ashab Syafi’i mengatakan bahwa yang benar permulaan hari dalam seminggu adalah Sabtu sebagaimana dalam Syarah al-Muhadzab, al-Rawdhah, dan al-Minhaj, dengan didasarkan pada Hadits dari Imam Muslim dimana Allah SWT menciptakan tanah pada hari Sabtu dan menciptakan nur pada hari Rabu.

Banyak orang merasa sial di hari itu dengan berdasar pada firman Allah dalam Surat al-Qamar Ayat 19, dan ini adalah sebuah kesalahan, karena sesungguhnya Allah telah berfirman di Surat Fussilat Ayat 16, bahwa itu adalah delapan hari, dan itu merupakan hari-hari kesialan, hanya saja maksudnya adalah bagi mereka (kaum ‘ad). (Jalaluddin As-Suyuthi, ¬al-Syamarikh fi ‘ilm al-Tarikh, h. 24-25).

Itulah mengapa para ulama dalam beberapa karyanya senantiasa menyandingkan kata Safar dengan kata al-khair dengan menyebut shafar al-khair (Safar yang baik) sebagai bentuk tafa’ul (berharap kebaikan dan optimis) sehingga menepis anggapan kekhususan kesialan, nahas, atau keburukan yang melekat dengan dzat bulan Safar. 

Dalam tafsir Ruhul Ma'ani misalnya disebutkan bahwa hari Rabu adalah hari dimana Nabi Yunus dilahirkan, begitu juga dengan Nabi Yusuf, dan pertolongan kepada Nabi Muhammad pada perang Ahzab juga adalah hari Rabu. Tentu banyak Hadits lain yang berkenaan hari Rabu.

Maka dari itu secara umum tentang waktu adalah sebagaimana Hadits Qudsi berikut:

يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِي الأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ (رواه البخاري و مسلم)

 “Anak Adam menyakiti-Ku karena mencela masa atau waktu. Padahal Aku yang mengatur dan menetapkan waktu. Di tangan-Ku lah segala urusan waktu. Aku yang membolak-balikkan malam dan siang”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadits ini manusia diperintahkan untuk tidak mencaci, menghina, dan mencela waktu karena sebab Allah sang pencipta, pengatur, dan penguasa waktu. Hendaklah beriman kepada qadha dan qadar-Nya, baik ataupun buruk, manis ataupun pahit, dan senang maupun dukanya.

Rabu terakhir bulan Safar ghalib di bumi Nusantara disebut dengan istilah rebo wekasan, rebo kasan, rebo pungkasan, atau istilah lain yang merujuk pada maksud yang sama yaitu hari Rabu akhir di bulan Shafar. Terdapat amaliyah yang biasa dilaksanakan pada hari tersebut yang mencakup shalat, dzikir, doa, dan tabarruk dengan asma Allah atau ayat-ayat al-Quran yang dikenal dengan ayat Selamat. Amaliyah tersebut dilakukan sebagai bentuk permohonan kepada Allah SWT agar terhindar dari segala macam musibah dan cobaan.

Terdapat beberapa sumber kitab yang menyebutkan tentang rabu terakhir di bulan Shafar berikut amaliyahnya dengan menukil dari para masyayikh sufi, di antaranya: Kanz al-Najah wa al-Surur karya ‘Abdul Hamid Quds al-Makki (w. 1917), Mujarrabat al-Dayrabi karya al-Dayrabi (w. 1801 M), Nihayat al-Zain karya Syekh Nawawi (w.1897 M), Na’t al-Bidayah karya Muhammad al-Fadhil bin Mamayn (w.1910 M), al-Jawahir al-Khams karya Muhammad bin Khatir al-Din (w. 1562 M), Wasilah al-Tahlibin Ila Mahabbati rabb al-Alamin karya murid Hussamuddin (w. 1567 M) yang dikutip dalam kitab Majmu’ah Rasa’il al-Laknawi ketika menjelaskan hukum shalat-shalat tertentu, karya ‘Abd al-Hayy al-Laknawi (w. 1886), dan kitab lainnya. Bersambung.

Referensi:

al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, t.tp.: Idarah al-Thiba’ah al-Muniriyyah, Juz. 27 h. 85

al-Dayrabi, Mujarrabat al-Dayrabi al-Kubra, Beirut: Maktabah Tsaqafiyyah, h. 79

al-Zirikli, Qamus `A’lam wa Tarajim, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, Juz. 3, h. 288

Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Samarikh fi ‘Ilm al-Tarikh, Kairo: Maktabah al-Adab, h. 25-26, 28

Ma’ al-‘Ainayn Ibn al-Qutb Syekh Muhammad Fadhil bin Mamayn, Na’t al-Bidayat wa Tawshif al-Nihayat, Beirut: Dar al-‘Ulum al-‘Ilmiyyah, h. 167

Muhammad ‘Abd al-Hayy al-Laknawi, Majmu’ Rasail al-Laknawi, Karachi: Idarah al-Quran wa al-‘Umlum al-Islamiyyah, Juz. 5, h. 94

Muhammad bin Khatir al-Din, al-Jawahir al-Khamsah, t.t: t.p., h. 5, 34

Musthafa Muhy al-Din al-Hudwi al-Malibari, Syekh Mu’in al-Din al-Jisti al-Ajmiri: Hayatuh wa Da’watuh wa Atsaruh, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, h. 14-16

Shafiyy al-Din Ahmad bin Muhammad al-Maqdisi, ¬al-Simth al-Majid fi Ahl al-Tawhid, h. 90-91

Yusuf al-Mar’asli, Natsr al-Durar fi ‘Ulama’  al-Qarn alRabi’ ‘Asyar, Beirut: Dar al-Ma’rifah, Jilid 1.

’Abd al-Hamid Quds al-Makki, Kanz al-Najah wa al-Surur, Beirut: Dar al-Hawi, 2009, h. 90-101

Penulis adalah Nahdliyin kelahiran Cibadak, Kabupaten Sukabumi
 


Ubudiyah Terbaru