• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Ubudiyah

8 Pelajaran Penting Riwayat Hatim Al-Asham dalam Kitab Ihya Ulumiddin

8 Pelajaran Penting Riwayat Hatim Al-Asham dalam Kitab Ihya Ulumiddin
8 Pelajaran Penting Riwayat Hatim Al-Asham dalam Kitab Ihya Ulumiddin
8 Pelajaran Penting Riwayat Hatim Al-Asham dalam Kitab Ihya Ulumiddin

Ada delapan pelajaran penting yang hendak dipelajari oleh masyarakat atau umat muslim dalam KItab Ihya Ulumiddin yang diriwayatkan Hatim Al-Asham RA dari gurunya. Imam Al-Ghazali dalam kitab itu mengatakan guru dan murid ini terlibat percakapan penting.

 

“Hatim, sejak kapan kau mulazamah denganku?” tanya Syaqiq.


 
“Sejak 33 tahun lalu guru,” jawab Hatim. 

 

“Pelajaran apa yang kaudapat belajar dariku selama itu?” 

 

“Delapan pokok masalah.” 

 

Innā lillāhi wa innā ilayhi rāji‘ūn, separuh lebih umurku berlalu bersamamu tetapi kau hanya mendapatkan delapan masalah?”

 

“Guru, aku tidak tahu masalah selain delapan itu. Aku tidak berbohong.” 

 

“Kalau begitu, terangkan kepadaku delapan masalah itu,” kata Syaqiq. 

 

Di hadapan gurunya Syaqiq Al-Balkhi, Hatim Al-Asham lalu menyebutkan satu per satu delapan pelajaran yang dikuasainya dengan baik: 

 

Pertama, kulihat banyak orang mencintai kekasih dan kegemarannya. Tetapi semua itu hanya menemaninya sampai kubur. Ketika orang-orang itu diletakkan di kubur, semua itu berpisah darinya. Sedangkan aku menjadikan amal baik sebagai kekasih sehingga ketika aku diletakkan di dalam lubang kubur, amal baik itu akan selalu bersamaku. 

 

Kedua, ketika membaca “Wa ammā man khāfa maqāma rabbihī wa nahan nafsa ‘anil hawā, fa innal jannata hiyal ma’wā,” (Surat An-Nazi’at ayat 40-41), aku yakin bahwa kalam ilahi ini benar. Oleh karena itu, aku mendidik diriku untuk menolak dorongan-dorongan nafsu sehingga diriku tetap berbakti dalam ketaatan kepada Allah SWT. 

 

Ketiga, aku melihat orang yang berada dan berpangkat menjunjung tinggi dan menjaga baik-baik miliknya. Lalu kubaca “Mā ‘indakum yanfadu, wa mā ‘indallāhi bāqin” (Surat An-Nahl ayat 96). Setiap kali memiliki sesuatu yang berharga, kuhadapkan ia kepada Allah (melalui sedekah) agar kekal terpelihara. 

 

Keempat, aku perhatikan kebanyakan orang memberikan perhatian pada harta, bibit bebet bobot, kemuliaan, dan nasab kebangsawanan. Ketika kupelajari, aku menarik simpulan bahwa semua itu tidak bermakna apapun. Lalu kuamati “Inna akramakum ‘indallāhi atqākum” (Surat Al-Hujurat ayat 13). Lalu aku beramal ketakwaan sehingga aku menjadi orang mulia di sisi Allah.

 

Kelima, aku lihat banyak orang saling menjatuhkan nama baik dan saling melaknat yang bersumber dari kedengkian belaka. Kemudian kuperhatikan firman Allah “Nahnu qasamnā baynahum ma‘īsyatahum fil hayatid duniya,” (Surat Az-Zukhruf ayat 32). Kubuang segera sifat hasad dan kujauhi mereka karena aku yakin bahwa nasib manusia sudah diatur Allah. Aku pun membuang kehendak untuk memusuhi mereka. 

 

Keenam, kuperhatikan lagi sebagian orang menganiaya dan memerangi sebagian yang lain. Aku lalu merujuk pada firman Allah, “Innas syaythāna lakum ‘aduwwun, fattakhidzūhu ‘aduwwan,” (Surat Fathir ayat 6). Lalu kumusuhi setan semata dan aku berusaha keras untuk menjaga kewaspadaan terhadapnya karena Allah telah bersaksi bahwa setan adalah musuhku. Dengan demikian, aku meninggalkan permusuhan kepada jenis manusia. 

 

Ketujuh, aku saksikan sebagian orang mengejar remukan roti dan potongan daging, bahkan sampai menjatuhkan harga dirinya. Sebagian orang bahkan terperosok di jalan yang tidak halal untuk itu. Lalu kurenungkan firman-Nya, “Wa mā min dābbatin fil ardhi illā ‘alallāhi rizquhā,” (Surat Hud ayat 6). Aku yakin bahwa aku salah satu makhluk melata di muka bumi yang rezekinya ditanggung oleh Allah. Oleh karena itu, aku menyibukkan diri dengan ibadah yang Allah perintahkan kepadaku, dan meninggalkan nasib rezekiku di tangan-Nya. 

 

Kedelapan, Aku juga memperhatikan banyak orang bersandar kepada makhluk lain seperti mereka. Sementara aku merujuk pada firman Allah, “Wa man yatawakkal ‘alallāhi fa huwa hasbuhū,” (Surat At-Thalaq ayat 3). Oleh karena itu, kusandarkan diri dan nasibku kepada-Nya, lalu Dia mencukupiku. 

 

“Wahai Hatim, semoga Allah memberikan taufik-Nya kepadamu. Aku memperhatikan ilmu di Kitab Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur’an. Kudapati semua kebaikan dan inti agama berkisar pada delapan poin tersebut. Siapa yang mengamalkannya, sungguh ia telah mengamalkan ajaran empat kitab suci tersebut,” kata Syaqiq.

 

Editor: Abdul Manap
Sumber: NU Online


Ubudiyah Terbaru