Hari Sabtu dan Ahad awal bulan ini, Ada dua kiai besar Cirebon, dari timur dan barat, yang waktu haulnya berdekatan. Mereka adalah dua matahari Cirebon. Yakni, Almaghfurlah KH. Dr. Muhammad Anis Fuad Hasyim dari Pesantren Buntet, dan Almaghfurlah KH. Syarif Usman Yahya dari Pesantren Kempek. Romo Kyai Fuad Hasyim wafat pada 12 Juli 2004, sehingga sekarang haul ke-12, sedangkan Abah Ayip Usman—panggilan akrab KH. Syarif Usman Yahya—wafat pada 7 November 2010, sekarang haul ke-6. Memang usia mereka saat dipanggil Sang Kekasih berbeda, tapi dua matahari ini ternyata satu angkatan, satu generasi, satu perjuangan, dan satu cita. Mereka kelahiran tahun 1941 dan 1942, dan menghabiskan seluruh hidupnya untuk Pesantren dan NU, yakni Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Menarik untuk dicatat dan dikenang bahwa dua kyai besar Cirebon ini sama-sama sahabat dan pecinta Gus Dur—panggilan egaliter Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid. Kedekatan mereka dengan Gus Dur seperti dua saudara kandung. Hampir dipastikan bila ke Cirebon, Gus Dur selalu singgah dan menginap di Pesantren Buntet. Meski jadualnya sangat padat, dalam haul-haul sesepuh Buntet, Gus Dur selalu menyempatkan rawuh. Bahkan hanya sekadar untuk nyantai, rikes dari kepenatan Jakarta, Gus Dur mencari keteduhan di Buntet.
Tidak hanya itu, semangat dan orientasi perjuangan dua kyai besar ini satu garis lurus dengan perjuangan Gus Dur. Mereka tidak saja bahu-membahu memperjuangan Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah—yang sekarang populer disebut Islam Nusantara, Romo Kyai Fuad dan Abah Ayip Usman juga terdepan dalam membela Pancasila dan NKRI dengan seluruh cita-citanya. Mereka bukan saja pemimpin bagi umat Islam, tetapi juga teladan bagi masyarakat non-Muslim dan kelompok rentan.
Pergaulan mereka—sebagaimana Gus Dur—melampaui batas, menembus sekat-sekat agama, etnik, ras, bangsa, gender, dan bahasa. Saya ingat betul bagaimana masyarakat non-Muslim dan kelompok minoritas ketika menghadapi masalah mereka tidak segan-segan mengadu dan berkonsultasi dengan dua matahari Cirebon ini. Sang matahari pun tidak pernah redup, selalu memancarkan sinarnya untuk menerangi dunia, berbagi energi, dan tetap terang sepanjang hari. Kalaupun malam tiba, sang matahari meminjam bulan dan bintang untuk tetap menerangi dunia, menyemangati kehidupan, dan menjadi pelita sepanjang masa. Sinar matahari ini dipancarkan secara merata dan setara ke seluruh makhluk, termasuk mereka yang non-Muslim, minoritas, terpinggirkan, dan bahkan disesatkan oleh kelompok arogan. Inilah peran signifikan dan bersejarah dua matahari Cirebon yang di-haul-i pada dua hari ini: Romo Kyai Fuad Hasyim dan Abah Ayip Usman.
Surga dan istana terindah di sisi-Nya adalah tempat yang layak untuk beliau berdua. Kangen kami untuk sang guru, sang kyai, sang pejuang Almaghfurlah Romo Kyai Fuad Hasyim dan Almaghfurlah Abah Ayip Usman.
Janji kami untuk meneruskan perjuanganmu, wahai sang teladan.
Lahuma al-fatihah.
Penulis merupakan salah seorang Sekretaris Lakpesdam PBNU
Terpopuler
1
Barak Militer Vs Pesantren
2
Jejak Perjuangan KH Muhammad asal Garut: Dari Membangun Pesantren hingga Menjaga NU
3
Jelang HUT ke-79, Kodam III/Siliwangi Gelar Ziarah ke TMP Cikutra Bandung
4
Ketua Pergunu Jabar Minta Gubernur Dedi Mulyadi Perhatikan Rekomendasi KPAI
5
Ansor Kuningan Dorong Ketahanan Pangan Lewat Gerakan Kader Tani
6
Berangkat ke Semarang, Sejumlah Tim Instruktur PCNU Kota Bekasi Ikuti Upgrading Nasional PD-PKPNU
Terkini
Lihat Semua