• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 6 Mei 2024

Tokoh

Aa Babussalam Sindangkerta, Pemegang Sanad Bukhari-Muslim

Aa Babussalam Sindangkerta, Pemegang Sanad Bukhari-Muslim
Almarhum Almaghfurlah KH. Muhammad Zainul Akhyar, semasa hidupnya akrab disapa Aa Babussalam Sindangkerta.
Almarhum Almaghfurlah KH. Muhammad Zainul Akhyar, semasa hidupnya akrab disapa Aa Babussalam Sindangkerta.

Oleh Iip Yahya

Aa Babussalam, demikian almagfurlah KH. Muhammad Zanul Akhyar dikenal publik. Ajengan dari Sindangkerta Bandung Barat, ini termasuk penjaga tradisi KH. Hasyim Asy’ari, yaitu bandungan kitab Sahih Al-Bukhari dan Sahih Muslim. Selain itu ia juga mengajarkan kitab hadis yang lain seperti Sunan Abu Dawud dan Tirmidzi. Tradisi ini termasuk langka di Jawa Barat. Tak heran kalau Pesantren Babussalam sangat dikenal di lingkungan santri tradisi yang ingin mendalami kitab hadits. 

Setiap selesai pengajian, santri akan mendapatkan sanad, silsilah guru, yang bersambung kepada KH. Hasyim Asy’ari, Syekh Mahfuzh At-Tarmasi, hingga sampai kepada Imam Bukhari dan Muslim. Bagi pelaku tradisi ini, dengan mendapatkan sanad, berarti sedikitnya seorang santri telah menamatkan dua kitab hadits itu. Kalau masih mau mengaji, berarti tradisi pesantren NU tetap terjaga. Sebab tak ada artinya jika pesantren NU tanpa pengajian kitab kuning. 

Penulis mengenal nama Aa Babussalam lewat kiai-penyair Ahmad Faisal Imron. Atas dukungan harian Pikiran Rakyat, penulis berkesempatan menelusuri pesantren-pesantren yang masih mempertahankan semua atribut ketradisionalannya. Salah satu pesantren yang sempat dikunjungi adalah Babussalam, Sindangkerta. Beruntung penulis sempat bersua dengan ajengan yang sederhana itu. Semangatnya untuk mencerdaskan santri sangat menggebu. 

Saat ia mengajar, tidak ada santri yang berani selonjoran kaki atau menelungkupkan badan. Ia ingin santri menghargai ilmu yang sedang dikajinya, apalagi yang dibaca adalah Sahih Al-Bukhari atau Sahih Muslim. Ia juga mengharuskan santri memakai peci di lingkungan pesantren. Karena kedisiplinan itulah ia disebut ajengan “galak”.

Ia menyimpan obsesi untuk mengembangkan kurikulum pesantrennya. Untuk itu, ia mendorong anaknya untuk menimba ilmu di UIN Sunan Gunung Djati, setelah menyelesaikan pengajian pesantrennya. Ia juga tak pernah ketinggalan informasi dunia luar. Sejak tahun 1980-an ia tak putus berlangganan surat kabar.

Pesantren spesalis kitab-kitab hadits ini terletak di pedalaman. Setelah turun dari bus Bandung-Sindangkerta, kita akan dibuat terguncang-guncang di atas ojek mengikuti jalan agak terjal yang berkelok dan menanjak. Sejauh mata memandang, tampak hamparan sawah, dan pesantren itu masih belum terlihat. Mendekati jarak seratus meter dari lokasi yang dituju, sebuah menara mesjid menyembul dari balik pepohonan. Dan setelah menuruni jalan yang agak curam, tampaklah hamparan tanah pesantren yang asri. Lokasinya yang tersembunyi di balik pepohonan tinggi, dan hamparan sawah yang sangat luas, membuatnya tak mudah terlihat dari kejauhan. Kesan kumuh yang biasa melekat pada pesantren tradisi, segera sirna. Apalagi melihat pekarangan rumah kiai yang hijau penuh bunga. 

Santri Kelana

Ajengan kelahiran 15 Mei 1941 itu, lazimnya santri seangkatannya, termasuk santri kelana. Sebelum mukim di Sindangkerta, ia berkelana di 12 pesantren. Ia mejejaki pesantren-pesantren di Bandung, Garut, Tasikmalaya, Purwakarta, Cianjur, Bekasi, hingga Banten. Sementara di Poncol Salatiga, ia berguru kepada KH. Ahmad Asy’ari. Di sinilah ia mendapatkan sanad pengajian Sahih Al-Bukhari-Muslim.

Beragamnya pesantren yan ia kunjungi, membuatnaya matang dalam mendidik santri di kemudian hari. Di Bandung, ia mengaji kepada Kiai Syuja’i Cileunyi, Kiai Hasan Amiruddin Cicalengka, dan Kiai Syafi’i Cijerah. Di Tasik ia berguru kepada Kiai Ishak Farid Cintawana. Di Garut ia belajar kepada Kiai Busyrol Karim dan Kiai Utsman di Cibatu. Di Cianjur dan Purwakarta ia belajar kepada Kiai Ahmad Syafi’i dan Kiai Tb. Ahmad Bakri. Sementara di Banten berguru kepada Kiai Kholil.

Sehari-hari, pesantren Babussalam ini terlihat biasa-biasa saja. Santri yang mukim memang tak terbilang banyak. Namun jika musim pengajian pasaran tiba,  pada bulan Rabiul Akhir hingga Jumadil Awwal, ratusan santri dari penjuru Jabar bahkan dari luar Jawa, datang untuk belajar dan mendapatkan sanad pengajian. Ini bulan pasaran sahih Bukhari-Muslim yang popular di antara para santri tradisi. Sejak 1970, pengajian pasaran untuk Kitab Jalalain dimulai dan mendapat sambutan yang sama baiknya dari para santri. Setelah krisis ekonomi dan harga BBM yang naik beberapa kali, jumlah santri yang datang ke Sindangkerta cukup menurun. Beaya transportasi yang mahal dan beaya hidup yang semakin tinggi, membuat para santri kesulitan untuk datang. Ini memang menjadi risiko semua pesantren tradisional yang mayoritas santrinya datang dari kalangan menengah ke bawah.

Selain mengajar santri, ajengan juga memberikan pengajian umum setiap hari Ahad. Tak kurang dari 500 jamaah dengan setia mengikuti pengajinnya. Mereka datang dari sekitar Sindangkerta, Cililin, Cipongkor, Gununghalu, dan Rongga.

Penjaga Moral 

Aa Babussalam boleh disebut sebagai penjaga moral pesantren. Ada kisah menggelitik saat rame-remenya Pilgub Jabar 2008. Saat itu, sebagai imbas dari pemisahan Kabupaten Bandung dan Bandung Barat, pengurus NU cabang pun harus dibagi. Sebelumnya, jika ketua tanfidz dari wilayah Bandung sebelah Timur, maka rais syuriyah dipilih dari Bandung sebelah Barat. Begitu pula sebaliknya. Aa Babussalam adalah Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Bandung. 

Dalam pilihan pengurus NU Bandung Barat, seseorang berbisik kepadanya agar ia mengundurkan diri. Usulan itu untuk memuluskan dukungan kepada seorang calon gubernur. Ajengan Sindangkerta itu mungkin dianggap agak kurang bisa diatur. Ia tak memberi tanggapan mengiyakan atau menolak. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada floor. Ia percaya kepada kedewasaan para pengurus NU kecamaan dan ranting yang selama ini dibinanya. Dan akhirnya ia terpilih sebagai rais syuriyah PCNU Bandung Barat dengan suara mutlak. Ia memang menolak jam’iyyah NU digusur-gusur dalam urusan politik praktis.

Selain aktif di syuriyah NU, ia juga bergiat pada Jamiyyah Ahli Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdliyah (JATMAN). Setelah Kiai Fahim Hawi wafat pada 2002, Aa Babussalam menggantikannya sebagai Rais Idaroh Wustho Jabar. Lalu ia terpilih lagi untuk periode 2007-2012. 

Aa Babussalam wafat pada 11 November 2008, meninggalkan kesan dan penghormatan yang mendalam di hati para santri dan warga yang pernah mencecap ilmu darinya. Kiprahnya diabadikan dalam sejumlah penelitian, antara lain: Skripsi Asep Guruh Rajawali (UIN bandung, 2008) yang berjudul Perkembangan Peserta Tradisi Pasaran  di Pondok Pesantren Babussalam Desa Cinta Karya Kecamatan Sindangkerta Kabupaten Bandung (1974-2000) dan tesis S2 UIN Bandung atas nama Karti Yulianti (2014) dengan judul Peran K.H. Muhammad Zainul Akhyar dalam Pengembangan Dakwah Islam di Kabupaten Bandung 1967-2008.

Alfatihah …

Penulis adalah Direktur Media Center PWNU Jabar.


Editor:

Tokoh Terbaru