• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Rabu, 24 April 2024

Tokoh

26 Juni 1887, KH Abdul Halim Leuwimunding Lahir

26 Juni 1887, KH Abdul Halim Leuwimunding Lahir
KH Abdul Halim Leuwimunding Majalengka. (Foto: NUJO/M Iqbal).
KH Abdul Halim Leuwimunding Majalengka. (Foto: NUJO/M Iqbal).

KH Abdul Halim merupakan salah seorang muassis Nahdlatul Ulama (NU) yang lahir pada 3 Syawal 1304 H yang bertepatan dengan 26 Juni 1887 M di Desa Cibolerang, Kecamatan Jatiwangi Kabupaten Majalengka Jawa Barat. Ia merupakan putra dari pasangan Kiai Muhammad Iskandar, salah seorang penghulu Kadewanan Jatiwangi dan Ibu bernama Muthmainnah binti Imam Syafari.


Riwayat Pendidikan


Sebagai putra dari salah seorang Ulama, pengawasan dalam Pendidikan seorang Kiai Abdul Halim terbilang mendapatkan pengawasan ketat. 


Beliau dituntut untuk bisa menyerap dasar-dasar ilmu keislaman sebagai bekal dakwahnya kelak untuk menggantikan ayahandanya. Selain Pendidikan yang didapat dari ayahnya, kiai Abdul Halim juga belajar di sekolah HIS milik Belanda, sehingga bisa dikatakan beliau juga mahir berbahasa Belanda.


Pasca belajar agama di kampung halamannya, Kiai Abdul Halim melanjutkan rihlah pendidikannya ke berbagai pesantren diantaranya Pesantren Ranji Wetan di Majalengka yang diasuh oleh Kiai Anwar, Pesantren Lontong Jaya (Leuwimunding), Pesantren Bobos (Cirebon) yang diasuh oleh KH Sujak, Pesantren Ciwedus (Kuningan) yang diasuh oleh Kiai Ahmad Shobari, Pesantren Kedungwuni (Pekalongan) yang diasuh Kiai Agus.


Setelah dari pesantren Kiai Agus, Kiai Abdul Halim berkeinginan untuk kembali mesantren di Ciwedus Pekalongan. Ketika menjadi santri, Kiai Abdul Halim bejualan minyak wangi, batik dan kitab-kitab agama untuk menopang biaya belajarnya. Sehingga, dari hasil jualannya tersebut beliau dalam proses mencari ilmu tidak membebani orang tuanya.


Di usia yang ke 22 tahun, beliau memiliki keinginan untuk melanjutkan rihlah ilmiahnya menuju Haramain yang menjadi induk kota Pendidikan Islam. Di Hijaz inilah, Kiai Abdul Halim belajar kepada berbagai ulama yang menggelar halaqahnya di Masjidil Haram.


Di sana, ia mendapat ilmu melalui para guru yang diantaranya Syekh Mahfudz at-Turmusi, Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, dan Syekh Ahmad Khayyat.


Selain belajar kepada guru yang memiliki karakteristik berfikir tradisionalis yang tetap menjaga tradisi lama tanpa harus menafikan kemajuan zaman yang tidak terelakan, ia juga berguru kepada kiai yang berfikir modernis. Hal tersebut dikarenakan pentingnya mempelajari laju pemikiran ulama-ulama modern seperti beberapa karya yang dimiliki kiai Abdul Halim yakni kitab Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.


Meski pola pemikiran mereka dipelajari bukan berarti harus diikuti. Beliau lebih suka mengikuti pola pikir Tradisionalis yang tidak mudahmenuding salah terhadap amalan-amalan yang sudah mengakar dan sudah diseleksi oleh pendahulunya yang telah menyebarkan agama islam di Nusantara.


Tidak hanya sampai disitu, selama di Hijaz beliau juga bertemu dengan KH Wahab Hasbullah, Kiai Mas Manshur, Kiai Bisri Syansuri, dan lain-lain yang nantinya akan memiliki pengaruh besar di Nusantara. Saking akrabnya setelah berteman disana, mereka memiliki kesamaan misi dan hobi yang sama, yakni menyukai pencak silat.


Kiai Abdul Halim juga menguasai Bahasa China yang dipelajari dari salah seorang China muslim yang mukim di Mekkah. Dari kelincahan Kiai Abdul Halim dalam berbahasa China, Belanda, Arab, dan Melayu maka beliau menguasai empat Bahasa yang mempermudah urusannya dalam berkomunikaqsi dengan orang asing yang tidak berbicara menggunakan Bahasa melayu.


Katib Tsani PBNU 1926


Kedekatan antara Kiai abdul Halim dan Kiai Wahab Hasbullah berlanjut hingga mereka pulang ke Nusantara. Karena ada kesamaan misi yang diemban yakni memperjuangkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, maka dengan antusiasnya Kiai Abdul Halim menyambut ide Kiai Wahab Hasbullah yang ingin mendirikan sebuah organisasi yang nantinya akan menjadi motor kelompok Islam Tradisionalis. 


Maka, pada tahun 1922 Kiai Wahab mengumpulkan beberapa ulama se-Jawa untuk berkumpul di kediaman Kiai Mas Alwi bin Abdul Aziz. Kiai Abdul Halim pun dating dari Jawa Barat menuju Surabaya yang ditempuh dengan berjalan kaki selama kurang lebih sebelas hari.


Meski dalam pertemuan tersebut tidak langsung membuahkan hasil, akan tetapi dirinya terus berdoa agar hasil jerih payah para Kiai dibalas dengan balasan yang lebih baik.


Ketika NU berdiri pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926, Hadratusyekh Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar NU menempatkan posisi Kiai Abdul Halim sebagai Katib Tsani atau Sekretaris kedua di struktur NU untuk mendampingi Kiai Wahab Hasbullah. Penempatan tersebut dianggap tepat sebab keduanya akrab sejak nyantri di Negeri Hijaz.


Saat beliau mengemban amanah tersebut, tugas yang diberikan kepada beliau pun dikerjakan dengan penuh seksama dan keikhlasan. Beliau sering mengantar surat atau pesan yang akan disampaikan kepada para kiai NU se-Jawa dan Madura, seperti halnya surat undangan Ketika akan mengadakan sebuah acara Muktamar NU.


Karya Tulis


Keaktifan di berbagai organisasi termasuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dengan diamanahi sebagai anggota Dokuritsu Zyunbi Choosakai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang bertugas untuk membuat Undang-undang Dasar, Kiai Abdul Halim juga meluangkan waktunya untuk membuat sebuah karya tulis.


Menurut salah satu sumber, Kiai Abdul Halim memiliki beberapa karya tulis, namun raib Ketika ada agresi militer Belanda dan yang tersisa hanya tiga yakni Kitab Petunjuk Bagi Sekalian Manusia, Ekonomi dan Koperasi Dalam Islam, dan Ketetapan Pengajaran di Sekolah Ibtidaiyah Persyarikan Ulama. Untuk karya tulis yang terakhir, merupakan sebuah karya bunga rampai, sedangkan kiai Abdul Halim menjadi ketua timnya.


Kembali ke Rahmatullah


Dalam berdakwah dan mengajar antar sesame menuju agama Allah, beliau selalu menggunakan metode kearifan. Jika terjadi ketidakcocokan dengan temannya dalam suatu pandangan tentang disiplin keilmuan, maka beliau akan menghindari adu mulut yang dapat mengakibatkan pertikaian. Hal itu membuat beliau disegani dan dipercayai untuk mengemban banyak amanah yang ada kaitannya dengan umat. 


Semua yang mengenali sosok kiai Abdul Halim merasa kehilangan saat Allah SWT memanggilnya pada 1962 M.


Muhammad Rizqy Fauzi
Sumber: Muassis NU, Manaqib 26 Pendiri Nahdlatul Ulama.


Tokoh Terbaru