Syariah

Sekali Lagi Tentang Bunga Bank

Selasa, 29 September 2020 | 18:00 WIB

Sekali Lagi Tentang Bunga Bank

BPR NUSUMMA Singaparna, didirikan setelah Muktamar Cipasung 1994. (Foto: dok. NUSUMMA Singaparna)

Oleh KH Cep Herry Syarifuddin

Saya kerapkali ditanya tentang hukum menabung, pinjam uang dan bekerja di bank konvensional. Lalu selalu saja saya bilang hukum semua itu tergantung sikap kita memilih hukum dari bunga bank tersebut, yang merupakan masalah khilafiyah (perbedaan pendapat di kalangan ulama). Ada tiga pendapat para ulama tentang bunga bank konvensional, yaitu halal, haram dan syubhat (tidak jelas halal dan haramnya). Masing-masing pendapat tersebut didukung oleh dalil-dalil kuat dari para ulama besar yang keilmuannya mumpuni di bidang fiqh dan ushul fiqh.

Pendapat yang saya pilih adalah pendapat yang menghalalkan bunga bank konvensional dengan alasan tidak sama dengan riba jahiliah yang diharamkan syariat serta bunganya bersifat produktif (intaj), bukan konsumtif (istihlak). 

Pertimbangan lainnya, ​pertama, mengikuti sikap Nabi Muhammad Saw yang selalu memilih yang termudah dari berbagai pilihan yang kompleks. Maka tidak mengherankan jika saat Gus Dur dahulu ditanya wartawan, mengapa NU mau mendirikan bank berkerja sama dengan Bank Summa, beliau menjawab, karena di antara pendapat mengenai bunga bank itu ada pendapat yang menghalalkan, "Maka saya pilih yang menghalalkan saja, demi kemajuan perekonomian masyarakat kecil khususnya ekonomi kaum Nahdhiyyin yang harus dibangkitkan dan dimajukan," jelas Gus Dur.

Kedua, menghindari risiko hukum yang serba salah. Karena jika saya memilih hukum yang mengharamkan, berarti saya akan terbelit dengan masalah hukum menggunakan pakaian  untuk shalat, karena pakaian tersebut pasti diproduksi oleh pabrik tekstil yang tidak lepas dari bank pada saat ini. Begitu pula kendaraan yang kita pakai, makanan dan minuman yang kita konsumsi, jalan yang kita lalui, termasuk ibadah haji, hampir dipastikan berhubungan dengan bank konvensional baik langsung atau tidak langsung. Uang yang kita gunakan kita pun keluaran BI. Maka kalau bank diharamkan karena bunganya, bagaimana nasib shalat dan ibadah haji kita, makanan dan minuman kita, kendaraan kita dan seterusnya ? Jelas bermasalah nantinya.

Maka saya mencari pilihan termudah dan menyelamatkan, yakni pendapat yang menghalalkan tadi.

Menurut saya, jangan beragama dengan dilandasi kebodohan atau hawa nafsu. Karena akan berbuah kepicikan, menyusahkan diri sendiri dan orang lain. Seperti pengharaman bunga bank yang ceroboh dan cenderung "menteror" orang yang bekerja atau berhubungan dengan bank. Padahal mereka sendiri tidak paham filsafat hukum Islam dan maqashidus syari'ah (tujuan hukum Islam), cenderung memahami nash secara tekstual, hanya mencerna dalil secara logika dan nafsu mereka saja. Ini yang membuat umat menganggap agama sebagai problem bukan sebagai solusi. Jadi, mari terus belajar agar tidak picik dan kaku.

Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Sabilurrahim Mekarsari, Cileungsi, Bogor.