Syariah

Nusyuz Suami: Menyoal Indikator Keadilan

Senin, 3 Maret 2025 | 08:00 WIB

Nusyuz Suami: Menyoal Indikator Keadilan

Nusyuz Suami: Menyoal Indikator Keadilan. (Ilustrasi: freepik.com).

Sudah menjadi pengetahuan dominan di tengah masyarakat selama ini jika nusyuz adalah istilah yang hanya disematkan kepada seorang istri.


Istri dikatakan nusyuz ketika tidak menuruti suami dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Namun ternyata di dalam terminologi fiqih lintas madzhab, nusyuz pun dapat menimpa dan disematkan kepada suami, sehingga masing-masing pasangan berpotensi melakukan nusyuz


Hal ini dengan sangat gamblang dijelaskan para sarjana muslim otoritatif di hampir seluruh literatur fiqih madzhab.


Yang membedakan konsep nusyuz antara keduanya adalah, nusyuz istri terjadi jika tidak menaati suami sebagai pemimpin keluarga. Sementara nusyuz suami terjadi kala ia tidak memenuhi kewajibannya sebagai suami, atau di sisi lain tidak memenuhi hak istri.


Ketetapan fiqih madzhab ini diperkuat dengan keputusan Bahtsul Masail yang diselenggarakan LBMNU Garut dalam Konfercab yang diadakan di bulan Februari 2025.


Tidak sedikit yang mengapresiasi dan menyambut hangat keputusan ini sebagai keputusan yang berani dan maju yang diambil NU Garut dalam melindungi eksistensi perempuan.


Bagi sebagian kalangan, keputusan ini dirasa sebagai sebuah keadilan, karena ada kesetaraan dan kesalingan antara laki-laki dan perempuan. Namun ada satu hal yang penting untuk ditegaskan, di tengah intervensi pemikiran luar yang turut menafsirkan teks-teks keagamaan, bahwa kesetaraan dan kesamaan bukanlah padanan keadilan. Kesetaraan tidak identik dengan keadilan. Kesetaraan hanya salah satu wujud keadilan, bukan satu-satunya, karena dalam kesetaraan pun didapati ketidakadilan.


Kesimpulan di atas merujuk kepada definisi kata adil itu sendiri. Karena kata adil berakar dari Al-Quran dan al-Hadits, maka pemaknaan adil yang tepat harus berdasar kepada penggunaannya pada kedua sumber itu (gholabatul isti'mal).


Adil sebagaimana didefinisikan para ulama dalam berbagai konteks ialah kondisi dimana sesuatu berada pada tempat semestinya.


وضع شيء في موضعه


Keadaan setara jika tidak pada tempatnya tidak dapat dikatakan adil. Sejajarnya posisi seorang bek dengan striker dalam sepak bola bukanlah kondisi yang semestinya.


Tempat yang benar dan semestinya adalah tempat yang ditentukan oleh wahyu, bukan berdasar persepsi manusia.


Persepsi manusia sering kali berbeda satu dengan yang lain. Tempat yang benar bagi seseorang bisa jadi tempat keliru bagi yang lain, dan akan begitu seterusnya, tidak ada kesepakatan, yang ada justru keraguan, ketidakpastian dan tragedi, persis seperti yang selama ini terjadi pada peradaban Barat.


Relasi antara keadilan dan kesetaraan atau kesalingan adalah umum khusus min wajhin. Keduanya dapat menyatu dalam satu kondisi, sebagaimana keduanya dapat terpisah pada kondisi lain.


Relasi antara keduanya bukanlah talazum, dalam arti tidak dapat terpisah ('la yaqbalul infikak).


لا يقبل الانفكاك


Menyatunya keadilan dan kesetaraan dalam Islam mewujud seperti pada; kesetaraan nusyuz, kesamaan kewajiban mu'asyaraoh bil ma'ruf, dan sebagainya.


Keadilan dan kesetaraan terpisah seperti terwujud pada; memberi mahar, memberi nafkah keluarga, menjadi kewajiban tunggal suami, istri dalam hal ini sebatas pihak penerima manfaat.


Bagian waris anak laki-laki dua bagian dari anak perempuan, kuasa talak hanya milik suami, meski istri dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Contoh-contoh keadilan di atas menunjukkan ketidaksetaraan, karena keadilan, sekali lagi, bukanlah kesetaraan.


Di dalam Islam, pemberian hak tidak selalu menjadi privilige bagi penerimanya, ia lebih kepada amanah, salah menggunakannya akan berakibat dosa, alih-alih mendapat kebaikan. Meski suami punya hak talak, tetapi hukum talak sendiri tidak satu menurut kitab-kitab fiqih, ia bisa sunah, bisa makruh, bahkan bisa haram. Suami yang mentalak istri padahal baginya haram, bukanlah sebuah kebanggaan, justru kesalahan dan dosa.


Di dalam Islam pemberian hak selalu disertai dengan kewajiban dan tanggung jawab. Penggunaan hak selalu dibatasi dengan kewajiban. Kewajiban sebagai kendali penggunaan hak.


Tanpa kewajiban dan tanggungjawab, penggunaan hak hanya akan menjadi alat pelampiasan hawa nafsu, persis seperti yang terjadi pada diskursus HAM dan Kebebasan di Barat yang hari ini kencang dihembuskan ke tubuh umat Islam.


Wallohu a'lam


A Deni Muharamdani, Ketua Lembaga Bahtsul Masail MWCNU Karangpawitan Garut