Keberagaman dan Potensi Wakaf: Menguak Landasan Yuridis dan Implikasi Teologis dalam Konteks Indonesia
Kamis, 18 Juli 2024 | 10:58 WIB
Hasemi Fauziah
Kontributor
Kendatipun istilah dan konsep wakaf berasal dari Islam, namun “keberadaan” dan keterlibatan penganut agama dan kepercayaan lain dalam wakaf memiliki landasan yuridis dan argumen teologis yang kuat.
Tujuan dan fungsi wakaf menurut Pasal 5 UU Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf adalah untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan “kesejahteraan umum”. Kesejahteraan umum yang dimaksud tentu saja tidak terbatas bagi kalangan ummat Islam saja.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para Ulama berkaitan dengan kebolehan ummat agama lain untuk menerima manfaat wakaf. Bahkan, tidak hanya manusia, diketahui dalam sejarah, bahkan hingga kini, ada beberapa aset wakaf yang sebagian hasil pengelolaannya dialokasikan untuk makanan burung, kucing, dan anjing. Salah satunya adalah aset wakaf Pasar Kozahan di Kota Bursa Turki.
Nazhir atau pihak yang menerima dan mengelola wakaf adalah satu-satunya “para pihak” atau “rukun” dalam wakaf yang secara eksplisit dalam Pasal UU Wakaf disyaratkan harus “beragama Islam”. Namun, dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir dapat bekerjasama dengan “pihak lain” (Pasal 45 PP 42 Tahun 2006). Pihak lain yang dimaksud tentu saja boleh jadi “mitra kerja” non-muslim, sepanjang kerjasama tersebut dilakukan secara jujur, saling menguntungkan, dan tidak melanggar syariat Islam.
Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain secara eksplisit tidak mensyaratkan keharusan beragama Islam (Muslim) bagi para pihak ketika berakad atau berbisnis. Syarat pemilik modal atau investor menurut beliau haruslah orang yang cakap untuk mewakilkan (ahliyyatut tawkil), sedang pengelola modal haruslah orang yang cakap untuk menjadi wakil (ahliyyatut tawakkul). (Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, Bairut, Darul Fikr, halaman 254).
Kalangan Ulama Madzhab Syafi’i yang dikenal sangat “ketat” dan hati-hati, membolehkan wakaf dari non-Muslim, bahkan wakaf untuk masjid sekalipun. Syarat Wakif adalah mukhtar, orang yang secara sukarela berwakaf, tanpa paksaan, dan ahlu tabarru’ (cakap melakukan kebajikan). (Lihat: Syekh Zakariya Al-Anshari, Fathul Wahhab bi Syarhi Manhajith Thullab, Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1418 H, juz I, halaman 440).
Sebagian Ulama dari kalangan madzhab Syafi’i dan Hanbali juga berpendapat bahwa yang menjadi acuan dalam wakaf adalah qurbah atau mendekatkan diri kepada Allah) sesuai dengan pandangan Islam, baik itu selaras dengan keyakinan pemberi wakaf atau tidak. (Lihat: Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Damaskus, Darul Fikr, cet ke-XII, juz X, halaman 330).
Dus, “Gerakan Indonesia Berwakaf” bukan monopoli dan urusan ekslusif Ummat Islam semata, namun sejatinya secara substantif bersinggungan dengan kepentingan seluruh komponen bangsa, tanpa kecuali.
Potensi wakaf tunai yang sangat besar, jika dapat direalisasikan dan dikelola secara baik dan profesional, akan menjadi soko guru perekonomian Indonesia di masa depan. Tanah wakaf yang sangat luas dan jumlahnya terus bertambah, jika dapat dioptimalkan dengan pengelolaan yang baik dan profesional, khususnya di sektor produktif dan pelayanan publik—akan dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh komponen bangsa, tanpa kecuali.
KH Tatang Astarudin, pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Universal Kota Bandung dan Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia
Terpopuler
1
Keutamaan Bulan Sya’ban dan Nisfu Syaban dalam Hadits Nabi
2
PCNU bersama Pemkot, ATR/BPN, dan Kemenag Launching Menuju Bandung Kota Wakaf dan Pelaksanaan Wakaf Hijau
3
Inilah Sejumlah Agenda Haul Masyayikh Pesantren Sunanulhuda 2025
4
Innalillahi, Mustasyar PCNU Cianjur KH R Abdul Halim Meninggal Dunia
5
Tiga Pemain Keturunan Resmi Jadi WNI: Amunisi Baru Perkuat Timnas Indonesia
6
Peralihan Arah Kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah Terjadi di Bulan Syaban
Terkini
Lihat Semua